Tiga puluh menit kemudian, tepat pukul 01.00 wib. Saya sudah kembali lagi ke lokasi tadi, yaitu Kampung Kedung Mangu, Surabaya. Yang membuat saya heran pertama kali adalah keberadaan beberapa mobil yang parkir di situ ber-plat nomor di luar Surabaya. Kebanyakan mobil yang parkir rata–rata berasal dari Madura, namun ada pula yang berasal dari kota tetangga lainya seperti Gresik, Lamongan, Babat, Jombang dan ada pula yang ber-plat nomor ‘B’ atau Jakarta. Setelah saya sempat ngobrol bersama tukang parkir, ternyata memang ada sebuah pertunjukkan kesenian tradisional Sandur. Menurutnya, kesenian Sandur adalah kesenian tradisional yang berasal dari Madura. Namun ketika saya cari info lewat internet ternyata Sandur merupakan sebuah kesenian tradisional yang berasal dari Bojonegoro yang biasa diadakan di sebuah tempat terbuka seperti lapangan, seusai masa panen di desa. Menurut kutipan yang saya dapat, menjelaskan bahwa Kesenian Sandur merupakan kesenian yang terminologinya diambil dari anonim sandur: isane tandur (sa’wise tandur) yang berarti selesai bercocok tanam. Dengan kata lain bahwa kesenian Sandur adalah salah satu bentuk ekspresi seni masyarakat agraris yang dilakukan selesai bercocok tanam. Di samping itu cerita yang ada dalam Sandur, berbicara tentang gambaran kehidupan petani dalam menjalankan aktifitas agrarisnya. Membicarakan kesenian tradisional kerakyatan yang berupa kesenian Sandur, seolah memasuki lorong gelap sejarah kesenian yang berbasis sinkretisme ini. Kesenian yang terminologinya lahir di tengah masyarakat agraris ini hampir punah keberadaan dan eksistensinya. Sehingga perangkat dan materi pertunjukannya banyak menyimbolkan idiom-idiom pertanian. Misalnya dalam dialognya, tema cerita yang diangkat tentang sawah, ladang dan kehidupan para petani yang ada di pedesaan” (diakses dari http://media-dunia-sastra.blogspot.com/2011/04/sandur-teater-pedesaan.html).
Namun dari hal ini saya tidak mempersoalkan dari mana asal kesenian ini. Yang menjadi ketertarikan saya terhadap kesenian ini adalah bagaimana metode yang mereka terapkan dalam menjaga kesenian ini hingga bertahan hingga sekarang.
Surabaya Utara, Etnis Madura Mendominasi Perekonomian Daerah
Melihat perkembangan kota terutama Surabaya, menurut hasil pengamatan saya secara pribadi ada empat etnis pendukung perekonomian di sini. Antara lain : etnis Jawa, Cina, Arab, dan Madura. Menariknya lagi Kota Surabaya bagian utara etnis tersebut tumbuh berkembang di sejumlah tempat, terutama di sekitar kampung saya. Etnis Madura sangat berkembang pesat di sini, baik secara perekonomian hingga sosial. Maka tidak heran jika terdapat sebuah pertunjukkan kesenian tradisional Sandur digelar di sini. Namun yang membedakan dengan kesenian Sandur lainnya seperti kota Tuban, Lamongan, atau Bojonegoro adalah terletak pada sebuah momen atau waktu dimana kesenian ini dipertunjukkan kepada publik. Sandur Madura digelar sebagai aktivitas berkelanjutan, namun biasanya masyarakat Madura mengadakan pertunjukkan ini ketika sedang mengadakan sebuah hajatan seperti pesta pernikahan, khitanan, dsb. Seperti yang terjadi di kampung Kedung Mangu kemarin, kesenian Sandur digelar sebagai bagian dari acara pernikahan yang diselenggarakan oleh Bapak H. Alwi ketika anak perempuannya dinikahi seorang pria dari Madura.Ketika saya mulai mendekati panggung, yang membuat saya kaget adalah sekelompok orang yang berkumpul membuat sebuah lingkaran, melakukan sebuah perjudian massal ketika menunggu giliran mendapat panggilan di panggung. Pemandangan hampir sama ketika saya menonton sebuah pertunjukkan Ludruk. Sama-sama ada sinden namun jumlahnya cuma dua saja yang biasa disebut Tandek (bahasa Madura), menggunakan gerak (tari) juga menggunakan dialog yang menggunakan bahasa Madura. Di samping itu mereka juga menggunakan tetembangan yang diawali dengan sebuah prolog yang dilakukan salah satu wiyogo (pemukul gamelan atau panjak).
