Sekitar pukul 18.00 WIB, satu persatu rekan-rekan dari komunitas dampingan akumassa yang tergabung dalam tim akumassa Ad-hoc berdatangan. Mbak Otty mulai memberikan pengarahan. Setelah pengarahan selesai, salah seorang rekanku mengajak untuk menonton pementasan teater Tiga Belas Jendela, yang melibatkan Bang Galis dan Mbak Ira.
“Bang Galis dan Mbak Ira ini, adalah orang yang kita tempati rumahnya,” kata Mbak Otty.
Lalu Mbak Otty bercerita tentang kedua orang ini yang sangat aktif membina pemuda, khususnya, dan warga Paseban, umumnya, melalui kegiatan-kegiatan seni dan budaya. Mereka membentuk sebuah komunitas yang bernama Sanggar Budaya Paseban.
Aku dan Ari tidak sempat ikut menonton teater tersebut. Kami harus berdiskusi tentang proyek akumassa Ad-Hoc, yang diinisiasi oleh Program akumassa Forum Lenteng—dikoordinatori langsung oleh Mbak Otty—untuk berpartisipasi dalam perhelatan Jakarta Biennale 2013 yang bertema SIASAT (Tactic).
Beberapa rekanku, sebut saja namanya Anib dan Zikri, datang dari arah Gedung Teater Kecil TIM dengan tampang sedikit kecewa. Mereka tidak bisa memasuki ruangan pertunjukan karena sangat penuh. Akhirnya, kami memutuskan untuk segera ke Paseban, karena banyak hal yang akan kami bicarakan.
“Jangan kira tempatnya di rumah-rumah mewah ini, ya…,” kata Mbak Otty kepadaku dan Ari, ketika kami melewati deretan rumah mewah di Jalan Paseban Raya.
“Nanti ada gang masuk lagi ke dalam…,” Mbak Otty melanjutkan.
Aku memang sudah tidak sabar untuk segera berada di tengah-tengah warga Paseban. Hal ini disebabkan oleh cerita dari rekan-rekanku tentang segala hal yang menarik dari Paseban. Rekan-rekanku sendiri sudah berada satu lebih dari satu minggu di Kelurahan Paseban sebelum aku tiba di Jakarta. Tepatnya, rumah Mbak Ira dan Bang Galis itu di kelurahan Paseban, Jalan Kerawat Sawah III, RT 04 RW 02.
***
Dari sejarahnya, Paseban memang memiliki nilai historis yang penting. Paseban merupakan nama kampung sekaligus nama kelurahan yang ada di wilayah Jakarta Pusat. ‘Paseban’, secara harfiah artinya ‘berkumpul’. Tepatnya, Paseban menajdi tempat berkumpulnya pasukan Sultan Agung dari Jawa Tengah dalam suatu penyerangan kota Batavia, pada tahun 1628-1629, untuk mengusir VOC. Namun, dalam dua kali penyerangan yang dilakukan, Sultan Agung gagal mendapatkan kemenangan. Penyerangan kedua justru kemudian mengotori Sungai Ciliwung dan menyebabkan wabah kolera di Batavia pada saat itu.Warga Paseban sendiri sangat akrab dengan sejarah itu. Ketika kutanya mengapa kampung ini bernama Paseban, jangankan orang tua, anak-anakpun bisa menceritakannya, meskipun dalam versi yang berbeda-beda. Namun, inti dari Paseban sebagai pusat perkumpulan sangat dimengerti oleh warga Paseban.
Ada dua hal yang menjadi representasi Paseban dalam kehidupan real masyarakatnya. Yang pertama adalah hadirnya Komunitas Sanggar Budaya Paseban yang didirikan oleh Bang Galis dan Mbak Ira. Komunitas ini berdiri pada tahun 2000. Namun, setahun berdiri, Sanggar Budaya Paseban belum memiliki program. Sebab, kedua pendirinya terlebih dahulu berfokus pada kegiatan yang mengamati bagaimana dan apa yang dibutuhkan oleh warga paseban.
“Tahun pertama, kita berdua hanya nongkrong sama warga di sini, sambil mengamati apa yang dibutuhkan oleh warga Paseban, khususnya warga Keramat Sawah,” ujar Bang Galis.
Lebih jauh, Bang Galis menambahkan bahwa ternyata warga sangat merindukan wadah, entah bagaimana pun bentuk wadah tersebut. Apakah ia akan berupa wadah sosial, kepemudaan, atau kesenian dan kebudayaan. Maka, keberadaan Sanggar Budaya Paseban sebagai sebuah komunitas pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu kanal solusi bagi warga.
Bang Galis mengaku bahwa tidak mudah mengajak warga membentuk komunitas. Beberapa kesulitannya adalah latar belakang warga yang sangat beragam. Meski ia mengakui bahwa perbedaan etnis bukanlah masalah yang utama.
Selain itu, ia mengaku bahwa pada tahap awal berdirinya Sanggar Budaya Paseban, mereka mendapatkan kesulitan dalam penyusunan program. Hal ini disebabkan pertimbangan, dari mana semua ini akan dimulai, lalu bagaimana memulai program-program tersebut.
Namun, menurut pengamatanku, sepertinya semangat Paseban justru tertanam pada diri warga Paseban-nya sendiri. Sehingga, meskipun butuh waktu yang lama, ada banyak kegiatan positif yang diselenggarakan oleh Sanggar Budaya paseban dengan melibatkan warga. Sudah 13 tahun umur komunitas ini, mereka masih tetap eksis untuk mengajak dan membentuk kesadaran warga Paseban.
