Ada peristiwa apa di Senen belakangan ini?
Menurut gambar yang tertayang dari hasil rekaman kamera telepon genggam abang penjual warung di mulut Jalan Kramat Baru, Kecamatan Senen, ada peristiwa sorak sorai tukang-tukang ojek sekitar, tukang somay, petugas cleaning service kantor sebelah dan beberapa orang lewat, atas kemenangan tim kesebelasan Indonesia U-23 saat mengalahkan tim kesebelasan Turki di Stadion Jakabaring, Palembang. Kemenangan hasil adu penalti dengan skor 7-6 tersebut membawa Indonesia masuk ke putaran final piala Islamic Solidarity Games.
![Dokumentasi akumassa Ad Hoc: suasana para penonton sepakbola di sebuah warung di Senen ketika laga Indonesia VS Turki. [Foto: Otty Widasari]](https://i1.wp.com/akumassa.org/wp-content/uploads/2013/12/IndonesiaVSTurki.jpg?resize=565%2C565)
Suasana para penonton sepakbola di sebuah warung di Senen ketika laga Indonesia VS Turki. [Foto: Otty Widasari]
Wilayah pendokumentasian peristiwa bersejarah bagi bangsa dan negara di bidang olahraga sudah diolah oleh pihak media massa. Pak Warung mengolah wilayah artistik yang lain, yaitu pendokumentasian peristiwa yang ada dalam masyarakat Indonesia yang sedang berbangga.
***
di Kampung Paseban, ondel-ondel selalu melewati lapangan Perintis setiap sore. Anak-anak kecil tidak pernah bosan dengan kebisingan itu. Suara rebab mengalunkan melodi lagu dangdut yang paling hits saat ini, sudah terdengar dari ujung gang sebelah timur lapangan. Ngak ngek ngok … dan anak-anak kecil berlarian menyambutnya dengan gembira. Di ujung bar melodi tersebut, mereka bersorak serempak, “Bukat dikit, JOSS!!” berbarengan dengan pukulan ultima dari gong besar yang dipikul dua orang.
Ondel-ondel menari, mengitari lapangan Perintis di Kampung Paseban. Yang perempuan berbaju merah jambu dan yang lelaki berbaju biru. Wajah mereka mirip, sama-sama bergaun panjang dan berkain selempang. Hanya berbeda di riasan wajahnya saja saja, ondel-ondel perempuan tidak berkumis. Ondel-ondel besar sekali, tapi tidak seseram yang kusaksikan di lapangan Monas semasa kecil dulu. Kalau dulu tubuhku hanya seperempat tubuh ondel-ondel, sekarang tinggiku lebih dari setengahnya. Pemandangan yang tidak pernah kulihat di masa kecil dulu, adalah saat orang yang ada di balik ondel-ondel kelelahan, salah satu anggota grup membantu mengangkat kerangka tubuh ondel-ondel yang besar sekali itu, lalu si pemain keluar dari dalam kerangka tubuh ondel-ondel untuk digantikan oleh kru lainnya. Adegan itu melenyapkan peran teatrikal sosok ondel-ondel yang seakan hidup sebagai mahkluk fantasia, menjadikan pertunjukan di depan mata kembali pada kenyataan. Aku cukup takjub melihat adegan itu. Anak-anak kecil terus menari mengelilingi ondel-ondel. Ada beberapa anak-anak kecil yang memegang telepon genggam berkamera milik ibunya, bapaknya, atau kakaknya, sibuk memotret dan bahkan merekam pertunjukan ondel-ondel dengan kamera video dari telepon genggam. Adegan pergantian pemain pun tak luput dari tangkapan kamera mereka. Dokumentasi itu bisa jadi dihapus saat memori telepon genggam penuh. Atau mungkin orang tuanya juga akan menghapusnya saat dirasa dokumentasi itu tidak penting. Namun tentu saja ada kemungkinan dokumentasi tersebut akan disimpan dan bisa dilihat dua puluh tahun mendatang sebagai sebuah peristiwa masa kecil di Kampung Paseban. Saat warga memiliki serangkaian perangkat pendukung untuk mengarsipkan dokumen yang mereka produksi, kesadaran itu tentu akan tumbuh dengan sendirinya.![Mba Ira dan Bang Gallis berfoto bersama Harryaldi dan tiga orang anak-anak warga Paseban [Foto: Harryaldi Kurniawan]](https://i2.wp.com/akumassa.org/wp-content/uploads/2013/12/galis_01.jpg?resize=565%2C565)
Mba Ira dan Bang Gallis berfoto bersama Harryaldi dan tiga orang anak-anak warga Paseban [Foto: Harryaldi Kurniawan]
