Jika kita membaca sejarah tentang bagaimana filem kemudian dikategorikan sebagai bagian dari art (seni), maka kita akan menemukan bahwa filming bukan hanya tentang recording (me-rekam), namun juga tentang creating (men-cipta).
Apa yang di-cipta dalam filem melalui kamera adalah sebuah ilustrasi real dari kehidupan, yang tidak mampu dicipta secara real oleh media yang lain. Hingga akhirnya, visualisasi dalam filem menjadi sebuah dunia yang lain yang dianggap atau terpaksa dianggap sebagai kehidupan yang nyata, dan mampu membangun emosi penonton. Oleh karena itu pada perkembangannya, banyak orang menggunakan filem sebagai alat untuk membangun image, alat kampanye politis, propaganda bahkan untuk saat ini banyak yang menggunakan media filem cuma alat hiburan saja.
Pada akhir tahun 2011 lalu, aku sempat mengikuti sebuah workshop filem dokumenter kebudayaan yang diadakan oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Bali. Kegiatan tersebut diikuti oleh 5 provinsi di kawasan timur Indonesia, yakni Papua, Papua Barat, NTT(Nusa Tenggara Timur), NTB (Nusa Tenggara Barat) dan Bali. Dari kegiatan itu, aku sedikit mengenal proses pembuatan sebuah filem dokumenter. Beberapa bulan setelah itu, tepatnya pada bulan Maret, rekan-rekan dari Forum Lenteng datang datang mengajak kami membuat sebuah filem dokumenter, yang kemudian kami sepakati akan mengangkat cerita ‘Tuan Guru’. Beberapa minggu sebelum kedatangan ‘Bang’ Paul (Syaiful Anwar) dan ‘Bang’ Gelar (Gelar Sumantri)—orang yang ditunjuk oleh Forlen (Forum Lenteng) ke Lombok, aku kembali membuka handbook yang aku dapatkan selama proses di Bali, dengan harapan menjadi bekal ketika proses bersama rekan-rekan Forum Lenteng.
Secara keseluruhan, filem dokumenter sama saja. Tapi ada yang menarik dari proses bersama rekan-rekan Forum Lenteng. Sekilas terlihat sangat sederhana dengan pendekatan pengetahuan umum tentang tokoh ’Tuan Guru’. Namun, semuanya terlihat berbeda ketika perspektif umum dikombinasikan dengan pengetahuan subyektif rekan-rekan Komunitas Pasir Putih dan dihadapkan pada perbedaan dari obyek itu sendiri. Jadi, seperti bagaimana massa melihat, kita melihat dan ‘dia’ melihat dirinya.
Kedekatan pembuat dan obyek dalam sebuah filem dokumenter sangat penting, hal ini akan mempermudah pembuat untuk mendapatkan informasi-informasi yang banyak. Informasi di sini mungkin bisa kita ganti dengan kata ‘ide’. Ide apa yang bisa digarap dari obyek yang kita pilih. Maka, dari alasan itu, kami memilih orang yang sangat dekat dengan kami, dekat dengan Komunitas Pasir Putih, yaitu ayahku sendiri.
H. Muhammad Amir Mahmud, adalah seorang mursyid “Tariqoh Qodiriyah Wannaqsyabandiyah”, dan memiliki lebih dari 3.000 jama’ah. Hal tersebut kemudian menjadi kendala, ketika teman-teman Komunitas Pasir Putih memintaku untuk berangkat ke Forum Lenteng menyelesaikan editing filem ini. Sebab, hal pertama yang harus kulakukan adalah membuang jauh-jauh hubungan emosionalku dengan ayahku sendiri, untuk menjaga obyektifitas dalam editing. Jika berbicara ‘kepentingan’, bisa saja filem ini akan berbicara tentang “Ayahku, Pahlawanku”, “Ayahku yang Religius” atau “Ayahku yang Baik Hati”. Tidak, niatan awal membuat filem ini adalah sebuah kesadaran tentang pentingnya kajian sosial, kebudayaan dan kajian agama. Sebab, ternyata filem sudah terlanjur menjadi atau dijadikan sebagai pemuas hasrat penonton. Obyektifitas dalam editing yang saya maksud adalah bagaimana mempertimbangkan penonton. Bisa saja, anggapan bahwa karya kita adalah karya yang baik, Namun, apa penonton memiliki sudut pandang yang sama? Beberapa kali Bang Paul mengingatkan agar dalam setiap proses editing kehadiran penonton dipertimbangkan. Selain itu, editing juga harus mempertimbangkan ‘apa pentingnya frame ini, adegan ini, informasi ini atau apapun’ bagi penonton. Jangan sampai kita keasikan dengan diri sendiri, dan akhirnya penonton pulang dengan ‘tanda tanya’ besar di atas kepala. Maka dalam proses editing, terutama dalam penggarapan sebuah dokumenter, gagasan awal si pembuat perlu di refresh lagi.
