Waktu itu saya sedang berjalan ke arah Barat, mencari kantor Kepala Desa Tugu Utara, untuk mendapatkan informasi mengenai lokasi yang dikenal dengan dua nama—sebagaimana yang saya baca di internet. Lokasi yang saya maksud adalah Desa Sampay atau Warung Kaleng: terkenal dengan keberadaan orang-orang yang datang dari Timur Tengah dan tinggal di daerah itu untuk beberapa waktu. Saya cukup terkesima dengan tulisan-tulisan arab di beberapa toko di pinggiran Jl. Raya Puncak, karena baru pertama kalinya saya datang ke sana. Saya butuh informasi mengenai daerah itu, karena kata “Kampung Arab” yang juga dilekatkan padanya, sudah menggangu saya sejak sehari sebelumnya ketika diskusi outline tulisan dilakukan bersama teman-teman.
Sebenarnya, kalau diperkirakan melalui google map, arah yang saya tuju adalah Barat Laut. Akan tetapi karena Jl. Raya Puncak membelah area pemukiman di sekitarnya menjadi dua bagian, Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, saya lebih senang menyebutnya sebagai ‘perjalanan ke Barat’ seperti yang dilakukan Pendeta Tong dan ketiga muridnya, mencari pencerahan hidup dan bermaksud untuk membawa pulang kitab suci dari India ke Tiongkok. Maksud saya ke kantor Kepala Desa Tugu Utara adalah untuk mencari dokumen—agar lebih romantis, kita sepakat saja menyebutnya ‘kitab suci’—untuk mencari ‘pencerahan’ mengenai rumor-rumor penyimpangan yang terjadi di Kampung Arab itu, terkait dengan usaha penginapan.
Ketika menulis catatan ini, saya menyadari satu kebetulan menarik. Saya berjalan ke ‘Barat’ mencari ‘kitab suci’, mencari jati diri ‘Kampung Arab’. Sebagian besar masyarakat di Timur, khususnya Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim, setiap tahunnya juga menempuh perjalanan ke Barat, ke tanah Arab untuk menunaikan ibadah haji, juga untuk mencari pencerahan dalam artian yang lain. Maksud saya menyinggung hal ini bukan untuk mengaitkan hal-hal yang berbau ‘Barat’ sebagai tempat bertumbuh-kembangnya filsafat pencerahan. Makanya, saya bilang ini kebetulan saja. Yang justru lebih menarik adalah adanya pola arus yang terbalik: masalah pesebaran orang-orang Timur Tengah menuju atau melintasi dataran beriklim tropis, seperti Indonesia, meninggalkan tanah kelahiran mereka yang dalam beberapa literatur sejarah disebut-sebut sebagai tanah tempat diturunkannya agama-agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam), sebuah kepercayaan yang mengagungkan Ke-Esaan Tuhan. Dan sekali lagi saya tegaskan, tanah tujuan atau tanah singgah itu adalah ‘Kampung Arab’ yang sedang kita bicarakan.
Nah, ini dia kendalanya: ternyata google bukanlah ‘tuhan’! Ketika saya menelusurinya di internet, artikel yang saya temukan menginformasikan bahwa Desa Sampay terletak di Tugu Utara—saya lupa melakukan verifikasi temuan data saya kepada Remi, penanggung jawab data sekunder dalam workshop akumassa bernas, tentang di mana lokasi yang benar (dan malam harinya, Remi baru mengatakan bahwa dia sudah menulis di papan tulis bahwa Sampay itu masuk ke dalam bagian Desa Tugu Selatan). Maka, tanpa ragu-ragu saya mendatangi petugas di kantor tersebut.
“Kalau soal regulasi, itu bukan wewenang kita,” begitulah kira-kira kata si petugas ketika saya tanya mengenai regulasi yang berlaku di Desa Tugu Utara terkait dengan pembangunan lahan usaha penginapan. “Minta ke kantor Dinas tingkat provinsi.”
