Anib Basatada Wicaksono
Bulan Film Nasional ke-6 dengan tema ‘Sejarah Adalah Sekarang’ kembali diadakan oleh Kineforum dan Dewan Kesenian Jakarta, di Taman Ismail Marzuki, Galeri Cipta III, studio XXI. Bulan Film Nasional telah dibuka pada tanggal 15 Maret 2012, dan akan berlangsung hingga 31 Maret 2012.
Video Hari Hari Sapi, karya hasil kerjasama Forum Lenteng dan Komunitas Anak Seribu Pulau yang dibuat ketika workshop pembuatan video dan Film Dokumenter tahun 2009 di Randublatung, pada hari Sabtu 17 Maret 2012, pukul 19.30 WIB, diputar di studio XXI, Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki atau biasa disebut TIM. Pemutaran video Hari Hari Sapi kali ini merupakan sebuah kebanggaan buat kawan-kawan, karena bisa masuk di studio XXI. Bukan hanya film industri yang bisa masuk dan diputar di studio XXI, karya independen pun bisa. Hal ini terwujud bukan hanya berkat kerja keras kami dari Komunitas Anak Seribu Pulau-Randublatung, Blora yang bekerjasama dengan Forum Lenteng-Jakarta dalam program akumassa, tapi juga atas dukungan dari Kine Forum-Jakarta.
Pemutaran video Hari Hari Sapi dimulai pukul 19.30 WIB, walaupun hanya dengan penonton yang berjumlah sekitar 28 penonton (saya menghitung jumlah penontonnya), namun tampaknya semua antusias dan tidak beranjak dari kursi penonton sampai filem dan sesi diskusi selesai.
Setelah pemutaran filem, acara dilanjutkan dengan diskusi pada sekitar pukul 20.30 WIB. Sebagai pengisi diskusi adalah saya dan Ariyanto ‘Pethek’ sebagai perwakilan dari Komunitas Anak Seribu Pulau, Otty Widasari selaku Koordinator Program akumassa, serta dimoderatori oleh Amalia Sekarjati dari Kineforum.
Sesi diskusi dimulai dengan perkenalan Komunitas Anak Seribu Pulau oleh Ariyanto dan sedikit bercerita tentang proses pembuatan film Hari Hari Sapi. Kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab seputar karya video. Diskusi kali ini berbeda dengan diskusi yang sering saya ikuti, di mana penanya harus memperkenalkan namanya sebelum melemparkan pertanyaan.
Dalam diskusi setelah pemutaran video Hari Hari Sapi, kebanyakan pertanyaan dari penonton seputar proses kerja kami serta persoalan sosial masyarakat di lokasi tempat video ini dibuat, seperti: Baru kali ini saya melihat sapi begitu sangat berharganya hingga si pemilik merawatnya di dalam rumah. Sekarang, apakah masih si pemilik sapi di daerah Blora memperlakukan sapi-sapi mereka seperti apa yang ditampilkan dalam film yang baru saja selesai diputar?; Apakah di Desa Randublatung sapi memang hidup di dalam rumah?; Mengapa tidak ada wawancara sebagaimana layaknya kita lihat dalam filem-filem dokumenter?; Memiliki waktu sebulan untuk produksi, kenapa tidak melakukan investigasi lebih mendalam tentang Pasar Pahing?; Mengapa tidak menggunakan narasi untuk membantu penonton memahami isi cerita?
Bergantian kami memberikan penjelasan kepada penonton lebih jauh tentang proses kerja produksi video akumassa, khususnya video Hari Hari Sapi.
Pethek menjelaskan bahwa mayoritas pemilik sapi sampai sekarang masih ada yang merawatnya di dalam rumah. Masyarakat Blora, Randublatung pada umumnya adalah pekerja swasta. Sehingga mayoritas masyarakat beternak sapi untuk investasi jangka panjang. Sapi-sapi akan dijual ketika si pemilik mempunyai kebutuhan mendadak atau untuk investasi di hari tua. Transaksi penjualan sapi dilakukan berdasarkan penanggalan Jawa, yaitu setiap hari pasaran ‘Pahing’. Karena sapi adalah investasi jangka panjang atau harta yang paling berharga tak heran jika si pemilik merawatnya dengan sungguh-sungguh.
Saya juga menambahkan tentang keberadaan Pasar Pahingan yang khusus menjual sapi, serta kode-kode yang berlaku dalam transaksi di pasar tersebut. Misalnya menyebut satuan ‘juta’ untuk harga sapi di gantikan dengan satuan ‘ribu’. Logika ini seperti teknik penyingkatan dalam pencatatan akuntansi keuangan.
