Keadaan pertama yang terlihat mencolok adalah kelayakan jalan umum yang berbeda di antara batas provinsi tersebut. Di sana kami melihat sejak titik nol perbatasan jalan umum menuju Banten rusak dan berlubang. Sedangkan jalan umum menuju Jawa Barat terlihat bagus dan layak untuk dilalui. Keadaan itu dapat mewakili penilaian kami bahwa pemerintah Depok, Jawa Barat, lebih memperhatikan kelayakan jalan umum perbatasan dibanding pemerintah Tangerang Selatan, Banten.
Tidak jauh dari warung itu ada hal yang menarik pandanganku, yaitu dua buah tembok besar yang mengapit sebuah gerbang besi. Di gerbang itu tertulis nama perumahan Pamulang Elok. Sementara pada kedua tembok besar itu tertulis nama perumahan beserta lokasi tempat perumahan itu berdiri, yaitu Pamulang Elok Sawangan Depok. Tulisan itu mengundang tawa buatku, karena yang kutahu letak perumahan tersebut bukan di Pamulang, Tangerang Selatan, melainkan masuk wilayah Sawangan, Depok. Kerancuan ini kuduga karena letak perumahan tersebut tepat berada di garis perbatasan.
Sudah sekitar 15 menit kami duduk di warung ini, rasanya kopi seduhan Ibu Wani sudah tak panas lagi dan sudah bisa diminum. Ditambah aku lihat Mira mulai meneguknya, hal ini meyakinkanku bahwa kopiku juga sudah bisa dinikmati.
Setelah beberapa tegukan Mira mulai terpancing untuk berbincang-bincang dengan pemilik warkop, Pak Madun. Sepertinya Mira ingin mengetahui cerita-cerita warga perbatasan Banten dan Jawa Barat sambil menghabiskan kopi yang sudah hangat.
Mira memulai obrolan dengan membahas pemilu Gubernur Banten yang baru saja diselenggarakan Sabtu kemarin tanggal 22 Oktober 2011. “Milih Atut dong, Pak?” ujar temanku sambil tersenyum.
“Iya Atut sepuluh ribu,” ujar Pak Madun sambil tertawa miring, “Yang lain juga sepuluh ribu.”
Kemudian Ibu Wani menyambar, “Pas di lokasi (TPS) tau dah milih siapa.”. Lalu kami semua yang ada di sana tertawa kecil termasuk Bang Reza, pemuda setempat yang menyandang status pengangguran.
Lalu Pak Madun dengan sendirinya menceritakan tentang harapan-harapannya dari Pemilu Banten itu, “Saya sih cuma berharap anak-anak pada bisa sekolah biar pinter, biar bangsa kita bisanya kagak melet (seperti menjulurkan lidah) doang.”
Pembicaraan juga berlanjut ke masalah ekonomi. Pak Madun yang memiliki dua orang anak merasa diuntungkan dengan adanya pembangunan perumahan Pamulang Elok Sawangan Depok. Menurut Pak Madun dengan adanya pembangunan ini banyak para kuli yang mampir di warungnya untuk istirahat sambil jajan rokok dan minuman. “Saya seneng kalo siang banyak kuli pada istirahat di sini.”
Selain itu dengan adanya pembangunan, pria paruh baya ini juga mendapat penghasilan sampingan dengan menjadi kuli dadakan jika ada truk material bangunan datang untuk menurunkan batu kali, batu krikil dan pasir. “Tiap hari pasti ada truk yang datang. Dari situ kita ngejar truknya bakal bantuin nurunin material. Nanti ada upahnya.”
Dalam waktu sama, Bang Reza yang kebetulan sedang menunggu kedatangan truk material, berujar, “Dalam sehari kalo nguli paling sedikit pasti ngantongin Rp. 50.000,-.”
Cerita-cerita yang kami dengar cukup menarik untuk sedikit menggambarkan kehidupan masyarakat perbatasan. Namun dari segala keuntungan pembangunan yang ada, Pak Madun memendam kekhawatiran tentang warungnya yang akan digusur oleh pihak pengembang lain yang sedang membangun perumahan Bunga Pratama persis di sebelah perumahan Pamulang Elok. “Kayanya warung saya bakal digusur, soalnya ini warung ada di atas tanah pengembang.”
Di depan warung kopi Pak Madun memang terlihat spanduk perumahan Bunga Pratama yang segera berdiri. Bahkan di sisi kanan warung milik pria berkulit sawo matang itu, kami bisa melihat lahan luas yang sudah diuruk dengan tanah merah.
Selebihnya tentang situasi lingkungan dan kehidupan masyarakat perbatasan Banten dan Jawa Barat, aku dan Mira hanya dapat melihat aktivitas lalu-lalang warga Banten dan Jawa Barat yang saling melintasi perbatasan. Ada juga pembangunan gedung Research Clinic Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah di wilayah Pamulang Timur, Tangerang Selatan, yang bersebelahan dengan rumah makan Padang di wilayah Sarua, kota Depok. Kami juga mendengar obrolan beberapa warga tentang beragam permasalahan di warung kopi tersebut dengan logat campuran Sunda dan Betawi.
Waktu Pun telah berlalu. Tak kami sangka gelas kopi itu pun sudah kosong. Hal ini membuat kami menyudahi obrolan bersama warga perbatasan Provinsi Jawa Barat dan Banten lalu beranjak dari warung itu untuk melanjutkan aktivitas lainnya. Dari situ aku berharap temanku Mira dapat menikmati rasa segelas kopi perbatasan yang sudah kucium aromanya sejak dua belas tahun yang lalu.
Warung Pak Madun, sudah digusur sejak awal Februari ini