Saya sendiri baru kali pertama mendatangi pidato kebudayaan. Alasan mengapa akhirnya saya berkeinginan mendatangi pidato kebudayaan ini adalah karena teman-teman saya membicarakan tentang hal ini dan bahwa pembicaranya adalah Hilmar Farid, orang yang sempat digadang-gadang menjadi calon menteri pendidikan di masa pemerintahan Joko Widodo.
Saya datang bersama dua teman saya. Pelataran gedung Teater Jakarta sudah ramai sekali dengan penonton saat saya bersama dua teman saya tiba. Pelataran itu basah lantaran beberapa saat sebelumnya hujan deras—semestinya patut disyukuri karena Jakarta sudah agak lama tidak mendapatkan hujan sederas itu. Untuk masuk ke dalam gedung Teater Jakarta, kami harus mengisi buku tamu dan melewati pemeriksaan tas oleh petugas.
Begitu masuk ke ruangan gedung, ada banyak makanan prasmanan yang boleh disantap oleh para penonton. Sambil menyantap makanan, saya banyak bertemu dengan orang-orang berlatar belakang mahasiswa, dosen, aktivis, penulis, dan tentunya budayawan.
“Kita berbudaya sekali, ya, hari ini?!” canda teman saya.
“Untung tidak bertemu dengan sosialita kebudayaan,” ucap saya, disambut tawa lepas dari teman saya. Memang, sekarang ini mendatangi acara-acara kebudayaan sedang menjadi trend di kalangan anak muda yang selalu datang dengan berdandan mewah dan kemudian update di media sosial sehingga ada yang menjuluki orang-orang seperti itu dengan istilah sosialita kebudayaan.
Satu jam kemudian, para penonton diperbolehkan masuk ke dalam teater. Pidato kebudayaan itu dibuka dengan adanya kolaborasi teater gerak Faiza Mardzoeki dan ditampilkan oleh Galiis Sunardi. Setelah itu, panitia pidato kebudayaan ini menampilkan tokoh-tokoh yang pernah memberikan pidato kebudayaan sejak tahun 1998 sampai tahun 2013, seperti Emil Salim, B.J. Habibie, Mochtar Kusumaatmaja, Amien Rais, Ali Sadikin, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Hidayat Nur Wahid, B. Herry-Priyono, Rocky Gerung, Moh. Mahfud M.D., dan Karlina Supelli. Sebenarnya ada tokoh-tokoh lainnya, namun sayang saya lupa siapa saja tokoh lainnya itu.
Saya dan dua teman saya spontan tertawa dan menyoraki Amien Rais saat layar memperlihatkan wajahnya, begitu pula saat Hidayat Nur Wahid dan Moh. Mahfud M.D. ada di layar. Namun, saya dan kedua teman saya bertepuk tangan saat wajah Ali Sadikin dan Karlina Supelli muncul di layar. Ternyata, yang bereaksi seperti bukan hanya kami, tetapi juga seluruh penonton di Teater Jakarta.
Setelah kilas balik para pemberi pidato kebudayaan, para pemusik memainkan lagu Kolam Susu dari Koes Plus untuk mengiringi masuknya Hilmar Farid ke panggung dan untuk membuka pidato kebudayaan itu. Hilmar Farid mengatakan, bahwa ia sengaja memilih lagu Kolam Susu karena lagu itu secara sederhana membicarakan fakta yang jelas, bahwa Indonesia adalah negeri maritim yang kaya. Memiliki geografi dan demografi dengan lautan yang mencapai 3,2 juta kilometer persegi, Indonesia seharusnya bisa menjadi negeri maritim yang luar biasa. Sayangnya, pembangunan ekonomi bertumpu di daratan, yang membuat adanya perusakan area hutan, banjir, tanah longsor, dan kerusakan lingkungan lainnya yang berujung pada konflik sosial.
