Jurnal Kecamatan: Sawangan Kota: Depok Provinsi: Jawa Barat

Segelas Kopi Perbatasan

Perbatasan
Avatar
Written by Lulus Gita Samudra
Tegelas kopi hitam dan beberapa batang rokok menjadi sarapanku pagi itu. Aku bersama temanku Mira yang sedang berkunjung ke daerah tempat tinggalku. Mira memilih segelas kopi susu dan sepotong pisang goreng. Hidangan itu kami nikmati di sebuah bedeng (bangunan non permanen) di tepi Desa Pamulang Timur, Tangerang Selatan, yang disulap sedemikian rupa menjadi warung kopi (warkop) oleh sepasang suami istri, Bapak Madun dan Ibu Wani. Tidak ada yang begitu menarik di sana kecuali aku sedang menikmati segelas kopi hitam di tapal perbatasan sambil memandang Jawa Barat dari Banten dengan jarak dua meter.

Tapal perbatasan Depok, Jawa Barat, dengan Tangerang Selatan, Banten.

Keadaan pertama yang terlihat mencolok adalah kelayakan jalan umum yang berbeda di antara batas provinsi tersebut. Di sana kami melihat sejak titik nol perbatasan jalan umum menuju Banten rusak dan berlubang. Sedangkan jalan umum menuju Jawa Barat terlihat bagus dan layak untuk dilalui. Keadaan itu dapat mewakili penilaian kami bahwa pemerintah Depok, Jawa Barat, lebih memperhatikan kelayakan jalan umum perbatasan dibanding pemerintah Tangerang Selatan, Banten.

Jalan rusak di wilayah Banten berbatasan dengan jalan yang layak dilalui di wilayah Depok.

Tidak jauh dari warung itu ada hal yang menarik pandanganku, yaitu  dua buah tembok besar yang mengapit sebuah gerbang besi. Di gerbang itu tertulis nama perumahan Pamulang Elok. Sementara pada kedua tembok besar itu tertulis nama perumahan beserta lokasi tempat perumahan itu berdiri, yaitu Pamulang Elok Sawangan Depok. Tulisan itu mengundang tawa buatku, karena yang kutahu letak perumahan tersebut bukan di Pamulang, Tangerang Selatan, melainkan masuk wilayah Sawangan, Depok. Kerancuan ini kuduga karena letak perumahan tersebut tepat berada di garis perbatasan.

Gerbang masuk Perumahan Pamulang Elok Sawangan Depok.

Gerbang masuk Perumahan Pamulang Elok Sawangan Depok.

Sudah sekitar 15 menit kami duduk di warung ini, rasanya kopi seduhan Ibu Wani sudah tak panas lagi dan sudah bisa diminum. Ditambah aku lihat Mira mulai meneguknya, hal ini meyakinkanku bahwa kopiku juga sudah bisa dinikmati.

Setelah beberapa tegukan Mira mulai terpancing untuk berbincang-bincang dengan pemilik warkop, Pak Madun. Sepertinya Mira ingin mengetahui cerita-cerita warga perbatasan Banten dan Jawa Barat sambil menghabiskan kopi yang sudah hangat.

Ibu Wani dan warung kopi miliknya.

Mira memulai obrolan dengan membahas pemilu Gubernur Banten yang baru saja diselenggarakan Sabtu kemarin tanggal 22 Oktober 2011. “Milih Atut dong, Pak?” ujar temanku sambil tersenyum.

“Iya Atut sepuluh ribu,” ujar Pak Madun sambil tertawa miring, “Yang lain juga sepuluh ribu.”

Kemudian Ibu Wani menyambar, “Pas di lokasi (TPS) tau dah milih siapa.”. Lalu kami semua yang ada di sana tertawa kecil termasuk Bang Reza, pemuda setempat yang menyandang status pengangguran.

Lalu Pak Madun dengan sendirinya menceritakan tentang harapan-harapannya dari Pemilu Banten itu, “Saya sih cuma berharap anak-anak pada bisa sekolah biar pinter, biar bangsa kita bisanya kagak melet (seperti menjulurkan lidah) doang.”

Pembicaraan juga berlanjut ke masalah ekonomi. Pak Madun yang memiliki dua orang anak merasa diuntungkan dengan adanya pembangunan perumahan Pamulang Elok Sawangan Depok. Menurut Pak Madun dengan adanya pembangunan ini banyak para kuli yang mampir di warungnya untuk istirahat sambil jajan rokok dan minuman. “Saya seneng kalo siang banyak kuli pada istirahat di sini.”

Selain itu dengan adanya pembangunan, pria paruh baya ini juga mendapat penghasilan sampingan dengan menjadi kuli dadakan jika ada truk material bangunan datang untuk menurunkan batu kali, batu krikil dan pasir. “Tiap hari pasti ada truk yang datang. Dari situ kita ngejar truknya bakal bantuin nurunin material. Nanti ada upahnya.”

Bang Reza, Pak Madun dan aku berbincang di warung kopi perbatasan.

Dalam waktu sama, Bang Reza yang kebetulan sedang menunggu kedatangan truk material, berujar, “Dalam sehari kalo nguli paling sedikit pasti ngantongin  Rp. 50.000,-.”

Cerita-cerita yang kami dengar cukup menarik untuk sedikit menggambarkan kehidupan masyarakat perbatasan. Namun dari segala keuntungan pembangunan yang ada, Pak Madun memendam kekhawatiran tentang warungnya yang akan digusur oleh pihak pengembang lain yang sedang membangun perumahan Bunga Pratama persis di sebelah perumahan Pamulang Elok. “Kayanya warung saya bakal digusur, soalnya ini warung ada di atas tanah pengembang.”

Spanduk Perumahan Bunga Pratama (tampak dari warung kopi).

Di depan warung kopi Pak Madun memang terlihat spanduk perumahan Bunga Pratama yang segera berdiri. Bahkan di sisi kanan warung milik pria berkulit sawo matang itu, kami bisa melihat lahan luas yang sudah diuruk dengan tanah merah.

Tanah merah yang akan dibangun Perumahan Bunga Pratama.

Selebihnya tentang situasi lingkungan dan kehidupan masyarakat perbatasan Banten dan Jawa Barat, aku dan Mira hanya dapat melihat aktivitas lalu-lalang warga Banten dan Jawa Barat yang saling melintasi perbatasan. Ada juga pembangunan gedung Research Clinic Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah di wilayah Pamulang Timur, Tangerang Selatan, yang bersebelahan dengan rumah makan Padang di wilayah Sarua, kota Depok. Kami juga mendengar obrolan beberapa warga tentang beragam permasalahan di warung kopi tersebut dengan logat campuran Sunda dan Betawi.

Waktu Pun telah berlalu. Tak kami sangka gelas kopi itu pun sudah kosong. Hal ini membuat kami menyudahi obrolan bersama warga perbatasan Provinsi Jawa Barat dan Banten lalu beranjak dari warung itu untuk melanjutkan aktivitas lainnya. Dari situ aku berharap temanku Mira dapat menikmati rasa segelas kopi perbatasan yang sudah kucium aromanya sejak dua belas tahun yang lalu.

About the author

Avatar

Lulus Gita Samudra

Lulus Gita Samudra telah menyelesaikan studi Strata Satu-nya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Pria kelahiran Jakarta tahun 1989 ini, juga turut aktif di Forum Lenteng sebagai Sekretaris Redaksi akumassa.org. Sebelumnya ia pernah mengikuti workshop akumassa Depok pada tahun 2011. Kini ia sedang membangun sebuah komunitas berbasis massa di Depok, bernama Suburbia.

1 Comment

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.