Catatan I Gde Mika (Mahasiswa IKJ, Angkatan 2018)
Tanggal 23 September 2019. Merespons rencana pengesahan RUU KUHP, Ketenagakerjaan, KPK, dan lainnya yang bermasalah, Persatuan Mahasiswa Indonesia menyerukan aksi damai untuk menuntut penundaan pengesahan peraturan yang tidak pro rakyat dan cenderung berpihak kepada kepentingan kaum elite. Saya dan aliansi mahasiswa IKJ berkumpul terlebih dahulu di depan TVRI. Sebelum berpawai menuju gedung DPR kami mencoba membuat sebuah formasi; tangan kiri dan kanan saya terpaut dengan kawan yang lainnya. Formasi ini bertujuan agar tidak ada penyusup yang masuk, ataupun provokator yang akan mengintervensi tujuan kami ke sini. Tujuan kami hadir dan turut berpawai hanyalah ingin menggugat sejumlah RUU ngawur itu, bukan membuat kericuhan yang sama sekali tak diperlukan. Jika dan hanya jika aspirasi kami tak didengar, maka akan disiapkan sebentuk perlawanan.Tibalah saya dan mahasiswa IKJ di depan gedung DPR RI, gedung yang telah dikerumuni oleh semua aliansi mahasiswa yang ikut berpartisipasi sejak pagi. Berbagai aspirasi disampaikan dengan cara yang berbeda-beda, tentu berpegang pada substansi yang sama. Perhatian saya tersita oleh ragam spanduk dan poster yang terpasang di pintu gerbang DPR RI. Teks-teksnya berisi gugatan sekaligus sindiran atas hasil kerja anggota DPR RI yang bermasalah. Di depan pintu gedung DPR RI terparkir sebuah mobil yang dimodifikasi seperti panggung, di atasnya berdiri para perwakilan aliansi mahasiswa. Satu per satu melantangkan orasi-orasi yang telah mereka siapkan untuk membakar semangat para demonstran, mempertegas alasan mengapa kita semua berdiri di sini.
Saya, Paul, Karel, dan Ola membawa kantong plastik sembari mengumpulkan sampah yang berserakan di jalan. Alangkah bersemangatnya sejumlah demonstran sehingga lupa untuk menjaga kebersihan. Botol-botol plastik, kemasan makanan, dan puntung rokok kami kumpulkan ke dalam satu kantong plastik besar, tak lupa kami meremas botol-botol tersebut supaya tak memakan tempat terlalu banyak.
Tiba-tiba, semua orang bersorak kencang, entah apa yang mereka sorakan. Lagi, pandangan saya tertuju ke arah pintu gerbang DPR RI, seseorang tengah memanjatnya sembari memampang spanduk bertuliskan ‘’DPR: Dewan Pengkhianat Rakyat’’. Massa bersorak serentak seolah sepakat dengan pelesetan dari kepanjangan akronim itu. Sorakan semakin meriah ditambah dengan nyanyian, ‘’Tolak-tolak!! Tolak RUU!! Tolak RUU!! Sekarang juga!!!’’ Tak hanya itu, ada juga yang ingin masuk ke dalam gedung DPR RI dengan cara mendobrak pintu gerbang yang tampak begitu tinggi. Untungnya, mereka mau mendengar ucapan dari perwakilan setiap aliansi mahasiswa, situasi kembali kondusif.
Seorang di antara massa berceletuk, ‘’Kalau aspirasi kami tidak didengar, maka jangan salahkan kami apabila ada kerusakan…!’’ Terdengarnya rangkaian kata itu terasa sangat menegangkan sebab, di sekeliling gedung DPR RI, barikade polisi sekaligus mobil barracuda dan water canon tampak siap sedia dan siap pakai. Cukup lama kami berdiri di depan gedung DPR RI, tak juga ada tanggapan dari mereka yang berwenang. Semakin lama kerumunan massa semakin padat. Para demonstran kembali bersorak sembari menempelkan spanduk-spanduk baru di berbagai penjuru pagar besi gedung DPR RI. Sesekali, kaki, tangan, dan bahu mereka menghantam pagar besi. Ada juga yang mengancam akan menutup mobilitas jalan tol apabila aspirasi tak direspon sama sekali. Polisi mencoba bernegosiasi agar penutupan jalan tol dapat terelakkan. Kabar tentang perwakilan DPR RI sepakat untuk berunding dengan seluruh Ketua BEM yang ikut berpartisipasi akhirnya tersiar. Di sini, kami sudah merasa senang karena semua berjalan dengan lancar. Tinggal kami menunggu hasil serta keputusan apa yang akan dibuat dalam pertemuan.
