Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. – Sapardi Djoko Damono
Aku sering sekali mendengar puisi berjudul Aku Ingin itu di komputer. Puisi yang dimusikalisasi oleh Ags. Arya Dipayana tahun 1987. Tapi aku mendengarnya dalam versi yang dinyanyikan Reda Gaudiamo. Suara indahnya membuat arti puisi itu semakin masuk ke relung hati menurutku. Juga petikan gitar yang dimainkan Ari Malibu. Aku cukup beruntung bisa bertemu langsung dengan penulisnya di Taman Ismail Marzuki pada Jumat (12/10) sore dalam acara bertema Bincang Tokoh DKJ.
Sapardi Djoko Damono atau yang akrab disapa SDD hadir di tengah hadirin dengan kelugasan yang sama dengan anak muda. Meskipun umurnya sudah 72 tahun. Saat itu semua pertanyaan dan komentar yang ditujukan padanya dapat dijawab dengan baik dan jelas. SDD juga ditemani dua orang akademisi yang akan membantu hadirin untuk membaca karakteristik puisi SDD, yaitu DR. Tommy Christomy dan Drs. Sunu Wasono, M.Hum. Aku memperhatikannya dengan duduk di lantai di salah satu sudut ruangan. Karena seluruh bangku yang tersedia tak ada lagi yang tersisa.
Menurut Tommy, ciri khas puisi SDD adalah kemampuannya mengolah kata-kata yang umum yang digunakan oleh orang-orang namun terkombinasi begitu cair. Aku sependapat dengan Tommy, karena menurutku jika merujuk pada puisi Aku Ingin, kata-kata yang terdapat dalam puisi itu sering aku gunakan dalam percakapan dengan teman-teman. Namun ketika kata-kata itu diolah oleh SDD, menjadi begitu indah rangkaiannya. Boleh aku katakan, kemampuan tersebut merupakan salah satu alasanku untuk mengagumi puisi SDD.
Dari pendapat Tommy itu, SDD kemudian bercerita. Pernah salah satu majalah pada tahun 1973 memberi komentar tentang dunia sastra di Indonesia pada saat itu. Tertulis ada dugaan penyair angkatannya dianggap ketinggalan zaman, tapi tidak dengan puisi-puisinya SDD. “Tapi jangan lupa, karena saya juga mengikuti puisi-puisi muda,” jelas SDD.
Beda lagi dengan Sunu, ia mengaku dirinya termasuk orang yang tidak mengerti isi puisi-puisi SDD. Alasannya sudah jelas, karena ia bilang kemampuan dirinya dalam menerjemahkan puisi memiliki keterbatasan. Tapi berdasarkan ilmu sastra yang dikuasainya, ia menemukan banyak gejala hipersonifikasi untuk penggunaan tokoh dalam puisi SDD. Salah satunya dalam cerpen yang berjudul Rumah-Rumah. Cerpen yang belum pernah aku baca itu dikatakan oleh Sunu sebagai suatu kisah percakapan para rumah yang saling berbagi cerita tentang penghuninya.
Kemudian pendapat Sunu mendapat komentar dari salah seorang hadirin, namanya Dodo. Ia mempertanyakan keakuratan menerjemahkan puisi dengan ranah intelektual yang selalu didasari teori, Karena menurutnya puisi hanya dapat diterjemahkan secara intuitif.
Tapi hal ini justru langsung disanggah SDD dengan berbagi cerita masa lalunya. “Awalnya saya menulis puisi memang secara spontan. Begitu juga saat kuliah di Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada. Para dosen hanya terus-menurus memberi tugas membaca dan menulis (karya sastra), karena waktu itu memang belum ada teori. Namun setelah saya mengajar di universitas, tentu saya harus berkembang. Setelah itu saya jadi mengetahui, oh… ternyata puisi saya tergolong yang ini… Oh… ternyata saya sering menggunakan metafor itu.”
Aku kagum dengan jawaban SDD. Karena jelas aku sedang melihat sosok sastrawan yang memiliki intelektualitas yang tinggi dengan kemampuan mengintegrasikan antara praktik dan teori. Hal ini jarang aku temukan. Karena pada saat yang sama aku melihat ada salah satu hadirin yang mengacungkan tangan saat sesi bertanya, namun justru dimanfaatkan untuk tampil narsis dengan menceritakan segala prestasi pada dirinya. Menurutku hal itu cukup lucu, jangankan untuk mengintegrasikan teori dan praktik, untuk membedakan antara sesi bertanya dan sesi deklarasi saja masih belum mampu. Padahal berdasarkan pengakuannya, orang itu punya banyak pengalaman dalam bidang akademis. Kemudian beberapa hari sebelumnya aku juga sempat diskusi dengan salah satu redaktur detik.com yang mengaku sulit untuk menselaraskan antara teori dan praktik.
