Saya tiba di lokasi pada pukul 09.30 pagi, dan saat itu Kantor Gubernur Banten masih terlihat sepi, hanya ada beberapa orang yang tidak saya kenal serta beberapa Polisi. Saya senang karena ternyata saya tidak terlambat.
Di depan gerbang kantor, ada sebuah mobil pick up yang bagian baknya dipenuhi oleh sound system. Ada beberapa orang lain di dekat sana yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu dan seseorang di atas mobil pick up yang sedang melakukan check-sound.
Saya kemudian menghampiri seorang bapak yang berada di dekat mobil pick up tersebut, dari dirinya saya mengetahui bahwa aksi yang dilaksanakan hari itu merupakan kelanjutan dari aksi serupa yang sebelumnya telah dilaksanakan pada 26 Juli lalu, yaitu demo menuntut dibuatnya Taman Budaya di Banten. Aksi tersebut dilakukan oleh para seniman di Banten. Saya melihat ke sekeliling, ternyata tidak jauh dari pintu gerbang kantor, ada cukup banyak Polisi yang mungkin telah dipersiapkan untuk mengamankan aksi demonstrasi.
Sekitar pukul 10.00 WIB, akhirnya sekelompok seniman mulai berdatangan, ada yang berjalan kaki, ada yang mengendarai motor dan ada pula beberapa mobil yang mengangkut para seniman. Mereka datang dengan iring-iringan musik Rebana, yaitu musik yang dimainkan dengan alat pukul (kompang) dan lagu-lagu Islami. Di salah satu mobil pick up yang datang, terdapat baliho yang bertuliskan “Tegakkan PP No 38 Th 2007 – Pelaksanan Pembentukan dan/atau Pusat Pengelolaan Pusat Kegiatan Kesenian Skala Provinsi (misal Taman Budaya)”, dan ada juga yang bertulisakan “Perda No 9 Th 2005 pasal 19 – Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RPP)”. Selain itu, juga terdapat tulisan yang menyatakan tuntutan mereka, yaitu pembuatan Taman Budaya atau bubarkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar).
Aksi demonstrasi diawali dengan nyanyian Lagu Nasional, Tanah Air Beta, yang disusul dengan aksi teatrikal, tarian-tarian daerah, pertunjukan Debus, serta musikalisasi puisi. Saya mengobrol dengan seorang bapak yang merupakan Ketua Padepokan Jatilan Banten yang tidak mau disebut namanya. Ia memberitahu saya bahwa aksi ini dimulai dengan berkumpulnya para budayawan di kampus IAIN Serang, kemudian mereka melakukan pawai untuk menuju Kantor Gubernur Banten. Beliau juga memaparkan bahwa massa aksi (para demonstran) merupakan seniman Banten yang terdiri dari Debus Padepokan Assyifah, Jatilan (salah satu tarian rakyat di Jawa), Kelompok Kesenian Jaranan (Kuda Lumping), teater sastra (yang sayang sekali saya lupa nama kelompoknya), seni musik, dan seni rupa. Mereka semua tergabung atas dasar tujuan dan cita-cita yang sama, yaitu dibuatnya Taman Budaya di Provinsi Banten.
Beliau juga mengatakan aksi ini telah dilakukan berkali-kali, mulai pada pertengahan tahun 2009 hingga sekarang. Saya melihat aksi kebudayaan ini berbeda dari aksi demonstrasi lainnya yang pernah saya lihat langsung, sangat meriah dan ramai, karena bukan seperi demonstrasi pada umumnya yang dilakukan oleh mahasiswa, yang lebih sering berorasi terhadap masalah politik dan ekonomi, melainkan demonstrasi yang digalang oleh para seniman dan menampilkan aksi-aksi berupa penampilan seni.
“Pak, ini konsep aksinya bagus, persiapannya berapa lama, Pak?“ tanya saya.
Beliau menjawab, “Untuk aksi hari ini persiapannya cuma dua malam,” ujarnya.
“Cuma dua hari tapi rapih dan bagus kayak begini, Pak?”
“Iya itulah, karena jiwa seniman yang tinggi” bapak itu berkata dengan senyum menghiasi bibirnya.
Beliau juga berkata, sebelum tuntutan terwujud mereka akan terus melakukan aksi, dan pelaksanaannya pun akan lebih heboh daripada aksi yang sekarang ini.
“Kalau tidak ditanggapi, ada rencana untuk aksi selanjutnya, Pak?”
“Sudah, sudah ada rencana setelah Ramadhan.”
Ternyata untuk aksi selanjutnya telah direncanakan, tetapi memang belum terkonsep secara matang, dan mungkin bila PP No 38 Th 2007 tidak juga terealisasikan, mereka akan melakukan aksi secara besar besaran dan lebih heboh dengan para seniman atau budayawan dari Padang, Bandung, dan Batak.
“Selama ini aksi gak pernah ditanggapi, hanya perwakilan-perwakilan yang ke luar menemui kami. Kami maunya Gubernur sendiri yang menemui kami, kami juga pernah aksi di Kawasan Pusat Pemerintah Provinsi Banten (KP3B), tapi hanya perwakilannya juga yang ke luar,” ujar bapak itu.