![Suasana kerja di salah satu workshop kaleng yang masih tersisa di Pondok Kaleng {Foto: Andrie Sasono]](https://i2.wp.com/akumassa.org/wp-content/uploads/2013/12/pondok-kaleng.jpg?resize=565%2C565)
Suasana kerja di salah satu workshop kaleng yang masih tersisa di Pondok Kaleng {Foto: Andrie Sasono]
Pemahaman bahwa seni tidak harus fungsional, bagi saya merupakan ambiguitas, karena biar bagaimana pun dia hadir dengan fungsi pemberi keindahan bagi manusia dan kehidupan. Di sini saya berdiri tepat di garis yang membatasi kehidupan masyarakat dengan pemahaman seni. Perspektif yang terbentuk di kepala saya adalah, bahwa seni tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat sama sekali. Pengalaman mempelajari seni selama sepuluh tahun belakangan ini membawa saya pada kefrustasian, di mana masyarakat awam tidak mampu melihat seni sebagai sebuah ranah dan bidang yang mampu dipahami. Tentu saja ini disebabkan oleh kecacatan sistim pendidikan di negara ini. Sementara dari kalangan seniman pun, mereka selalu tampil di tengah masyarakat sebagai kalangan eksklusif dan berbeda dari masyarakat pada umumnya. Maka saya mengambil keputusan untuk tetap berdiri di garis batas dengan perspektif yang saya sebut di atas, bahwa, sebelum sistim pendidikan (seni) jadi membaik, gerakan pemberdayaan masyarakat harus dibingkai dengan perspektif ke-‘seni’-an, dan di masa sekarang berbasis media atau basis bermedia adalah derap langkah yang harus diambil, karena masyarakat dan media sudah tidak terpisahkan.
***
Menjelang siang, pernikahan kecil berlangsung tidak syahdu di sebuah rumah kecil di gang depan warung kelontong, di Kampung Paseban. Tamu yang hadir hanya sedikit, dan terlihat seperti acara nongkrong-nongkrong biasa, layaknya hari-hari di Paseban. Pengantin perempuan duduk bersila dengan tidak khidmad karena kesusahan duduk bersimpuh terbebani perutnya yang sudah membuncit, siap melahirkan bayinya dua bulan ke depan. Namun dia tetap terlihat cantik.
Makanan dan piring yang tersedia tampak tidak cukup untuk tamu yang hadir. Pengantin pria seperti tidak betah dengan ruitual yang harus dijalani, keluar ruangan paling duluan setelahnya, dan langsung bercengkrama dengan kawan-kawannya di luar pagar rumah sambil merokok. Sungguh tidak ada yang istimewa. Namun perkawinan itu terdokumentasi dengan sempurna sejak awal pengantin perempuan dirias di dalam kamar, hingga acara bubar. Dengan kamera poket berfasilitas perekam audio visual, juga dengan berbatang-batang kamera telepon genggam milik keluarga, rekanan dan warga. Kelak materi itu akan dipotong, disusun dan diperindah menggunakan program komputer rumahan, dipadatkan dalam kepingan DVD, untuk diputar dengan media tayang DVD, untuk dinikmati sebagai sejarah warga.
Dini hari, para pedagang kue subuh di Pasar Senen berkerumun menonton pertandingan bola Tim Garuda Indonesia yang sedang bertanding live dari telepon genggam milik salah satu dari mereka. Masyarakat dan warga mengambil peran memproduksi informasi layaknya jurnalis atau seniman. Selain itu, salah satu peristiwa yang terjadi di Senen, sebagaimana di wilayah lain, masyarakat dan warga juga mengapresiasi produksi-produksi tersebut dengan keragaman latar belakangnya.
Walaupun kemudian produksi-produksi tersebut tetap harus masuk ke dalam ekslusifitas untuk bisa dilihat sebagai ‘seni’ karena harus ada orang bernama ‘seniman’ yang membingkainya dengan kepekaan subjektivitasnya, tapi sadarkah mereka, bahwa mereka mendapatkan itu dari masyarakat?
________________________________
Tulisan ini sudah dimuat di dalam Jurnal Akumassa Ad Hoc, berjudul “Seni di Batas Senen” (Forum Lenteng, 2013). Jurnal tersebut merupakan salah satu karya hasil kolaborasi para penulis dari beberapa komunitas yang terlibat dalam proyek akumassa Ad Hoc yang diinisiasi oleh Program akumassa Forum Lenteng, dalam rangka berpartisipasi dalam Jakarta Biennale 2013 – SIASAT.