Dari cerita Bang Galis, awalnya ia mengajak warga untuk menonton filem animasi Jerman yang diiringi oleh musik gamelan dari Indramayu. Kemudian, ia mengajak warga untuk mengembangkan kreatifitas melalui menggambar dan melukis di kertas, yang kemudian berlanjut kepada lukisan tematik di tempat sampah. Lukisan di tong sampah adalah pesan yang dibuat oleh warga untuk menjaga dan memperhatikan lingkungan sekitar.
Selanjutnya, sampai sekarang banyak lagi proyek-proyek berbasis warga yang dijalankan oleh Sanggar Budaya Paseban, yang sekarang ini, sudah memiliki anggota dari berbagai kalangan, baik itu ibu-ibu, bapak-bapak dan pemuda, maupun anak-anak. Kegiatan mereka sampai saat ini adalah teater, workshop-workshop, pameran, bazaar murah, pemutaran filem bahkan sampai kepada pengobatan gratis, baik medis maupun non-medis.
Yang lebih menarik lagi adalah bagaimana Sanggar Budaya Paseban menerapkan sistem kerja komunitas yang berlandaskan partisipasi warga (sistem manajemen partisipatif). Misalnya, ketika program melukis, Komunitas tidak menyiapkan bahan, tetapi warga yang menyiapkan bahannya. Seperti melukis kaos, yang mana kaosnya disiapkan oleh masyarakat.
Selanjutnya, yang menarik dari Komunitas Sanggar Budaya Paseban adalah, kesadaran untuk membangun ekonomi warga. Mbak Ira, istri Bang Galis sekaligus juga salah seorang pendiri komunitas ini, adalah seorang yang kreatif, yang kemudian menyalurkan kreatifitasnya kepada ibu-ibu warga Keramat Sawah. Setiap Hari Rabu, mereka berkumpul dan mengadakan workshop kerajinan. Biasanya, mereka membuat kerajinan recycling, seperti membuat bungkus galon, taplak meja, tikar dan tatakan gelar dari sedotan bekas. Menurut Mbak Ira, disamping keuntungannya untuk lingkungan, kegiatan workshop yang ia berikan kepada anggota Sanggar Budaya Paseban ini bisa bernilai ekonomis. Bayangkan saja, satu lusin tatakan gelas bisa mencapai harga Rp. 20.000,-.
Kegiatan yang dilakukan oleh Komunitas Sanggar Budaya Paseban merupakan kegiatan yang layak dicontoh oleh komunitas yang lain. Sering kali, keberadaan komunitas tidak bersentuhan dengan masyarakat sehingga terjadi kesenjangan dan ketidakfahaman warga tentang komunitas. Apalagi jika kita menengok keberadaan Sanggar Budaya Paseban yang berlokasi pada daerah yang memiliki mobilitas yang tinggi, di mana kadang kala manusia menjadi sangat individualis.
***
Hal representatif kedua, yang menarik dari Paseban, adalah Lapangan PB Perintis. Lapangan PB Perintis berada di salah satu titik paling ramai di Paseban. Lapangan ini seperti menjadi ‘pusat aktifitas kebudayaan’ Paseban. Banyak hal unik dan menarik terjadi hampir setiap waktu di Lapangan ini.Lapangan ini, sebenanrnya, adalah lapangan bulutangkis. Lapangan ini dibangun sudah cukup lama. Menurut warga, sebelumnya ada banyak sekali lapangan di Paseban. Namun sekarang tersisa hanya dua. Salah satunya Lapangan PB Perintis ini. Persis di sebelah lapangan ini, terdapat Posko RW 02 yang juga menjadi salah satu wadah bagi masyarakat untuk mengadu dan mencari solusi permasalahan mereka.
Beragam aktifitas warga Paseban tertuang di Lapangan ini. Pagi hari, kita akan melihat ibu-ibu membawa anak-anak mereka ke PAUD Bahagia yang lokasinya menempel dengan Kantor RW. Dan jika sedang istirahat, anak-anak kecil ini akan keluar dan bermain di Lapangan Perintis. Selain itu, pedagang-pedagang yang menggunakan gerobak dorong, melintas dengan ciri khas yang berbeda. Ada yang ciri khasnya dengan suara teriakan, ada yang menggunakan musik manual, dan ada juga yang menggunakan musik elektrik, menambah riuh suasana Lapangan Perintis ini.
Belum lagi sore hari. Karena lapangan ini memang selalu ramai, maka Ondel-ondel dan Dangdut Jalan sengaja berlama-lama di Lapangan ini. Pernah sekali, ketika kami sedang mengadakan workshop fotografi di Lapangan Paseban, terderngar bunyi musik Ondel-Ondel. Seketika, anak-anak menjadi girang dan berhamburan. Mereka dengan segera membentuk formasi mengelilingi Ondel-Ondel dan ikut menari layaknya tarian Ondel-Ondel tersebut. Dan sesekali, mereka akan berteriak mengikuti ketukan gendang. Sungguh suasana yang sangat ‘Jakarta’.
Memang, tidak cukup melihat Paseban dalam beberapa hari. Namun, pengalaman melihat Komunitas Sanggar Budaya Paseban dan berada di Lapangan Perintis dengan warna-warni warganya, sungguh sebuah pengalaman sosial (bahkan pengalaman visual) yang sungguh sangat menarik.
***
*Sebagian foto dalam tulisan ini merupakan arsip dokumentasi milik Sanggar Budaya Paseban
________________________
Artikel ini merupakan bagian dari kegiatan akumassa Ad Hoc, sebuah proyek yang diinisiasi oleh Program akumassa Forum Lenteng, dalam rangka berpartisipasi pada Jakarta Biennale 2013–SIASAT.