Aku : “Ibu maaf, kenapa makannya pakai kantong plastik segala?”
Ibu : “Tak ada, pengen aja aku makan kayak gini..”
Pertanyaan pertamaku di atas menjadi kalimat pembuka antara aku dengan seorang ibu muda yang sama sekali belum pernah aku lihat sebelumnya. Jika aku tidak satu mobil dengannya, mungkin malam perjalananku dengan temanku Fadly Capaik sepulang dari kota Medan, tidak akan memiliki satu kisah untuk diceritakan.
Mobil yang kami naiki adalah bus ALS (Arus Lintas Sumatra), sekitar jam 11 mobil tersebut berhenti di Rumah Makan Mandira, Desa Slompang Penyabungan. Fadly Capaik yang sudah tertidur pulas tidak ikut makan denganku. Dengan membawa satu kamera video aku turun dari mobil dan duduk di meja yang belum ada orangnya. Beberapa saat kemudian seorang perempuan berbadan kurus duduk tepat di hadapanku. Setelah dia memesan nasi, badannya bergerak ke luar dari kursinya dan menggontaikan kakinya pergi ke kamar kecil. Mataku cukup terhipnotis melihat geraknya, sesaat kemudian dia kembali lagi ke tempat duduknya.
Makanan yang dipesannya sudah menunggu. Saat mau makan, dia tidak terlebih dahulu mencuci tanganya tapi justru membungkus tangannya dengan kantong plastik berwarna merah yang dimintanya kepada pelayan RM Mandira. Tingkahnya yang aneh ini lah yang mendorongku untuk menghidupkan kamera video yang aku bawa tadi dan menaruhnya di atas meja. Diam-diam lensa kamera aku arahkan ke hadapannya, tanpa melihat seperti apa frame-nya nanti, aku langsung menekan tombol merah yang ada di samping viewfinder.
Berikut hasil rekaman lanjutan dialog kami:
Ibu : “Kamu wartawan ya?”
Aku : “Nggak…”
Ibu : “Terus kenapa kamu dari tadi bawa-bawa kamera?”
Aku : “Buat dokumentasi perjalanan aku aja, Bu.”
Ibu : “Emang, kamu dari mana?”
Aku : “Dari Medan, kalau ibu dari mana?”
Ibu : “Dari Porseya”
Aku : “Porseya itu di Medan juga?”
Ibu : “Bukan, Poserya itu di Tobasa Samosir, di sekitar Danau Toba.”
Aku : “Ibu mau pergi ke mana?”
Ibu : “Ke Palembang…”
Aku : “Ibu orang Palembang?”
Ibu : “Bukan, aku orang Jawa. ibu bapakku orang Jawa. Mereka beli rumah di Palembang, tapi sekarang sudah meninggal keduanya.”
Aku : “Ke Palembang ngapain?”
Ibu : “Kabur, pergi ke tempat abangku.”
Aku : “Kabur dari rumah maksudnya, Bu?”
Ibu : “Iya, aku habis dipukulin sama suamiku. Dari tadi aku kenyang sama makan tangannya saja, belum ada aku makan nasi sama sekali. Ini badanku sakit-sakit semua, kepala benjol depan belakang, dadaku sesak, perutku mual, tadi di belakang aku muntah. Makan nasi ini, terasa tak makan aku.”
Aku : “Sebelumnya sudah pernah dipukul juga?”
Ibu : “Udah tak kehitung lagi, pokoknya seringlah dia mukul. Suka mecahin barang juga. Ya..tersiksalah aku Tong..”
Aku : “Berarti ibu sudah sering kabur juga?”
Ibu : “Belum… belum pernah Tong. Masih bertahan aku. Sekarang tak tahan lagi aku.”
Aku : “Anak ibu berapa orang?”
Ibu : “Empat orang. Paling besar perempuan, sudah sekolah, kelas 1 SMP. Pintar anakku, sering dapat ranking.”
Aku : “Mereka tahu ibu kabur?”
Ibu : “Tahu, minta permisi aku sama anak-anak. Aku bilang, Kalau mama’ bukan pergi tuk selamanya. Nanti mama’ pasti pulang lagi, sekarang biar bapakmu sadar dulu sama kelakuannya.”
Aku : “Waktu suami Ibu mukulin, anak-anak tahu?”
Ibu : “Tahu, tapi anak-anak pada takut. Mereka pada lari semua.”
Aku : “Siapa nama anak Ibu?”
Ibu : “Paling besar namanya Melani.”