Akhirnya, saya hanya membawa 25 lembar ‘kitab suci’ yang berisikan data monografi Desa Tugu Utara, sedangkan informasi mengenai Kampung Arab yang saya dapat hanyalah: terdapat 26 orang warga negara asing berkebangsaan Pakistan (22 orang laki-laki; 4 orang perempuan). Sangat tidak representatif untuk dapat menjelaskan fenomena hadirnya orang-orang Timur Tengah di daerah itu.
Kalau boleh menebak-nebak berdasarkan wawasan terbatas yang saya miliki, adanya orang-orang Timur Tengah di Indonesia tentu tak lepas dari fenomena migrasi, yang sudah sejak lama menjadi semacam kebutuhan sebagian besar manusia di dunia untuk menghindari kesulitan-kesulitan di daerah asal, seperti konflik perang, menjadi buronan negara, atau hanya sekedar mengurangi kesulitan psikologis terkait kejengahan dengan kondisi geografis tanah tempat mereka lahir. Bahkan, cerita Nabi Muhammad SAW dalam literatur Islam pun mengatakan bahwa migrasi atau hijrah yang dilakukannya dari Mekah ke Madinah adalah untuk menghindari ancaman dari Kaum Quraisy. Catatan investigasi Tempo, Juni 2012, “Menelusuri Sindikat Manusia Perahu”, juga menginformasikan bahwa banyak orang-orang dari Pakistan, Afganistan, bahkan Iran, menjadi imigran (baik resmi maupun gelap) yang berusaha mencari suaka dan mencoba mengadu nasib di tanah impian, Australia. Dalam jalur ‘hijrah’ yang mereka lakukan, Indonesia adalah negara singgah sebelum mendapat giliran meneruskan perjalanan ke Australia.
Namun, ada juga beberapa artikel di internet yang menyebutkan bahwa ternyata Indonesia juga menjadi tanah impian bagi sebagian orang Timur Tengah. Kawasan Cisarua, Puncak, terutama. Dataran tinggi yang dikelilingi pemandangan pegunungan dan aliran sungai-sungai gunung ini adalah lokasi favorit untuk berlibur sebagian besar orang Arab Saudi dan Kuwait. Demikian keterangan yang saya dapat dari salah seorang narasumber, yang berprofesi sebagai pemandu wisata sejak tahun 2000-an, pada malam harinya. Biasanya dua kali dalam setahun orang-orang Arab ini datang ke kawasan Puncak untuk berlibur, menghamburkan uang, dan menetap hingga lebih kurang tiga bulan—Bulan Juli, Agustus, dan September, biasanya disebut warga setempat sebagai ‘musim Arab’—di lokasi yang tadi saya maksud sebagai Sampay atau Warung Kaleng.
Kembali ke waktu di sore hari, saya mendapat informasi yang berbeda. “Tidak ada orang Arab di sini,” kata seorang ibu—konon dia adalah isteri salah seorang Pak RT di Tugu Utara—yang sempat saya tanyai di sebuah lapak pedagang takjil di pinggiran Jalan Raya Puncak.
“Di Selatan, tuh, gudang Arab!” sambungnya sambil menunjuk sebuah gang di seberang Jalan Raya Puncak. Dia menerangkan bahwa gang itulah yang disebut-sebut sebagai Warung Kaleng. Memang, sedari awal ketika saya bolak-balik menelusuri jalan itu, ada banyak orang-orang Timur Tengah keluar masuk gang tersebut. Keterangan ini seolah menegaskan data dari kantor Kepala Desa Tugu Utara: hanya sedikit orang-orang Timur Tengah, hanya dari negara Pakistan, yang tinggal di Desa Tugu Utara.
Akan tetapi keterangannya bertentangan dengan pernyataan supir yang mengantarkan tim saya ke lokasi itu, “Kalau yang lebih banyak Arab-nya, di Ciburial,” kata Pak Supir. Dan Kampung Ciburial sendiri masuk ke wilayah Tugu Utara.
