Lebih kurang sejak tanggal 10 Oktober, aku menelusuri Senen, diiringi dengan kekhawatiran, kecemasan dan rasa takut jika terjadi apa-apa. Sebab, sering aku mendengar cerita dari berbagai kawan-kawan Punk, juga kawan-kawan yang lain tentang ‘keseraman’ Senen.
“Harmoni, Senen dan Salemba adalah tempat yang paling dibenci kawan-kawan, banyak Herbet,” kata mereka. Herbet adalah istilah yang dipakai oleh kawan-kawan street punk di sana untuk menyebut pelaku tindakan kekerasan.
Suatu sore, 19 Oktober 2013, langit Jakarta teduh, namun hawanya membuat tubuhku kepanasan. Di daerah asalku memang panas, namun Jakarta lebih panas. Aku dan Umam berjalan menyusuri jalan dari depan Kelurahan Paseban sampai perempatan jalan, hingga di palang pintu kereta api yang menjadi batas Kecamatan Senen dan Kecamatan Johar Baru. Kami berbelok ke kanan menyeberangi rel kereta api, lalu belok kiri sebelum jembatan. Di setiap mulut gang dan jembatan yang menghubungkan Kota Paris dengan Kelurahan Galur, dan di posko-posko, sering kutemui beberapa laki-laki paruh baya yang sedang berkumpul.
“Apakah mereka itu adalah abang-abang yang dimaksud Mba Ira dengan kompleks misi (permisi.red) Bang?” tanyaku dalam hati.
Kami istirahat di sebuah warung kopi pinggir kanal Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat. Dari air yang mengalir di sepanjang kanal, tercium bau yang tidak sedap. Itu yang kedua kalinya aku mampir di warung kopi tersebut dan bau yang tercium dari kanal masihlah sama.
Di warung kopi tersebut, kami memesan satu cangkir kopi hitam dan putih, sambil bertanya di mana tepatnya letak Kota Paris kepada si penjual kopi.
“Kota Paris di mana, sih, Pak?” tanya Umam.
Sambil melayani pesanan kami, si penjual kopi menjawab, “ Ya ini Kota Paris. Kota Paris itu dari pospol (pos polisi.red) sampai pinggir Jalan Raya Suprapto.”
“Oooh…!” seruku setelah mendengar jawaban darinya.
Umam pun kembali bertanya tentang sejarah Kota Paris, namun si penjual kopi ragu menjelaskan sejarah Kota Paris dengan raut wajah dan nada bicara yang tidak yakin dengan apa yang dia ceritakan sendiri. Dia lalu meminta kami untuk ngobrol dengan putra kedua dari pendiri Kota Paris. Sambil membawa secangkir kopi yang tadi kami pesan, diantarnya kami menuju rumah yang dimaksud.
Lelaki paruh baya itu sedang menyervis sarang lampu di depan pintu rumahnya. Kulit tubuhnya berwarna coklat tua, rambutnya sudah beruban dan mengenakan kacamata. Pak Edo, namanya, putra kedua dari Pak Yakub Rustam Efendi.
“Selamat sore, Pak!” sapa kami kepada Pak Edo.
Dengan senyum yang ramah, beliau menjabat hangat tangan kami. Setelah berbasa-basi, Umam dan aku bertanya-tanya tentang sejarah Kota Paris. Pak Edo pun menyingkirkan sarang lampu yang tadi sedang diservisnya sembari mulai mengobrol dengan kami.
“Bagaimana sih Pak, asal usul bisa disebut Kota Paris?” tanya Umam kepada Pak Edo.