Otty lebih menjelaskan tentang program akumassa itu sendiri, terutama workshop akumassa, kerjasama Forum Lenteng, Jakarta, dan Komunitas Anak Seribu Pulau, Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, yang berlangsung pada tahun 2009. Selama sebulan penuh, sebagaimana proses kerja akumassa di lokasi-lokasi lainnya juga, kami berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang pemberdayaan media melalui komunitas. Dengan kesadaran pentingnya masyarakat untuk memahami dan memiliki pengetahuan bermedia dan bersama-sama membangun media center yang memproduksi informasi dalam bentuk teks, image dan audio visual (video) dari sudut pandang massa. Kami gali bersama di lokasi yang kaya akan kayu jati serta minyak itu.
Ada sebelas bingkaian video dihasilkan di sana. Dan kali ini salah satunya yang berjudul Hari Hari Sapi-lah yang dihadirkan dalam acara Bulan Filem Nasional. Jadi dalam waktu satu bulan penuh itu tidak hanya video Hari Hari Sapi saja yang diproduksi. Otty mengatakan, proses yang terjadi jangan dibayangkan seperti proses pembuatan filem pada umumnya yang terikat pada sebuah skenario. Kami memang mencoba melakukan eksperimentasi karena ingin membuat sesuatu yang berbeda. Karena program akumassa bicara tentang pemberdayaan media, maka kerja yang dilakukan adalah memproduksi informasi yang objektif kepada masyarakat. Walau dalam pembuatan karya audio visual sangat sulit memangkas subjektifitas, karena tentunya ada seseorang di balik jendela bidik kamera, namun hal itu terus diusahakan. Caranya dengan menetapkan teknifikasi akumassa. Teknifikasi itulah yang membingkai secara obyektif tentang sebuah lokasi. Mata massa digunakan dengan segala logika fungsionalnya untuk melihat sebuah persoalan lewat peristiwa massa yang hadir di lokasi tersebut.
Otty memaklumi bahwa sudah barang tentu ada beberapa penonton yang sempat menguap karena mengantuk melihat jalinan gambar yang tidak bercerita secara naratif. Itu dikarenakan memang masyarakat kita yang sudah terbiasa dengan tayangan menghibur seperti filem-filem Hollywood yang masuk ke Indonesia sejak lama. Juga selama ini kita cuma tahu bahasa dokumenter adalah seperti yang disajikan oleh program National Geographic atau Discovery Chanel. Informatif dan satu arah. Dalam program sepeti itu, penonton memang akan mendapatkan pengetahuan yang banyak dan luas. Namun, dalam program akumassa, selain diberi informasi berupa narasi kecil dalam masyarakat, penonton lebih diajak berbagi pengalaman lewat perspektif massa.
Sesi diskusi ini ditutup pada pukul 21.15 WIB.
Otty Widasari
Aku duduk di bangku paling ujung di baris paling belakang. Termangu menikmati pakansi mata yang disajikan oleh sebuah dokumenter eksperimental berjudul Hari Hari Sapi. Gambar demi gambar berganti; Lansekap perbukitan tandus di Randublatung dalam bingkai lebar video. Warna hijau dari pucuk-pucuk jati muda yang menciptakan sebaran ornamentasi dalam ambilan jauh tinggi rendah bukit-bukit. Kemudian barisan sapi melintas, menanjak bukit dan menghilang di baliknya; suara gembala sayup-sayup; sapi merumput; sapi dimandikan gembala di kubangan, sampai akhirnya masuk kegambar-gambar yang lebih dekat dalam interior rumah tinggal pemilik sapi. Kejutan kecil yang diberikan oleh sebuah kenyataan dalam dokumenter adalah hal yang paling manis. Kandang sapi yang dibangun di dalam ruang keluarga sebuah rumah—itu kejutan kecilnya—mengundang banyak pertanyaan dari para penonton dalam diskusi setelah pemutaran karya ini.
Semua ingatan tentang artefak massa yang kutemui di Desa Randublatung tiga tahun lalu kembali mengisi kepala. Aku jadi senyum-senyum sendiri sambil merasakan bulu-bulu di tengkukku berdiri menikmati keindahan kenangan yang dihantar oleh gambar-gambar dalam layar di depan sana.
