Catatan Fiana Dwiyanti (Head of Social Change @NeverOkayProject)
Catatan mengenai pendapat Fiana Dwiyanti ini merupakan hasil suntingan dari transkripsi Audio Notes yang dikirim via WhatsApp ke meja redaksi AKUMASSA.
Jadi, alasan saya ikut turun aksi karena saya rakyat Indonesia. Kedua, saya benar-benar mengikuti isu RKUHP ini sekitar lima bulan yang lalu, saat sudah disinggung-sunggung oleh anak-anak gerakan. Selanjutnya, karena RKUHP ini membawa hajat semua orang banyak. Saya sensitif terhadap isu-isu sosial karena setahun terakhir ini saya berkecimpung di bidang isu sosial. Saat RKUHP ini mulai dipertanyakan, teman-teman dari gerakan sering kumpul buat membahas RKUHP. Setiap ada aksi terkait RKUHP, saya sebisa mungkin turun. Di CFD (car free day—ed.) satu kali, depan gedung DPR dua kali. Selebihnya, saya ikut pembahasan-pembahasan. Jadi, utamanya, kenapa saya ikut, karena ini menyangkut diri saya, diri orang banyak, dan—kalau saya punya anak—diri anak saya. Saya tidak mau hidup di bawah hukum yang menurut saya semestinya tidak diterapkan. Dan, yang paling parah, adalah, ketidakterbukaan DPR dalam membahas ini. Kalau misalnya DPR bilang, “Where have you been…?”, ya, kita ada saja…, NGO ada saja yang nanyain, selalu ngawal, cuma tetap sama mereka nggak mau ngomong sama kita.Soal informasi aksi, saya dapat satu dari Gerakan Masyarakat, Germas singkatannya. Karena saya aktif di Komnas Perempuan, jadi lingkungan yang saya geluti beranggotakan komunitas-komunitas atau pemilik akun-akun Instagram yang berbau feminisme dan humanitarian. Ada satu grup (chat group—ed.) yang memang berisi informasi-informasi Gerakan Masyarakat. Biasanya, kita pakai grup itu untuk saling sebar informasi acara, nggak ada koordinasi sama sekali. Sebenarnya, [keterlibatan pada demonstrasi] kemarin pun tidak ada koordinasi juga. “Besok ada aksi di sini, ya, kalau bisa join, join!” Ya, dari situ. Sekarang kanal informasi luas banget, apalagi @indofeminis (akun Twitter—ed.) juga progresif kalau ngasih berita. Pertama, pasti dari grup, terus dari media sosial, baru dari orang lain.
Soal apa saja yang saya lihat di sana, beda-beda. Dalam minggu ini, saya empat kali ikut aksi. Senin minggu lalu, [aksi] untuk RKUHP, saya dengar bahwa hari Minggu DPR RI dan Pemerintah mengadakan pertemuan tertutup di Hotel Fairmont. Ketika Senin ada ajakan untuk aksi, saya datang. Hari pertama minggu lalu itu, lumayan sedikit karena yang lain belum tergerak. Mahasiswa belum bergerak, baru aliansi masyarakat saja: anak-anak gerakan, anak-anak NGO, jadi tidak sebanyak warga lainnya karena isinya millennials yang mana, sebenarnya, mereka pada kerja. Saya sendiri datang antara jam satu sampai jam tiga, tidak lama, karena memang saya datang di antara jam kerja. Ya, seenggaknya saya membawa poster, terus disebar. Jadi, saya bantu menyebarkan message juga ke orang-orang. Selasanya, [aksi] untuk pengesahan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual). Saya orang yang sangat mendukung dan mendesak pemerintah untuk mengesahkan RUU PKS. [Hari] itu lumayan… tidak kacau. Cuma, saya sedih karena massa yang pro RUU PKS mendapat massa tandingan, massa yang kontra. Mereka dari KAMMI, dan saya lupa dari aliansi mana lagi. Pokoknya, yang membawa nama agama. Ya, sudah, kita saling menyuarakan aspirasi dari mokom (modil komando—ed.) masing-masing.
