Minggu adalah hari favorit untuk dijalani. Selain libur sekolah bagiku ini adalah kesempatan untuk menyelesaikan tugas sekolah yang bertumpuk-tumpuk, bisa bangun siang, bisa jalan-jalan, mencuci pakaian yang kotor dan lain-lain. Itu idealnya untuk menjalani hari Minggu. Namun, hari Minggu biasanya tidak kulewati dengan semua hal yang kuungkapkan tadi. Sebab, hari Minggu-ku tidak akan terlewati sesuai dengan keinginanku. Pagi sekali aku harus bangun sholat subuh, mengikuti kultum ma’had, dan gotong royong. Jika sudah waktunya sarapan aku harus bersabar mengantri sekian menit untuk menerima sepiring sarapan. Itupun ala kadarnya. Tapi, aku berusaha memahami dan membuang jauh kebiasaanku membanding-bandingkan gaya dan aturan hidup ala panti asuhan dengan rumahku di kampung. Yah… meskipun tak jarang aku menggerutu di belakang. Tidak hanya hal itu yang membuatku menggerutu. Setiap mandi aku harus mengantri. Apalagi sumur tempat sekian banyak dari kami bergantung padanya, hanya satu. Sampai-sampai aku kadang berpikir hidup jadi santri ternyata hanya untuk ngantri dan man ba’daki? (siapa setelahmu?)
Tapi aku yakin ini adalah pelajaran tambahan yang kami dapatkan sebagai pembeda antara mereka yang tidak mondok dengan kami sebagai anak pondok atau santri.
Hari minggu adalah pesta ekstra kulikuler di sekolah, dan aku ambil resiko untuk ikut di salah satu kegiatan itu. Aku ikut teater dan terkadang dobel dengan pramuka. Sehingga tidak ada kata libur untukku. Pertama kali aku mendengar kata teater, yang terlintas di benakku adalah aktris terkenal dengan latihan dasar yang mudah dan ringan. Seperti duduk adem dan mendapatkan materi mengenai keaktoran. Tapi ternyata aku keliru. Teater itu, membutuhkan pembentukan dasar karakter dengan berbagai olahan. Mulai dari olah vokal, olah sukma, dan olah tubuh bahkan olah pernapasan. Masing-masing dari olahan-olahan itupun mengorbankan tenaga ekstra. Ya… Allah, menjadi aktor ternyata tidak mudah. Setiap latihan aku dan beberapa teman sering merasa seperti orang tak waras. Jadi tidak heran di luar waktu latihan pun kami sering diledek dengan panggilan majnun alias gila. Mungkin memang seperti inilah proses latihan yang mesti kutempuh. Setiap kali latihan, sekolah akan ramai oleh suara teriakan, dengungan dan desisan ketika pelajaran olah vokal. Dan di sana-sini akan dijumpai berbagai karakter, mulai dari yang menjadi ustadz, pengemis, konglomerat, pembenci, pencinta, dan banyak lagi. Ketika mengolah sukma dan mengolah tubuh berlangsung. Entah berapa banyak, masyarakat yang lalu lalang tiba-tiba melemparkan tatapan yang penuh pertanyaan saat melihat kami dalam keadaan sedang berlatih. Tapi aku mulai menyenangi aktivitas latihan yang menggilakan itu. Dan merindukan hari Minggu.
Kurangnya pengakuan dari pihak sekolah, dan masyarakat yang acuh tak acuh terhadap ekstrakulikuler tersebut, tidak menjadi penghalang bagi kami untuk tetap bersungguh–sungguh dalam latihan. Terbukti setelah beberapa bulan latihan, kami mulai diundang oleh teater lain untuk mengisi acara mereka. Uh…. Menegangkan! Aku diminta untuk mendongeng dengan membaca cerita karyaku sendiri. Dan beberapa temanku menampilkan teatrikal puisi. Setelah malam itu, pelan-pelan tapi pasti, kami mengadakan pentas perdana di sekolah. Pentas ini lagi-lagi akan menjadi tantangan tersendiri untuk kami. Aku diminta untuk memerankan wanita merah putih. Prolognya mengatakan “Perempuan merah putih. Perempuan bukan hanya di dapur, di sumur dan di kasur. Tetapi juga andil dalam mengisi kemerdekaan,” setelah itu disambung dengan puisi pangeran Diponegoro, yang aku baca dengan semangat yang bercampur aduk.
Malam itu untuk pertama kalinya, aku melihat halaman sekolah dirias sedemikian cantik. Deretan lilin yang terbuat dari kapas yang dibasahi minyak tanah berderet di sepanjang anak tangga bangunan sekolah yang belum rampung, membuat suasana semakin asyik dan indah. Aku yang berpakaian serba putih dengan ikat kepala merah-putih. Beberapa teman-teman yang juga berpakaian yang sama denganku. Kelompok marawis yang kompak dengan seragam hitam putih pun memeriahkan malam itu dengan menyanyikan beberapa lagu yang sangat indah dan membawa semua yang berada di sana pada suasana yang hening dan damai. Tokoh-tokoh drama didandani berdasarkan karakter masing-masing. Sudut-sudut sekolah penuh oleh penonton dan guru-guru, termasuk juga kepala sekolah. Ternyata beliau ada di barisan terdepan kerumunan penonton itu. Mereka semua menyaksikan penampilanku dan teman-teman. Aku melihat bahwa mereka sangat menikmati persembahan marawis dan pentas drama perdana kami tersebut. Tepuk tangan riuh rendah pun kami dapatkan. Tetapi yang terpenting bagiku, teater tentunya bukan hanya sekedar tepuk tangan dan pujian atas sebuah penampilan yang baik, akan tetapi dalam berteater kita mendapatkan kebebasan untuk berekspresi. Kesemuanya itu merupakan tempat belajar kami.
Setelah semua hiruk-pikuk malam itu selesai, aku berpikir sejenak, bahwa ternyata menjadi ‘orang gila’ juga mengesankan.
Ye,, akhirnya,,,,, ada penulis baru di Pasir Putih… Tulisan awal yang indah…!!
Yap, keren nih. Semangat terus dalam berkarya ya.