Percakapan saya dengan beliau sempat terhenti karena ada peristiwa menarik. Di tengah-tengah pertunjukan seni beberapa penari mengalami kesurupan, awalnya hanya penari Jaranan saja, kemudian satu per satu penari yang lain dan penabuh gendang pun ikut kerasukan. Tetapi hal tersebut sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah bagi mereka dan bukanlah sesuatu yang mengagetkan, terbukti dari cepat tanggapnya mereka mengatasi para korban kesurupan. Saya tidak mengerti apa yang sebenarnya dilakukan, yang saya lihat para korban itu dipegangi tubuhnya oleh beberapa orang dan ada satu orang yang terlihat komat-kamit seperti membacakan doa.
“Wah sepertinya mahluk dari dunia lainnya belum mau pulang sampai tuntutan ini dikabulkan,” begitulah selentingan yang diucapkan lewat microphone oleh Koordinator Lapangan aksi tersebut, Mahdi Duri.
Kemudian saya menghampiri petugas Satpol PP yang berada di belakang kerumunan massa aksi. Saya menanyakan apakah beliau mengetahui isu yang diangkat pada aksi tersebut, ternyata beliau tidak tahu.
“Saya cuma dapat panggilan buat ngamanin (mengamankan-Red) yang demo di sini, saya baru tahu barusan lihat baliho itu,” ucap petugas Satpol PP itu seraya menunjuk ke baliho bertuliskan Peraturan Daerah dan tuntutan aksi.
Petugas Satpol PP itu juga mengatakan bahwa Ibu Gubernur sedang tidak ada di Kantor, mungkin hanya perwakilan saja yang nantinya akan menemui para massa aksi. Keberadaan Satpol PP sendiri untuk mengamankan dan melindungi massa aksi karena dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya kekacauan. Beliau dan Satpol PP lainnya yang berada di sana juga membantu Polisi Lalu Lintas melancarkan jalan yang sedikit macet karena aksi tersebut.
“Lho, kan udah ada Polisi Pak, kok ada Satpol PP juga?” tanyaku.
“Begini Dik, Polisi untuk pengamanan di dalam sedangkan Satpol PP untuk di luar sini,” jelasnya.
“Kalau menurut Bapak sendiri Taman Budaya penting gak sih?”
“Ya penting, kan seperti Polisi ada Kantor Polisi, seniman juga harus ada medianya jadi gak salah kalau mereka demo kayak gini,” seperti itu lah pemaparan Petugas Satpol PP yang di dadanya bertuliskan nama Upardan.
Setelah agak lama menyaksikan atraksi-atraksi para seniman, saya dan teman saya, Doci, mulai merasa haus, kemudian kami menghampiri penjual Es Cendol. Sambil menikmati Es Cendol saya berinteraksi dengan Bapak Engkus, penjual Es Cendol. Saya ingin bertanya perihal aksi demonstrasi tersebut dan saya memulai percakapan dengannya,
“Bapak emang setiap hari jualan di sini atau kebetulan ada demo aja, Pak?”
“Gak, Neng, Bapak kebetulan lewat aja terus lihat di sini ramai jadi ke sini, biasanya saya jualan di Polres Serang”.
Dapat saya simpulkan bahwa aksi demonstrasi ini menguntungkan juga untuk pihak lain seperti bapak penjual Cendol ini dan mungkin bagi penjual lainnya karena dagangan mereka menjadi laris.
Kemudian saya bertanya lebih spesifik mengenai demonstrasi para seniman itu, “Pak, ini kan yang demo minta dibikinin Taman Budaya ya Pak, kalau menurut Bapak gimana tuh?”
“Ya bagus Neng demo kayak gini, Taman Budaya juga kan penting, Bandung aja punya masa Banten gak punya, tapi kasihan juga, gak didengar sama orang dalam, pada cuek,” jawabnya.
Seperti itu lah bentuk keprihatinan dari seorang penjual Es Cendol yang mengawali karir berjualan Cendol-nya pada tahun 1989 di Serang, Banten.
Saking asyiknya menikmati Es Cendol, ketika mata saya kembali tertuju pada aksi demonstrasi, terlihat para demonstran telah membubarkan diri.
ini baru demo yg menghibur… hehe
nice article, susa
poto2nya bagus..tengs to dochi pangalila aldian 😀
selamat Susah… menghibur… terus menulis…
mantaaaaapp, teruskan nulis ye…!!!
🙂
mantap neh tulisan, memang kudu n harus punya taman budaya apalagi dah 10th banten berdiri.
maju terus kawan2 sebumi.
mantaaaaaaaaaaap gan .
lanjutin yeee nulis nya (:
haha
selamat anda lucu .
kenapa gg dari dulu aja nulis . *loh .?!
ok cut . nice …
trims atas reportase kegiatan aksi seniman2 banten waktu itu. Cara penyampaiannya asyik, terlebih dengan ungkapan kata bapak itu…. trims bro and sys.
Saking asyiknya menikmati Es Cendol, ketika mata saya kembali tertuju pada aksi demonstrasi, terlihat para demonstran telah membubarkan diri.
penutup yang bagus
Woow..keren nih..gara-gara Akumassa…Susa, Dochi, Yugo, dll jadi ketauan bakat nulisnya…sebelum-2nya kita-2 mana tau yaa..besok-2 tambah ketauan ada bakat bikin filmnya deh..
bgus bnged untuk artikel_na ..
trus slalu berikan informasi lokal yang yg menarik ..
^_^
tuk kang mahdi duri, maaf kang waktu itu saya gak sempet wawancara akang, padahal harusnya koorlap itu yg paling penting wat di wawancara, kesalahan fatal ini saya lakukan,hehe. semangat terus kang & semua seniman banten, saya dukung 100% aksi kalian karena bermanfaat .