Aku : “Sama kayak nama teman aku.”
Ibuk : “Melani apa namanya?”
Aku : “Putri Melani”
Ibu : “Iya sama kali, anakku juga ada Putrinya. Tapi letaknya di belakang habis Melani. Melani Putri nama panjang anakku.”
Aku : “Jangan-jangan anak ibu teman aku.” (sambil ketawa kecil)
Ibu : “Mungkin Tong..” (sambil ketawa kecil juga)
Aku : “Yang paling kecil umurnya berapa?”
Ibu : “Umur 4 tahun, mau kubawa tadi. Tapi tak jadi, biar dia rasa gimana ngurus anak tanpa mama’nya. Barusan suamiku SMS.”
Aku : “Apa isinya?”
Ibu : “Aku diminta pulang dan katanya ibunya sudah disuruh pindah. Tak tinggal sama kita lagi.”
Aku : “Maksudnya?”
Ibu : “Jadi selama ini aku tinggal sama mertua, mungkin ada pengaruhnya juga. Gaji suamiku dibagi dua sama mertuaku. Kadang aku cuma dikasih seperampat dari gaji suamiku.”
Aku : “Mertua ibu sudah tua?”
Ibu : “Belum tua-tua kalilah dia. Baru sekitar lima puluhan umurnya. Dari dulu dia tak pernah kerja, tiap hari bisanya makan tidur makan tidur saja.”
Aku : “Mertua yang laki?”
Ibu : “Bukan Tong, yang perempuan. mertua yang laki sudah meninggal.”
Aku : “Suami Ibu kerjanya apa?”
Ibu : “Pegawai negeri, kerja di Kantor Camat.”
Aku : “Ibu kerja juga?”
Ibu : “Aku jualan di SD Dolo Nauli. Dekat rumah aku.”
Aku : “Oya, setelah terima SMS, Ibu tetap ke Palembang atau gimana?”
Ibu : “Tetap ke Palembanglah aku. Biar dijemputnya aku ke Palembang. Kalau dia masih sayang sama aku, mau berubah dia, jemput aku ke Palembang. Baru aku mau pulang.”
Aku : “Suami Ibu orang mana?”
Ibu : “Orang Batak. Kamu orang mana?”
Aku : “Aku orang Padang.”
Ibu : “Orang Padang baik-baik ya..”
Aku : “Iya… begitulah Bu…” (sedikit tersenyum kecil)
Ibu : “Supirnya tadi di mana? Sudah selesai dia makan, kok tak nampak sama aku.”
Aku : “Tadi ada tuh di situ. Mungkin lagi di kamar mandi.”
Ibu : “ALS ini lama kali jalannya.”
Aku : “Iya sih.. tapi supirnya cukup hati-hati bawa mobilnya.”
Ibu : “Iya benar Tong.. supirnya cukup hati-hati.”
Aku : “Umur Ibu sekarang berapa?”
Ibu : “Aku kelahiran 76 (1976-Red). Suamiku kelahiran 72. (1972-Red) Cukup jauh umurku sama dia. Tapi sekarang kelakuannya tak tahan aku.”
Aku : “Nikah sudah berapa tahun?”
Ibu : “Ya.. tambah satu tahunlah dari seumuran anakku yang pertama.”
Aku : “Sebelum nikah, Ibu pacaran dulu sama suami?”
Ibu : “Pacaran dulu. Setahun aku pacaran sama dia, habis itu langsung nikah. Padahal dulu dia baik sama aku. Mungkin karena pindah ke kampungnya dia.”
Aku : “Sebelumnya tinggal di mana?”
Ibu : “Habis nikah, setahun aku tinggal di Palembang. Lalu pindah ke Porseya sampai sekarang aku sering dipukul-pukulinya.”
Aku : “Agama Ibu apa?”
Ibu : “Islam.”
Aku : “Kalau suami Ibu?”
Ibu : “Kristen.”
Aku : “Kristen apa?”
Ibu : “Kristen Protestan.”
Aku : “Waktu nikah?”
Ibu : “Nikah secara Islam. Dia pindah ke Islam. Habis pindah ke kampungnya dia. Agamanya jadi Kristen lagi.”
Aku : “Kalau di rumah Ibu ada shalat?”
Ibu : “Sudah tak pernah lagi aku shalat. Sejak pandah ke Poserya.”
Aku : “Agama tetap Islam?”