Saya sepakat bahwa semua yang akan terjadi dalam proses editing dipijakkan pada ide dan gagasan awal. Sebab, editing adalah sama saja dengan merangkai puzzle. Apakah kita meletakkan setiap bagiannya pada tempat yang benar. Ide awal film ini adalah, bagaimana melihat ‘Tuan Guru’ dari sisi manusiawi-nya. ‘Tuan Guru’ yang dalam masyarakat Sasak Lombok adalah tokoh panutan, tokoh yang eksklusif dan tidak semua masyarakat tahu tentang apa dan bagaimana ‘Tuan Guru’ dalam kesehariannya, kecuali bahwa ia adalah hamba Tuhan yang taat dan manusia yang normatif.
Saya ingat sebuah adegan dalam filem ini, ketika tokoh ‘Tuan Guru’ memainkan sebuah game ‘pukul kodok’. Dimana dalam proses editing, kami meletakkan footage ini sebagai sebuah ide atau gagasan tentang tokoh tersebut, bahwa ‘Tuan Guru’ juga adalah orang yang memanfaatkan dan dimanfaatkan oleh teknologi. Sehingga, footage–footage dimana sang ‘Tuan Guru’ hadir dengan handphonenya dimunculkan berkali-kali sebagai pengganggu pikiran. Belum lagi ketika sang ‘Tuan Guru’ menonton televisi, menonton ‘Tinju Bebas’ dengan kesadaran beliau bahwa apa yang dia lihat adalah sebuah tipuan. Tapi, ia tetap menonton. Seperti juga jutaan manusia yang menonton acara tersebut berulang-ulang meski mereka tahu tipuan dan trik dalam acara tersebut.
Selain itu, filem ini tidak hanya berbicara tentang ‘Tuan Guru’. Namun, juga mengangkat tentang seorang pemuda kreatif, yakni Hujjatul Islam. Kehadirannya menjadi sangat penting dalam filem ini, mengingat dia adalah seorang keturunan ‘Tuan Guru’ dan memilih untuk tidak meneruskan garis keturunannya sebagai seorang ‘Tuan Guru’, namun sebagai seorang seniman. Kehadirannya menjadi menarik dalam filem ini. Bagaimana tidak? Kehadirannya sebagai tokoh pemuda terlihat begitu kontras, hingga bisa saja terlihat ada komparasi dari kedua tokoh tersebut, baik itu komparasi sudut pandang maupun jalan hidup dan pilihan hidup. Akan tetapi disinilah tugas editing.
Dalam proses editing, sangat dihindari komparasi-komparasi tersebut, karena penempatan yang salah akan memberikan asumsi yang salah. Tentunya, juxtaposition (penjajaran, penempatan gambar) kedua tokoh tidak semudah yang dibayangkan. Masing-masing tokoh memiliki informasi dan footage yang berbeda. Menyatukan kedua hal tersebut seperti menembus tembok. Aku ingat ketika Bang Hafiz (Ketua Forum Lenteng) menulis di papan tulis kedua tokoh tersebut, dan menjabarkan informasi, tempat, adegan, dan dialog. Kemudian dia berkata, “Kalau kalian bisa menyambung semua ini menjadi satu tubuh, mencari benang merah dari kesemua footage–footage ini, maka………” Beranjak dari itu, diskusi tentang ide dan gagasan selalu di ulang-ulang dan tentunya dibahas dengan serius.
Baiklah, untuk menutup tulisan ini, sejak awal kita berbicara mengenai dunia realitas ‘Tuan Guru’. Mungkin, kita akan mengatakan—setelah menonton—‘dia’ bukan ‘Tuan Guru’. Namun, kita tidak bisa menyangkal bahwa ‘dia’ memang seorang ‘Tuan Guru’ dalam kehidupan nyatanya. Lalu, pertanyaannya: apakah yang kita lihat dalam filem ini dan atau apa yang kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari adalah ke-harus-an, atau keduanya bukan ke-harus-an? Atau, misalnya, sedikit menyinggung kehidupan sang Hujjatul Islam yang terlihat ‘plin-plan’, dengan berbagai macam tokoh yang ia perankan dalam kehidupan nyatanya. Menjadi sebuah pertanyaan, apakah ia benar nyata dengan karakternya atau itu bentukan dari editing saja?
Artikel ini merupakan bagian dari katalog Filem Dokumenter Elesan Deq a Tutuq (Jejak yang Tidak Berhenti).
menggali aspek2 sosial cultur masyarakat sekitar kita memang sangat menarik… bravo forlen n pasirputih
Elesan Deq A Tutuq…..