Padangpanjang, Sumatera Barat

Siaran Pertamaku di Radio Princess Catharina Amalia

Radio Princess Catharina Amalia (PCA) 107.8 FM adalah tempat pertama saya dalam menggeluti dunia penyiaran. Radio ini awalnya dibangun sebagai Pusat Informasi dan Mitigasi Gempa Bumi di Sumatera Barat yang bekerja sama langsung dengan Stasiun Geofisika Padang Panjang. Radio PCA ini dibangun atas dana hibah dari Kerajaan Belanda. Dengan pemancar radio FM berkekuatan 1000 watt, radio ini dapat mengudara selama beberapa hari tanpa operator di dalam sebuah kontainer berukuran 20 kaki.

Studio RCA 107,8 fm
Studio RCA 107,8 fm

Sekitar 60% ruangannya adalah tempat peralatan dan sisanya sebagai ruang di mana saya dan para penyiar lainnya menyapa masyarakat Padangpanjang dan sekitarnya. Radio ini bertempat di salah satu gedung bekas penjajah Belanda yang kini menjadi SMU 1 Padangpanjang, radio ini hadir untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang mitigasi gempa dan bencana alam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Sumatera Barat berada pada jalur utama patahan yang sangat berpotensi terjadi bencana alam.

Radio ini mengudara sejak 6 Maret 2008 untuk memberikan informasi pendidikan, agama, budaya serta pariwisata di Sumatera Barat. Peresmiannya diadakan di SMU 1 Padangpanjang dan dihadiri oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia Mr. Nikolaus Van Dam.

Beberapa bulan setelah PCA 107,8 FM mengudara dalam kantor seluas 320 m2 ini, saya pun mulai ikut siaran. Sebelumnya saya mendapat informasi dari seorang teman yang siaran di sana, lalu saya mencoba untuk datang ke radio itu dengan alasan sekedar ingin melihat-lihat. Setelah beberapa kali datang, saya berkenalan dengan Bang Doni, salah satu programmer radio di sana. Semenjak itu, saya mulai mencuri-curi ilmu sambil menanyakan bagaimana caranya menjadi kru di PCA radio ini. Menurutnya, saya cukup menunggu manajernya yang sedang di Jakarta selama dua minggu. Ternyata saya harus menunggu selama tiga minggu hingga ia kembali ke Padangpanjang.

Studio RCA 107,8 fm
Studio RCA 107,8 fm

Setiap pulang kuliah, saya selalu menyempatkan diri ke radio itu. Untuk ongkos naik ojek, saya menyisihkan uang mingguan dari orang tua. Padangpanjang kota yang kecil tapi indah. Sebagian masyarakat di sini memilih naik ojek atau berjalan kaki. Setelah beberapa hari dengan modal percaya diri, akhirnya saya bertemu dengan Bapak F. Tieja dan langsung diberikan beberapa syarat yang ditentukan. Pada hari itu juga, saya diterima untuk bekerja di situ.

“Oke, kamu besok bisa mulai nyiar!”

Waw… kata-kata itu yang membuat saya berpikir bahwa ini perjuangan buat diri dan ilmu saya. Ini juga akhir dari membohongi orang tua saya karena sering meminta uang saku berlebih, dan ketika ditanya kenapa uang itu habis, saya hanya bilang: “Tugas Fandi banyak, Pah…”

Oleh manajer, saya diberi tawaran mengenai acara yang ingin saya bawakan. Kebetulan saya mempunyai program baru yaitu musik tradisional. Di mana program ini membahas musik tradisional Sumatera Barat yang mulai punah ditelan zaman. Ternyata program itu diterima dan esoknya diberi durasi siaran selama satu jam. Ia juga menambahkan, “tapi kamu belum dapat honor ya…”

Saya langsung menuntun pikiran bahwa ini proses yang harus dijalani dan meyakini bahwa, ini adalah awal di mana ilmu yang saya dapat harus saya bayar terlebih dahulu.

Studio RCA 107,8 fm
Studio RCA 107,8 fm
Suasana On Air
Suasana On Air

Satu jam sebelum On Air, saya mendapat pengarahan untuk mengaktifkan mixer dengan 12 channels untuk mengatur frekuensi suara dan musik yang saya akan putar dan perkara teknis lainnya. Bahan siaran sudah siap, lima menit lagi On Air, ternyata ketika saya memasuki ruangan berukuran 3×3 meter dengan empat buah mikrofon, seluruh badan saya terasa beku. Ternyata pertama kali siaran lebih gugup dibandingkan pertama kali menyatakan cinta kepada wanita pujaan. Selama seminggu, saya menghabiskan sebotol air mineral ketika siaran, entah gugup atau memang haus.

Menjadi penyiar radio merupakan pengalaman baru, sebelumnya saya sering menjadi pembawa acara baik di acara kondangan, festival musik di Sumatera Barat maupun TVRI Stasiun Padang,  tapi ketika mikrofon sudah di depan mulut dan lampu tanda On air mulai menyala, maka semuanya mulai hilang. Saya merasakan  atmosfer yang berbeda antara di atas panggung dengan di dalam studio. Jika di atas panggung, si pembawa acara langsung mendapat respon yang tampak dari penonton, sedangkan di studio (terutama jika siaran sendirian) dan melemparkan lelucon, yang selalu ada dalam pikiran adalah apa ada orang yang tertawa? Terpaksa saya tertawa dengan sendirinya seperti orang gila sambil berharap guyonan saya berhasil membuat pendengar tetap bertahan mendengarkan siaran saya.


About the author

Avatar

M Fandi Taufan

Dilahirkan di Padang pada tanggal 12 Maret 1989. Ia kuliah di ISI Padang Panjang konsentrasi pertelevisian. Selain itu ia juga aktif mengelola studio foto di Padang.

4 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.