Di atas panggung tersebut, ada dua orang sinden yang kebetulan saya ketahui bernama Mulyadi dan Sholihin, lalu dua orang lagi yang bertugas sebagai ‘juru panggil’, antara lain Pak Adem dan Pak Nanggi. Di samping juru panggil ada Pak Sanu’i yang bertugas sebagai ‘juru tulis’, yang bertugas sebagai pencatat banyaknya jumlah uang yang disumbangkan kepada yang punya hajat. Sebelum menaruh sejumlah uang, para tamu undangan mendapat panggilan dari juru panggil dan ikut menari di atas panggung. Setelah itu menaruh uang kemudian memberikan sejumlah tips untuk kedua sinden, kemudian menari lagi sebelum turun dari panggung. Ada sebuah pertanyaan mendasar ketika para tamu undangan di situ mendapat giliran satu persatu untuk naik keatas panggung dan menaruh sebagian uang dari kantongnya. Ternyata setelah saya mendapat informasi, bahwa tradisi ini adalah bagian yang paling penting dari pertunjukkan kesenian Sandur.
Pada saat salah satu orang naik keatas panggung dan menaruh sejumlah uang kepada yang punya hajat, maka suatu saat si empunya hajatan kelak harus mengembalikan jumlah uang tersebut sesuai kelipatannya. Jadi ibaratnya sebagai contoh ketika saya pada posisi yang punya hajat dan mendapat sumbangan 500 ribu dari teman saya, maka suatu saat ketika mendapat undangan dari teman saya tersebut sebisa mungkin saya mengembalikan sebesar 1 juta rupiah sebagai kelipatannya. Menurut hasil pengamatan pribadi saya minimal orang yang datang pada saat itu menaruh uang sebesar 200 ribu dan bahkan banyak pula yang menaruh uang antara 1,5 juta hingga 2 juta per orang. Bisa dibayangkan berapa besar perputaran uang yang terjadi pada malam itu. Belum lagi di bawah panggung, ada perputaran uang antara perjudian massal, penjual asongan hingga penjaga parkir yang bertugas semalam suntuk.
Waktu menunjukkan pukul 04.00 WIB dan rokok saya mulai habis. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat menarik bagi saya ketika berada di tengah–tengah pertunjukkan itu. Semacam terjadi sebuah arisan atau reuni terorganisir yang menghadirkan banyak orang dari berbagai kalangan. Ternyata para tamu undangan yang hadir pada saat itu mewakili daerah untuk kelurahan masing–masing, yang kebanyakan berasal dari Madura dan daerah-daerah lainnya seperti Gresik, Lamongan, Tuban, Bojonegoro dan tidak terkecuali Surabaya sendiri. Sampai saat ini terlintas sebuah pertanyaan, ada motif apa di balik semuanya? Dari peristiwa ini saya bisa mengambil sedikit kesimpulan bahwa memang benar rasa kegotong royongan dan persaudaraan terjalin secara apik di sini. Dan mungkin ini adalah salah satu metode mereka untuk mempertahan kesenian tradisional tersebut sebagai bentuk kearifan lokal yang patut dijaga dan dipertahankan hingga sekarang.
Surabaya, 29 Februari 2012