Terus, hari Senin yang kemarin (23 September 2019—ed.), [aksi untuk] RKUHP yang hari pertama, saya mendapat informasi pada hari Sabtu, jadi sejak Sabtu saya sudah mulai menyebarkan info bahwa ada gerakan. Hari senin itu, awalnya, kan, Gejayan Memanggil, terus grup Germas mulai berpikir, “Ini, kita nggak bikin di Jakarta, nih?” Ada yang ngomong, “Eh, mahasiswa juga gerak.” Jadi, ya, sudahlah…, tapi di situ Germas masih berpikir, “Kita Selasa saja, jangan hari Senin, mahasiswa dulu hari senin.” Tapi, karena saya tetap bisa datang juga, toh, jam empat saya sudah selesai kerja, jadi saya datang pada hari Senin. Dan hari Senin itu, saya sampai ke barisan depan dekat mokom. Nggak gimana-gimana… nggak ada kericuhan, cuma ramai doang. Jam tujuh, saya sudah cabut, dan nggak ada tear gas, nggak ada baton yang mukul mahasiswa. Semuanya, menurut saya, lumayan aman. Cuma, katanya, saya dengar, malam agak ricuh, tapi nggak separah yang hari Selasa. Senin itu saya cuma mengambil beberapa footage dan foto-foto orang yang menyampaikan aspirasi. Malamnya, Germas sudah mengeluarkan poster, video panggilan. Ya, saya bantu sebarkan juga. Teman-teman saya mau ikut, ya, sudah, akhirnya saya hari Selasa berangkat pagi. Tapi, gara-gara soal kerjaan, saya baru bisa sampai ke daerah Semanggi itu jam empat.
Jam empat itu, ya, semuanya mahasiswa, sih. Ada Kelompok Petani juga, soalnya mereka, paginya, demonstrasi di Istana, kan… Ada masyarakat…, ada polisi, ada mahasiswa kampus… setidaknya ada sepuluh almamater yang saya lihat. Terus, saya juga ketemu teman-teman saya, yang millennial-millennial yang cuti kerja buat ikut demo. Kita (massa demonstran—ed.) baru dipukul mundur saat sore hari, jam lima lewat lima belas menit.
Tentang mahasiswa, saya tidak yakin apakah mereka benar-benar tahu RKUHP ini, bermasalahnya di bagian mana. Saya takut mereka cuma melihatnya dari media sosial. Tapi, selama di sana, saya tidak melihat ada poster atau spanduk yang menyerukan sesuatu yang melenceng dari pesannya. Di sana, saya melihat bahwa intinya mahasiswa ingin DPR mendengarkan rakyat. Ini sudah turun, tunggu apa lagi…?! Kalau misalnya dulu, waktu 98, mahasiswa ingin keluar dari kemiskinan dan masalah ekonomi, tahun ini, kemarin, justru yang dibahas adalah masalah-masalah yang lebih modern, masalah privasi terutama. Beberapa poster dan spanduk menyasar masalah pribadi masing-masing. Misalnya, perempuan mempermasalahkan isu rahim, laki-laki mempermasalahkan isu jam pulang malam. Jadi, karena saya berdiri di sekitaran kerumunan mahasiswa, [saya melihat] tidak ada yang melenceng pesannya. Saya tidak di tempat lain, ya. Balik lagi, ini dari mata kepala saya sendiri. Saya tidak mau hanya mendengar dari orang ataupun menceritakan apa yang saya lihat di media sosial saja.
Tentang apa yang terjadi di lapangan… Jadi, saya dan teman saya, totalnya bertujuh, tapi kami mencar-mencar. Yang tiga ada di dekat mokom, di depan pagar gedung DPR. Saya berada di depan mokom itu. Mereka bilang ke saya, bahwa water canon sudah disemprot sejak jam empat. Saya tanya, kenapa disemprot? Karena massa memang menerobos masuk. Katanya, rombongan mahasiswa sudah tidak punya kesabaran lagi untuk menunggu. Kalau misalnya dibilang bahwa polisi yang memulai, ya, saya tidak mengerti bagaimana menjelaskannya lagi. Artinya, polisi memukul kita mundur karena rombongan massa yang ada di depan, di daerah mokom itu, sudah masuk dan mulai bakar-bakar ban. Makanya, water canon disemprot sekitar jam empat. Jam setengah lima, saya di sisi bawah flyover JCC, sudah mulai melihat semua cluster, semua pleton. Mahasiswa mulai mundur. dan sudah banyak yang dibopong. “Oke…!” saya pikir. “Ini sudah nggak aman.” Jadi, saya tahu dirilah, nggak mungkin ada tear gas di depan, saya tetap stay di sana, Tapi, saya tidak menyangka ternyata polisi benar-benar ingin meng-clear-kan area sekitar DPR dan Jalan Gatot Subroto dari massa. Tear gas ditembakkan ke arah massa, ya, jelaslah pada akhirnya rusuh, akhirnya pagar jebol. Maksudnya, masih ada banyak orang di belakang, sedangkan orang-orang yang di depan ditembak dengan gas air mata. Akhirnya, kepepet, kan…? Yang ada di tengah, mau nggak mau, nggak bisa mundur ke belakang, jadi ke samping, menerobos pagar kayak gitu.