Ibu : “Agama aku tetap Islamlah. Tapi aku sampai mimpi-mimpi shalat. Kayak tadi malam aku mimpi lagi shalat.”
Aku : “Terus anak Ibu agamanya apa?”
Ibu : “Terserah dia.”
Aku : “Sekarang anaknya dididik agama apa?”
Ibu : “Agama bapaknya…”
Aku : “Ke empatnya?”
Ibu : “Iya keempatnya.”
Aku : “Waktu lahir anak Ibu yang perempuan di-qamati?”
Ibu : “Tak ada.”
Aku : “Anak yang laki nggak di0adzani juga?”
Ibu : “Tak ada. Tak pernah diqamati, tak pernah diadzani. Mereka lahir begitu saja.”
Aku : “Sekarang anaknya yang perempuan waktu lahir ada disunat?”
Ibu : “Tak ada juga. Tapi sebenarnya kalau sunat ini demi kesehatan Tong..”
Aku : “Waktu hari besar Islam, gimana?”
Ibu : “Pulanglah aku ke Palembang.”
Aku : “Anak sama suami ikut?”
Ibu : “Kadang ikut, kadang juga tak ikut dia.”
Aku : “Kalau hari besar Kristen?”
Ibu : “Di sini saja aku, ikut merayakannya juga.”
Aku : “Nama Ibu siapa?”
Ibu : “Tak usahlah kamu tau nama aku, Tong… Nanti aku malah dimasukin ke koran. Aduh perut aku sakit, aku mau cari obat magh dulu Tong… Biar saja air minumku dulu di sini.”
Aku : “Iya.. Bu.” (sambil mengangguk-ngangguk).
Dialog kami hanya sampai di situ, karena durasi kaset videoku hanya tinggal beberapa detik lagi. Hingga tulisan ini selesai aku tulis, aku tidak pernah tahu siapa nama tokoh dalam cerita “Satu Kisah di Malam Perjalanan” yang terkadang memanggil namaku dengan sebutan Tong.
Jika kelak Melani sudah besar. Di suatu saat nanti, ketika dia menemukan tulisan ini di jurnal akumassa. Semoga Melani memberitahuku siapa nama ibunya.
ado2 sajo ma,,,
pake bw2 nama aku pula,,
mudah2an mellani yg d sana jd org yg bs membahagiakan ortu nya ^^
dalam perjalanan selalu ada kisah. kisah-kisah itu selalu tak bernama. dia lenyap di tiap tikungan yang gelap. yang trsisa hanya identitas tiket perjalanan yang menjadikan penanda bahwa kisah itu pernah ada. walau sangat singkat, indah, david.
asyik2 dikoment sm mbak otty,he he
thanks mbk…masukannya..
mencoba mengutip “yang trsisa hanya identitas tiket perjalanan”,
sxlg thanks mbk 🙂
life is an advanture! *rokok kaleee haha
cerita yang sangat menarik skaligus tragis vid! thannks for share to us!. klo lu udah tau namanya kabarin gw yak’. jadi penasaran jg seeh.. 😀
keep BOLANG! (bocah petualang) haha
wah, bagus bgt vid, inspiratif!!! kasihan si ibu dan anak2nya, semoga suaminya sadar akan kekhilafannya. karena saya percaya itu bukan karena suaminya sudah ga sayang, hanya khilaf, sifat manusia!!!
hebat….bisa menitikkan airmata,
perbedaan agama bgitu bsar pngaruhnya dlam suatu hubungan,, dri crita ini sja kta bsa melihat gmna????
kisah yg mnarik kwan…..
da yg lain nga’…?????
assyiikkk pid 😛
hai vid..
kisah yang tragis, pengaruhnya banyak kali ya, ya agama, budaya pun juga..
semoga ada titik balik yang berakhir dengan kebahagiaan buat Ibunya Melani..
Nice post vid 😀
huft…
laki”….
sabar ia bu…
maaf ada sedikit kesalahan dalam tulisan ini.
Porseya = Porsea
Tobasa Samosir = Toba Samosir
Tong = Tok (sebutan untuk anak laki Medan)
Waahhh..!! bagus banged tulisannya bang..! sederhana tapi banyak hal yang tersirat dalam tulisan ini bang..!! Like this so much bang..!! 😀
Wah bagus bgt bang ceritanya, mpe terharu.. Seperti mertua q aja gaji minta dibagi 2. Beda suku 1agama.. Hikz…
bgus cerita kau trtarik sangat aq.
Bagus x cerita kau ini (y) sampai terharu aku 😀