Pagi itu sekitar pukul 08.00 WIB saya mendengar suara seruan yang berasal dari masjid,
“Untuk merayakan hari kemerdekaan kita, diharapkan kepada semua warga Komplek Mawar Putih pada hari ini tanggal 17 Agustus tepat pada jam 09.00 wib untuk datang beramai-ramai ke lapangan volly kita karena akan ada pertandingan untuk anak-anak.”
Seruan itu diulang sampai beberapa kali hingga bosan orang mendengarnya. Suara tersebut sangat akrab sekali di telinga saya, itu adalah suara Wira teman sebaya saya. Dengar-dengar kabar, yang menjadi ketua panitia untuk acara 17 Agustus sekarang adalah Wira. Meski saya tidak begitu mengikuti prosesnya, setidaknya hari ini saya harus pergi melihat pertandingan tersebut dan juga memberi semangat kepada semua peserta.
Setelah selesai mandi dan bersih–bersih kamar, saya pergi ke lapangan volly. Sudah lumayan lama saya tidak menginjakkan kaki ke lapangan ini, karena sejak kuliah di Padang Panjang saya sudah jarang pulang ke Kota Padang dan jika pulang pun saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah atau pergi bersama pacar.Sesampainya di sana, saya tidak sengaja menguping sebuah pembicaraan antar warga, “warga tu paralu disanjuang-sanjuang lo dulu, baru namuahnyo kalua” (warga harus disanjung-sanjung dulu, baru mereka mau keluar).Saya sedikit kaget mendengarnya, apakah benar apa yang dikatakan mereka.
Sepengetahuan saya pada tahun kemarin memang seperti itu juga, antusias warga sangat kurang sekali untuk memperingati hari kemerdekaan. Tapi apakah tidak terjadi perubahan atau malah bertambah parah? Ketika berada di sana, orang-orang yang datang masih sedikit sekali. Apakah karena baru mulai?
Setelah menunggu dua sampai tiga jam sambil melihat pertandingan anak-anak memasukan belut ke dalam botol, ternyata hanya ada tiga atau empat orang saja warga yang datang. Adapun warga yang datang hasil dari penglihatan saya adalah tiga orang ibu-ibu rumah tangga, satu orang ibu muda karena anaknya ikut bertanding, dua orang remaja seumuran saya, dan selebihnya hanya diramaikan oleh anak-anak. Saat saya menanyakan pada Wira, siapa saja yang ikut menjadi panitia, ia pun menjawab “Patamo nan ikuik lai ado banyak, sudah tu ilang ciek-ciek se lai tingga wak se sorang. Contohnyo se si Gama, rumahnyo lai di muko lapangan bana tapi ndak kaluanyo do” (pada awalnya yang ikut ada banyak, setelah itu mereka menghilang satu persatu sampai akhirnya tinggal saya sendiri. Contohnya saja si Gama, rumahnya di depan lapangan voly tapi dia tidak keluar), jawab Wira sedikit kecewa.
Saya tidak pernah tahu kenapa sekarang warga di Komplek saya tidak mau meluangkan sedikit waktunya untuk merayakan hari kemerdekaan bangsa ini. Padahal dulu kata guru sejarah saya, “Kita semua yang hidup sekarang, harus sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jika kita bandingkan hidup di zaman perang dulu, tidak terbayangkan apa yang akan terjadi. Dan semua itu tidak lepas dari para pejuang kita yang telah mengorbankan nyawanya dan bersatu untuk merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Sekarang mari kita buat mereka bangga, dengan mengharumkan nama bangsa Indonesia yang kita cintai”. Tapi sekarang kenyataannya seperti ini, sedikit malu dan sedih juga akan keadaan warga saya. Rasa persatuan itu sudah memudar, lebih banyak mementingkan kepentingan sendiri. Kalau itu terus memudar, mungkin saja perlahan sesama mereka akan terjadi perselisihan. Bukannya mengharumkan nama bangsa tapi malah menghancurkan bangsa, dan semoga saja itu tidak sampai terjadi.
Ketika saya mencoba mengingat saat masih berumur sekitar sebelas tahun, perayaan hari kemerdekaan di komplek saya sangat meriah sekali. Antusias warga sangat kompak sekali untuk merayakannya, tua muda bahkan sampai yang kecil mereka saling berbaur dan mendukung satu sama lainnya. Jika saya ditanya apa yang paling berkesan saat17-an? Saya akan menjawab lomba makan kerupuk, karena benar–benar memacu semangat lapar saya.
Setiap ikut lomba makan kerupuk, saya sangat tertantang untuk melahap kerupuk yang digantungkan sejajar tepat di depan kening saya. Tapi terkadang saat main saya sedikit curang dan semoga saja para pejuang tidak kecewa. Sebenarnya saya tidak terlalu curang hanya ingin berusaha untuk menang, sedangkan teman-teman saya yang lain lebih parah curangnya. Mereka semua sudah ketahuan sama panitia tapi masih tetap berbuat curang, kalau saya sama sekali tidak pernah ketahuan seperti belut yang licin–licin liar. Panitia tidak pernah tahu, dan alhamdulillah saya tidak jadi menang karena di tengah pertandingan semua perserta ketahuan berbuat curang dan langsung digugurkan.Artinya semua peserta hanya tinggal saya sendiri, seharusnya saya yang menang tapi panitia berkata lain, pertandingan itu harus diulang lagi. Jika diulang lagi kemungkinan saya untuk menang akan sangat kecil sekali, karena pasti panitia akan lebih liar matanya menandingi licin–licin liar saya saat memperhatikan setiap peserta. Setelah dipikir-pikir, apa kita memang tidak boleh berbuat curang dalam kehidupan ini?
Semoga saja pada hari kemerdekaan yang ke 64, para pemimpin kita tidak ada lagi yang berbuat curang dalam mengurus Negara dan Bapak Presiden terpilih SBY lanjutkan pemerintahanmu untuk mengharumkan nama bangsa. Sedangkan untuk Wira lanjutkan perjuanganmu sebagai ketua panitia 17 Agustus 2009, meski semangat kemerdekaan itu sudah memudar di tempat kita. Semoga saja tahun 2010 besok tinta itu akan kembali hitam legam memerahkan semangat dan memutihkan hati untuk saling membahu di Komplek Mawar Putih tercinta ini. Merdeka!!!
David Darmadi