“Daerah ini disebut Asrama Rakyat,” Pak Edo menjelaskan. “Dulu, Bapak adalah seorang mantan pejuang kemerdekaan. Kawasan ini dulunya adalah lahan kosong yang masih berupa sawah dan rawa-rawa. Nah, lahan kosong ini dulu diminta oleh Bapak dari Gubernur yang menjabat pada tahun 50-an, sebab Bapak menolak pemberian rumah dari pemerintah masa itu. Pada tahun 60-an kawasan ini sering dikunjungi bule-bule sebagai tempat plesiran, tempat favorit berwisata jaman itu. Ada banyak sekali warung remang-remang di sepanjang kanal. Tempatnya nyaman dan orangnya ramah-ramah. Dan yang membuka warung remang-remang adalah pendatang yang tinggalnya di Galur. Yang tinggal di sini cuma jembel-jembel yang dibina oleh sebuah Yayasan. Yayasan Ampera (Amanat Pembina Rakyat). Yayasan Ampera, yang membangun adalah Bapak, untuk membina dan memberi pengajaran membaca dan membuat kerajinan-kerajinan tangan.”
“Warung remang-remang itu yang di sepanjang kanal itu, Pak?”
“Ya, dulu itu bukan kanal dan tidak selebar itu. Kecil, kaya parit.”
“Jadi kenapa bisa disebut Kota Paris, Pak?” tanya Umam dengan kebingungan karena belum mendapat kepuasan dari jawaban yang diceritakan Pak Edo. Sementara itu, aku sibuk mencoret-coret inti dari obrolan-obrolan kami.
“Yang disebut Kota Paris sebenarnya bukan ini,” jawab Pak Edo.
“Kota Paris, jaman dulu itu, yang di Lapangan 1 dan 2, yang sekarang menjadi kompleks perumahan di belakang bedeng. Lurus aja, lewat jalan itu!” lanjut Pak Edo seraya tangannya menunjuk gang arah kanan dari depan rumahnya. “Nanti akan mentok tembok, ya, itu yang dulu disebut Kota Paris, jaman dulu. Tapi saya juga heran, kenapa pinggiran kanal ini juga disebut sebagai Kota Paris. Kalau kata orang-orang, sih, kawasan ini kaya pinggiran Sungai Seine di Prancis.”
Pada tahun 60-an, orang-orang berdatangan ke Kota Paris. Penduduk yang tinggal di sekitar Asrama Rakyat atau Kota Paris, akhirnya mulai didata kependudukannya pada kisaran tahun itu karena sebelum tahun 60-an di Asrama Rakyat/Kota Paris belum ada RT (Rukun Tetangga). Semakin banyak pendatang, semakin berkurang turis yang datang. Pada tahun 80-an, setelah ada penggusuran pelebaran parit menjadi kanal, turis-turis bule tidak ada lagi yang datang, namun Asrama Rakyat telah dikenal sebagai Kota Paris. Begitulah kira-kira ringkasan dari cerita panjang lebar Pak Edo kepada kami.
Tanpa terasa, langit makin gelap. Kami berpamitan pulang dan berkata pada Pak Edo kalau kami akan kembali lagi di lain kesempatan untuk berbincang lebih banyak mengenai lokasi tersebut. Jalanan sore semakin ramai, anak-anak berseragam sekolah abu-abu putih berseliweran di jalan, anak-anak kecil, bermain, berlarian di jalan.
Berbeda dengan siang hari. Mejelang maghrib, daerah Galur dan Kota Paris terasa sedikit lebih adem. Aku dan Umam pulang dengan membawa catatan informasi tentang lokasi itu. Narasi kecil yang kami temukan ini menjadi salah satu referensi yang dapat digunakan untuk membingkai Galur dan Kota Paris sebagai perluasan ‘siasat’ dalam membaca Senen dan daerah-daerah yang ada di sekitarnya sebagai sebuah lokasi yang penuh dengan memorabilia warga.
_________________
Artikel ini merupakan bagian dari kegiatan akumassa Ad Hoc, sebuah proyek yang diinisiasi oleh Program akumassa Forum Lenteng, dalam rangka berpartisipasi pada Jakarta Biennale 2013–SIASAT.