“Ini menjadi catatan yang menarik untuk disampaikan ke teman-teman,” saya berkata dalam hati. “Semoga mereka mendapatkan informasi yang bisa menjelaskan pertentangan ini.”
Informasi dari isteri Pak RT menyadarkan saya dari kekeliruan memercayai artikel di internet yang menyebutkan lokasi Desa Sampay masuk ke wilayah Desa Tugu Utara. Atas bantuan informasi si pedagang takjil—dia mengaku warga Bogor, mungkin maksudnya Kota Bogor, dan menyatakan bahwa umumnya pedagang warga negara Indonesia di sekitaran sana bukanlah warga Warung Kaleng, tetapi berasal dari lokasi lain—saya menuju Kantor Desa Tugu Selatan, ke arah Kampung Tugu (arah Tenggara, jika diperkirakan dari google map), untuk memastikan apakah Warung Kaleng yang dimaksud itu memang masuk ke wilayah Tugu Selatan.
Petugas di kantor Kepala Desa Tugu Selatan juga tak bisa memberikan keterangan mengenai regulasi pembangunan lahan usaha penginapan di desanya. Alasannya, si Kepala Desa sedang tidak ada di tempat. Namun, hijrahnya saya dari Tugu Utara ke Tugu Selatan ini memberikan kepastian bahwa lokasi yang disebut-sebut sebagai Warung Kaleng itu adalah Sampay Sindang Subur, Tugu Selatan.
“Ada juga Sampay di Tugu Utara, tapi namanya Sampay Gang Mangga,” jelas si petugas. Darinya, saya mengetahui bahwa ada 5 daerah yang menyandang nama Sampay. Tiga lainnya, yang masuk ke Tugu Selatan, adalah Sampay Cimapubutan, Sampay Gandamanah, dan Sampay Sekolahan.
Kesimpulannya, Kampung Arab, Kampung Sampay (Sampay Sindang Subur), Warung Kaleng, ternyata memang lokasi yang sama: sebuah gang dengan jalanan menanjak terus ke arah Selatan, dengan deretan rumah penginapan bagi para imigran atau wisatawan Timur Tengah. Lokasi ini menarik perhatian karena rumor yang berkembang tentang praktek kawin kontrak yang ada di kalangan mereka, dengan mendatangkan perempuan dari daerah Cianjur dan Sukabumi. Fenomena kawin kontrak ini tak lepas dari persoalan penginapan yang dijadikan tempat tinggal bersama mereka jika datang ke Puncak.
Jika berbicara tentang kawin kontrak, sebagaimana yang sudah banyak diangkat oleh media-media atau hasil-hasil penelitian sosial, hal ini menjadi tabu karena dugaan adanya praktek ‘perempuan yang dilacurkan’ dengan kedok agama. Dari sudut pandang hukum, praktek ini bertentangan dengan Undang-Undang No 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, pasal 39 dan 63. Kawin kontrak juga terkait dengan keberadaan warung-warung diskotik dan penari perut yang sempat marak dulu. “Tapi sejak tahun 1999, sudah gak ada, karena didemo mahasiswa,” terang narasumber kami, si pemandu wisata, ketika saya berbincang dengannya, malam hari setelah melakukan observasi bersama teman-teman akumassa bernas beberapa jam sebelumnya. Menurutnya, aksi pesta hura-hura yang melanggar norma-norma masyarakat beralih ke vila-vila, dan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
“Kalau sekarang, susah! Arab-Arab pada sepi, karena bulan puasa,” kata si pemandu wisata lagi, ketika saya memintanya untuk mengantarkan kami ke warung shisha yang cukup ramai, dengan maksud agar bisa mengamat-amati orang-orang Timur Tengah (dan berharap pula mendapat kesempatan untuk ngobrol).