Saya, awalnya, masih bertahan saat ada tear gas, kena tipis-tipis. Saya masih bertahan mengambil footage, masih bisa lihat orang-orang lari. Akhirnya, saya ikut lari ke pintu GBK 10, yang dekat Lapangan Panahan. Banyak banget mahasiswa yang memanjat ke pagar Panahan; tear gas tidak berhenti ditembakkan. Di setiap jalan, asap sudah seperti fogging. Orang-orang sudah muntah-muntah, batuk-batuk, tidak berhenti. Sampai saya masuk ke pintu 10 GBK pun, saya sempat menjauh dari aparat, saat aparat mendekat, [kami] masih ditembak juga. Jadi, yang di dalam pintu 10 kocar-kacir ke arah dalam.
Saat saya masuk agak ke dalam stadion, ternyata rombongan mahasiswa UI pada shelter di situ. “Oh…!” saya pikir “Sudah agak aman, nih…!” Tapi ternyata, itu, suara tembakan tear gas masih ada! Mahasiswa UI yang sedang duduk-duduk di situ kocar-kacir ke dalam stadion. Mahasiswa perempuan UI, tuh, pada masuk ke dalam stadion.
Intinya, saat itu, para mahasiswa, semuanya, lari kocar-kacir, akhirnya mereka terpisah-pisah… mereka rekonsiliasi lagi di luar stadion, di track jogging stadion. Ada mahasiswa UI, Trisakti, … Handphone saya, waktu itu, tidak bisa menerima sinyal sama sekali. Saya kehilangan teman saya yang tadinya berada di dekat mokom. Ternyata, teman saya dievakuasi di RS AL, di situ dia menunggu sampai bisa keluar. Saya di GBK bersama teman gue yang lain. Di situ, kita masih dengar suara tear gas dan petasan. Saya juga melihat mahasiswa pada gelepakan…, Tapi, sejujurnya, saya tidak melihat ada aparat yang memukul; saya cuma melihat mass hysteria saja pada saat tear gas masuk ke wilayah Semanggi.
Pendapat pribadi saya soal isu ini, jelas: banyak isu yang bermasalah, mulai dari KPK. Saya punya satu komunitas, nama @NeverOkayProject, founder-nya adalah seorang researcher di TII (Transparency International Indonesia). Subjek penelitiannya adalah KPK. Jadi, secara tidak langsung, saya sering ngobrol sama dia soal KPK. Dia juga sering curhat, pusing mikirin RUU KPK. Jadi, RUU KPK salah satu concern saya.
RKUHP? Jelas, ya, semuanya bermasalah. Banyak pasal-pasal yang bisa disalahgunakan. Dan yang membuat saya kesal adalah, mereka (anggota DPR RI—ed.), di detik-detik pengesahan, menutupi pembahasan, tidak melibatkan masyarakat.
Yang terakhir, yang sudah saya junjung dari sekitar tiga tahun yang lalu, sudah saya bahas dan sudah jadi concern saya, adalah RUU PKS. Dari poinnya ada 20, sekarang tinggal 9, saya sudah ngikutin, dan sampai sekarang pun, enggak disah-sahin, dan malah bertabrakan dengan RKUHP. Itu, sih, yang bikin saya sakit hati. Kayak…, “Meeen, ini gimana nasib perempuan? Bikin gue nggak mau punya anak, tahu nggak?!”
Saya tidak tahu ke depannya bakal punya anak atau tidak, tapi saya tidak mau anak saya nanti lahir di negara yang kayak begini. Saya (perempuan—ed.) setiap hari dilecehkann, di kantor…, di mana pun…. Terus, saya tidak akan bisa mengadukan ini atau tidak bisa ngapa-ngapain soal hal ini…?! This is like the shitest feeling ever! Intinya, terkait masalah RUU ini, banyak yang harus dikaji ulang. [Pemangku kebijakan harus] melibatkan masyarakat, terbuka. Ada TV, gitu…, ada Internet…! Ajaklah masyarakat buat membahas ini…! Jadi wakil rakyat, ya, wakil rakyat…, tapi saya tidak yakin, itu, wakil rakyat pernah… maskudnya… saya sendiri, ya, pernah berusaha cari tahu wakil rakyat dapil saya, nih… itu nggak pernah yang namanya ketika saya mengirim SMS, dibales. Saya sudah pernah SMS sekali, tapi tidak ada balasan. Nggak ngerti, mereka, tuh, ngobrol sama rakyatnya, kapan…? Nggak ngerti.
Kalau melihat isi Instagram Stories saya, di situ nggak ada opini saya sama sekali. Gue cuma menggambarkann fakta yang saya lihat saat itu.