Semakin sore jalannya diskusi bertambah seru. Apalagi ada salah satu hadirin yang ingin mengetahui salah satu puisi karya SDD yang paling melibatkan emosi penulis. Ada juga yang meminta tanggapan SDD yang puisinya semakin terkenal setelah dimusikalisasi, tapi berdampak pada tenggelamnya nama sang penulis. Karena pada umumnya masyarakat lebih mengenal penyanyinya.
Dalam menjawab pertanyaan yang pertama, SDD beranggapan semua karyanya ditulis dengan tingkat emosi yang sama, tidak ada yang dispesialkan. “Kalo ada yang lebih spesial, saya takut puisi yang lainnya bisa iri,” kata SDD. Mendengar jawaban itu, sontak yang hadir jadi tertawa.
Lebih jauh, untuk menjelaskan persoalan emosi dalam membuat puisi, SDD mengatakan sulit baginya jika menulis dalam keadaan marah. “Akan gombal toh. Coba bayangkan kamu membenci seseorang tapi kamu ingin membuat rangkaian kata yang indah untuknya. Tapi kalo boleh jujur, dalam Dongeng Marsinah saya begitu marah.”
Bagi SDD Dongeng Marsinah adalah salah satu karyanya yang dibuat dengan waktu yang lama. Perlu waktu dua tahun penyelesaiannya. “Jujur saya sebetulnya tidak mampu membuat sajak itu (Dongeng Marsinah). Namun saya rasa harus, sebagai bentuk respon atas terjadinya kejahatan kemanusiaan.”
Semua orang mendengarkan dengan khidmat penjelasan SDD tentang percampuran emosinya dalam membuat karya, khususnya dalam Dongeng Marsinah. Aku sudah pernah membaca puisi itu. Bolehku bilang kata-katanya memang bernada protes meskipun halus. Tapi baru kali ini aku mendengar langsung dari penulisnya, cerita tentang pertumpahan emosi di balik karya. Pengakuan itu memberi kesan bagiku. Seolah-olah aku jadi berinteraksi batin dengan si penulis yang berujung pada saling memahami.
Tapi masih ada yang tidak kalah menariknya tentang kesan yang kudapat dari pengakuan SDD atas pertumpahan emosinya dalam karya sastra. Untuk menjawab pertanyaan yang kedua, SDD mengaku tidak masalah jika popularitas puisi Aku Ingin justru melekat pada diri Reda yang menyanyikan musikalisasinya. Ia menjelaskan tidak perlu cemburu, karena tidak ada yang aneh. Hal ini juga biasa terjadi dalam karya-karya lainnya, misalnya dalam filem. “Seringkali penonton justru mengenang suatu filem berdasarkan artis yang mendapat peran tokoh. Sedangkan sutradara atau penulis cerita dalam filem tersebut hampir jarang diingat orang.”
Melihat penjelasan itu, aku dapat mengerti bahwa SDD memang telah menyerahkan puisi Aku Ingin untuk masyarakat. Artinya ia sudah lepas tangan terhadap apa yang akan ditangkap orang-orang terhadap karyanya. Jelas baginya, musikalisasi puisi SDD merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap dirinya yang juga perlu dimaknai dengan rasa suka.
Hari semakin sore, langit pun hampir gelap. Sepertinya jarum jam sudah menunjuk angka lima, artinya acara diskusi sudah selesai. Panitia menutup acara dengan pembacaan puisi SDD. Beberapa pengunjung berhamburan meninggalkan gedung. Ada juga yang segera foto bersama dengan SDD. Tapi aku memilih menikmati hidangan berupa kopi hitam dan makanan kecil sambil menyaksikan pemutaran video dokumentasi aktifitas sehari-hari sang sastrawan.
Gue suka bagian ini, untuk nunjukin yang datang banyak “Aku memperhatikannya dengan duduk di lantai di salah satu sudut ruangan. Karena seluruh bangku yang tersedia tak ada lagi yang tersisa.”
hujan bulan juni apa juli yak???
Hei Gita, menarik sekali artikelnya. Saya juga pengagum pak Sapardi dan puisi-puisinya. Saya belum pernah baca Dongeng Marsinah, dan jadi tertarik untuk membcanya. Terima kasih. 🙂