“Tapi saya bisa bercerita sedikit tentang mereka,” sambungnya. Dan dari si pemandu wisata ini lah saya memverifikasi data-data yang dikumpulkan teman-teman.
Mengenai dugaan-dugaan tentang bertahannya para imigran di sana, misalnya, si pemandu wisata berkata, “Mereka mendapat bantuan dana untuk hidup dari UNHCR, tapi untuk imigran yang resmi saja. Para imigran biasanya menyewa penginapan rumah-rumah warga. Kalau wisatawan asing, di vila-vila.”
“Kalau yang wisatawan nakal-nakal itu, gimana, Pak?” tanya saya.
“Itu biasanya yang muda-muda, yang Arab (Saudi), mereka kaya, ke sini cuma buat pesta,” jawab si pemandu wisata. Namun, lagi-lagi dia mengatakan bahwa di bulan puasa sekarang ini, hal itu tidak terlihat jelas, karena bukan sedang musim Arab. “Tapi, ya, gak semuanya begitu. Ada juga orang Arab yang memang datang untuk benar-benar liburan.”
Arab, yang lekat dengan image keislaman, tentunya akan menjadi persoalan menarik jika dikaitkan dengan fenomena penyimpangan sosial, seperti kawin kontrak. Dan cukup aneh juga, daerah yang biasanya dikenal dengan fenomena itu, terlihat begitu sepi di malam Bulan Ramadhan. Toko-toko yang berbau Timur Tengah tutup dengan cepat. Meskipun begitu, ada juga beberapa anak-anak muda Timur Tengah yang melintas di Jl. Raya Puncak, sekitar pukul 11 malam, saat saya berbincang dengan si pemandu wisata di depan Masjid Al-Muqsith. Akibatnya, niat untuk menggali kembali fenomena kawin kontrak tak bisa diteruskan (dan ini memang sudah terlihat dari awal diskusi outline tentang fenomena migrasi orang Timur Tengah ke Kampung Arab di kawasan Puncak, Bogor).
Ternyata, cerita tentang Kampung Arab bukan hanya satu soal saja yang menarik. Meskipun si pemandu wisata cukup banyak bercerita tentang kawin kontrak, kami mendapatkan temuan-temuan baru, yang akhirnya bisa digunakan untuk mengambil angle lain untuk membahas Kampung Arab, alias Warung Kaleng, alias Sampay Sindang Subur. Antara lain, pemandangan toko-toko dengan plang bertuliskan Arab yang memancing persoalan tersendiri yang unik untuk melihat dinamika perekonomian masyarakat setempat yang sudah sejak tahun 1990 didatangi oleh para imigran dan wisatawan Timur Tengah. Hubungan timbal balik yang terbangun antara dua kelompok yang berasal dari induk ras yang berbeda ini, Mongoloid (Indonesia) dan Kaukasoid (Timur Tengah), juga memancing pro-kontra terkait proses ‘arabisasi’. Kami juga mencoba menarik persoalan ‘musim Arab’ dan status para imigran gelap ke arah pembahasan lebih jauh tentang adanya kemungkinan alasan-alasan lain yang menyebabkan mereka datang ke Puncak.
Tema-tema unik yang disebutkan itu akan disajikan dalam rangkaian tulisan akumassa bernas pertama, yang dibungkus dalam kemasan persoalan mengenai dampak migrasi secara kultural terhadap Puncak, yang menjadi salah satu daerah lokal di Indonesia yang paling sering disinggahi oleh orang-orang Timur Tengah.
—
Artikel tajuk ini merupakan bagian dari kumpulan tulisan akumassa bernas yang pertama, hasil workshop Program akumassa bernas di Cisarua, Bogor, 20-23 Juli 2013. Nantikan tulisan-tulisan selanjutnya!
Isi tulisan tidak begitu jelas – tidak fokus , akhirnya susah untuk diikuti.
Hanya saja tema yang di angkat sudah bagus.