Situasi kondusif, orasi-orasi terus dikumandangkan. Saya melihat betapa bergairahnya mereka semua karena aspirasi mereka sudah tersampaikan. Beberapa saat kemudian, situasi kembali ricuh, di sebelah kanan kami ada massa pro-pengesahan RUU. Mereka sesekali melempar botol plastik ke arah kami, seolah-olah memprovokasi kami untuk menyerang balik. Di titik inilah orasi-orasi dari kubu kontra-pengesahan RUU, yaitu kami, dan kubu pro-pengesahan RUU mulai bertabrakan, beberapa orang terpancing emosinya. Banyak sekali celetukan yang “dipersembahkan” untuk kubu pro, ‘’Woiii…!! Suara bayaran!’’ ‘’Woiii! bacot lu, pengkhianat rakyat!’’ Akhirnya, perwakilan mahasiswa mengambil tindakan dengan melerai mereka agar tidak ikut terprovokasi oleh tetangga sebelah. Semua aliansi mahasiswa menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai penentram agar tak terprovokasi oleh kubu pro yang ada di sana. Lagu Indonesia Raya yang kami nyanyikan tidak tiga stanza, mungkin itu terlalu lama, atau sebenarnya malah kami yang memang tidak hafal lagu kebangsaan kami sendiri. Tetapi cara ini cukup efektif untuk mengalihkan perhatian kami dari provokator yang terus mencari celah untuk memecah belah kami, agar melakukan pelemparan balik.
Sore menjelang, perwakilan BEM-BEM sudah keluar dari gedung DPR RI, di sini kami berharap ada solusi dan keputusan yang jelas. Tetapi sayang, nihil yang kami dapatkan, keputusan akan dirundingkan kembali. Ini semacam tarik ulur ketika bermain layang-layang, karenanya kami tak boleh lengah. Sebab itulah saya dan beberapa teman memutuskan untuk bermalam di depan gedung DPR RI. Sorak-sorak mulai padam saat azan maghrib berkumandang, tetapi semangat kami tak turut padam. Semua demonstran beristirahat sejenak sembari menunggu beberapa orang sholat bergantian.
Suasana mulai mencekam selepas matahari terbenam. Tiba-tiba, ada yang berteriak sembari membagi-bagikan pasta gigi. Dioleskannya pasta gigi itu tepat di bawah kelopak mata kami. Beberapa teman saya malah mengucurkan air mata duluan karena pasta gigi yang dikenakan mengandung mint, jelas sangat perih jika terkena mata. Massa sudah mulai bercampur aduk, beberapa kawan kami ada yang sudah pulang duluan. Berada di barisan terdepan membuat kami terdorong-dorong massa yang ingin maju menembus pagar gedung DPR RI. Di sini, situasi semakin genting, dari mobil komando mulai terdengar teriakan untuk membentuk formasi yang kuat, mencegah massa terpecah jika terjadi kericuhan nanti, sejumlah kawan saya turut masuk barisan.
Hari makin malam, massa makin bercampur aduk, Ketua BEM IKJ, Vian, memutuskan untuk menarik mundur mahasiswa IKJ secara perlahan; takut-takut nanti ada provokator yang justru mengambing-hitamkan kami sebagai pemicu kerusuhan. Massa perempuan didahulukan untuk pergi melewati trotoar di bahu jalan. Menyusul kemudian massa laki-laki, walaupun ada beberapa orang yang menolak untuk pergi dan tetap ingin menginap di sana. Sempat terjadi konflik karena, dalam kesepakatan, kami datang kemari dengan satu komando, dan harus pulang bersama-sama. Semua mahasiswa IKJ sepakat massa aliansi IKJ ditarik mundur. Beberapa orang yang memilih tinggal melepas almamaternya, mereka tetap teguh pada keputusannya untuk bertahan di depan DPR RI. Saya yang awalnya ingin menginap bersama teman saya, langsung mengurungkan niat karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, juga karena esok harinya kami perlu kembali ke sini dan tentu perlu menjaga tenaga selain massa yang lebih banyak untuk terus menyuarakan aspirasi. Sebagian menganggap kalau anggota DPR RI itu kurang pendengarannya, karenanya butuh suara yang lantang dan massa yang banyak agar terdengar sehingga mereka mau berdiri dan menghampiri kami.
Sebelum pulang, massa IKJ berkumpul di titik aman di dekat TVRI dan mengevaluasi demonstrasi tadi sembari membicarakan rancangan aksi untuk hari esok. Walaupun beberapa teman kami ada yang pingsan karena kelelahan dan harus dirawat, syukur saja semua bisa pulang dengan selamat.