Rojokoyo, alias Raja Kaya, adalah sebuah istilah untuk pemilik hewan berkaki empat yang bernilai investasi. Sapi di Desa Randublatung dan sekitarnya adalah sebuah investasi berharga bagi masyarakat. Daerah tersebut termasuk kedalam kawasan Blok Cepu, wilayah kontrak minyak dan gas bumi yang meliputi wilayah Kabupaten Bojonegoro-Jawa Tengah, Kabupaten Blora-Jawa Tengah, dan Kabupaten Tuban-Jawa Timur. Sebelum penemuan terbaru cadangan minyak yang cukup besar di wilayah Cepu dan sekitarnya yaitu di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban, ladang minyak Cepu hanya difungsikan sebagai wahana pendidikan bidang perminyakan yaitu dengan adanya Akademi Migas di Cepu. Situasi yang tercipta secara demografi ini sangatlah bernuansa politis.
Masyarakat Indonesia tradisional di masa kolonial tidak mengerti pengelolaan sumber daya tersebut. Pemerintah Belanda yang diwakili oleh VOC lah yang mengubah lahan tandus itu jadi salah satu lokasi paling menghasilkan secara ekonomi. Setelah masa kolonial berakhir, pengelolaan diambil alih oleh perusahaan pemerintah dibantu swasta dalam bentuk BUMN. Pemerintah juga memberi peluang pada perusahaan asing yang murni mengelola sumber daya minyak bumi itu secara privat/swasta. Masyarakat bisa dibilang tidak mendapatkan hasil dari itu semua secara signifikan. Hal ini juga terjadi dalam hal pengelolaan hutan jati yang diperankan oleh Perhutani. Banyak sekali faktor penyebabnya. Menurut saya, distribusi pengetahuan yang tidak merata, merupakan salah satu penyebab utama mengapa masyarakat selama lebih dari seabad tidak dapat memperjuangkan posisinya di dalam negaranya sendiri untuk naik ke taraf yang lebih baik.
Fenomena Rojokoyo tentu bisa diasumsikan lahir dari situasi sosial-politik ini. Kalau dulu, istilah Rojokoyo dipakai sebagai alat ukur status sosial sebagai ‘orang kaya’ melalui kepemilikan sawah, ternak, tanah yang luas serta rumah yang bagus. Namun keadaan itu berubah. Situasi yang dikarenakan pembangunan tidak merata mengakibatkan masyarakat jadi lebih miskin. Maka di beberapa daerah tertentu yang memang keadaan sosial ekonominya rendah, memiliki seekor sapi saja sudah menjadi ukuran perlambangan status bahwa si orang tersebut adalah kaya karena minimal ia memiliki investasi untuk beberapa waktu ke depan.
Tidak dengan teks, tidak juga dengan wawancara dan investigasi mendalam, situasi ini digambarkan dalam video Hari Hari Sapi yang lebih dominan dengan menyajikan keseharian sapi-sapi di Desa Randublatung. Aryanto ‘Pethek’, salah satu pewujud video Hari Hari Sapi, menyebutnya ‘diary sapi’.
Pengalaman visual yang mewakili mata massa disajikan sebagai eksperimentasi bahasa dalam pembuatan dokumenter, ternyata masih belum bisa diterima begitu saja oleh penonton. Ini terbukti dari beberapa pertanyaan mereka dalam diskusi yang diadakan setelah pemutaran Hari Hari Sapi.
Apresiasi tidak harus dalam bentuk pujian dan tepuk tangan bernada setuju. Rasa yang tertinggal di kepala penonton yang enggan beranjak setelah filem usai menciptakan diskusi panjang lebar, itulah bentuk apresiasi yang sesungguhnya.Bagiku, itu manis sekali.
Dan bagi kami, yang bekerja bersama membingkai peristiwa massa di Randublatung ini, adalah sebuah pengalaman yang sangat mengesankan saat karya yang sungguh tidak populer ditayang dalam layar lebar sebuah gedung bioskop komersil.
wow.. bagus sekali karya dari anak seribu pulau bisa diputar di TIM.. semoga karya-karya dari komunitas akumassa yang lain bisa melakukanya juga…
kasihan dengan masyarakat yang tinggal di daerah penuh potensi.. jarang ada pribumi yang mendapat keuntungan dari kandungan alam di daearahnya.. :((
Yay! Senang juga bisa memutar film Hari Hari Sapi sebagai bagian dari program Bulan Film Nasional 🙂 Jangan bosan-bosan diundang ke kineforum, ya! Ditunggu terus karya-karya selanjutnya!
Terimakasih, Sekar dan Kine Forum
terima kash buat sekar dan kineforum yang telah memutar video dari akumassa yang berjudul Hari-hari Sapi…
tetap semangat buat kawan2 smua….