Dalam pidatonya, Hilmar Farid membenarkan Presiden Jokowi yang dalam pidato pertamanya sebagai Presiden Republik Indonesia mengatakan bahwa bangsa Indonesia ini telah lama memunggungi laut. Kemudian, ia menjelaskan tentang sikap memunggungi laut ini terjadi karena berbagai perubahan dalam sejarah yang membalik arus kebudayaan Indonesia. Hilmar Farid kemudian menjelaskan tentang Arus Balik, sebuah novel karya Pramoedya Ananta Toer yang bercerita tentang pergolakan di Tuban, sebuah kota pelabuhan yang maju dan setia pada masa Majapahit. Pramoedya menggambarkan tentang penguasa Tuban yang mengalami degenerasi. Degenerasi inilah yang membuat Tuban kehilangan arah. Produksi terhenti karena Tuban tidak lagi bisa menjadi sumber kemakmuran. Di akhir cerita, terdapat Wiranggaleng, pemuda desa yang muncul sebagai pemimpin pasukan Tuban. Tuban dapat diselamatkan dari serangan para penguasa Pantai Utara Jawa, namun lautan sudah jatuh ke tangan orang lain sehingga tidak lagi menjadi kota dengan kehidupan maritim.
Saya merasa senang saat Hilmar Farid dalam pidatonya memberikan pelajaran sejarah singkat tentang kebudayaan maritim yang pernah ada di Indonesia. Saya memang bukan orang yang mengerti sejarah, tapi menyukai pelajaran sejarah sejak Sekolah Dasar. Saya merasa sejarah itu penting. Hilmar Farid pun mengungkapkan, bahwa dalam melihat masalah kebudayaan Indonesia, kita harus mencari jawaban dari dalam perjalanan sejarah yang panjang dan kompleks. Ia memberi contoh redupnya kebudayaan maritim dalam dua kerajaan maritim besar di Indonesia, yaitu di Banten dan Makassar. Kedua kerajaan ini merupakan kerajaan hebat yang dipimpin oleh penguasa yang kompeten. Penguasa kedua kerajaan ini juga mampu membangun komunikasi dengan kerajaan lain sehingga membuat Banten dan Makassar menjadi kota pelabuhan internasional. Hilmar Farid mengutip Soekarno:
“Feodalisme yang penuh dengan kemungkinan untuk berkembang, yang umpamanya tidak diganggu hidupnya oleh imperialisme asing, niscaya bisa ‘meneruskan perjalanannya’, bisa ‘menyelesaikan evolusi,’ yakni niscaya bisa hamil dan akhirnya melahirkan suatu pergaulan hidup modern yang sehat pula!”
Namun, perubahan orientasi dan feodalisme yang sakit-sakitan ini membuat kerajaan-kerajaan ini jatuh.
“Kisah jatuh-bangun kerajaan maritim di Nusantara inilah yang membantu kita melihat akar dari gerak memunggungi laut di masa sekarang,” tutur Hilmar Farid.
Kekalahan-kekalahan kerajaan-kerajaan ini tidak hanya mengubah peta politik dan jalur perdagangan, namun juga mengubah kebudayaan masyarakat Indonesia. Hilmar Farid menjelaskan tentang bagaimana orientasi bangsa Indonesia hanya pada daratannya saja, yang dicerminkan oleh adanya rencana pembangunan jembatan Selat Sunda dan reklamasi Teluk Benoa di Bali. Laut dianggap sebagai penghalang, bukannya hal yang utama. Hilmar Farid kemudian merujuk pada disertasi Profesor Lapian tentang konsep archipelagic state yang terus-menerus diterjemahkan sebagai negara kepulauan. Padahal, archipelago berarti laut yang utama, atau dalam rumusan Profesor Lapian berarti lautan yang ditaburi pulau-pulau. Cara pandang inilah yang kemudian membentuk suatu kebudayaan yang bergeser dari kebudayaan maritim.
Sejarah sebagai kritik bertujuan untuk mengenali kekuatan yang membentuk sebuah transformasi. Kesadaran akan hal inilah yang menjadi landasan bagi adanya transformasi yang lebih besar lagi di masa depan. Perjalanan menuju ke arah itu, jelas Hilmar Farid, harus menyadari laut sebagai ruang sosial dan kultural. Ia menyebutkan tentang Kementerian Perhubungan dan TNI AL yang menawarkan jasa angkutan laut gratis untuk para pemudik yang ingin membawa sepeda motor. Menurutnya, ini bukanlah masalah kenyamanan, tapi juga cara pandang, cara hidup, singkatnya adalah tentang kebudayaan. Kemudian, yang kedua, harus menumbuhkan imajinasi baru dari aksi. Ia menyebutkan tentang Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti yang membuat aksi sehingga dapat membuat terobosan baru. Hilmar Farid juga menyebutkan tentang kemampuan untuk mendengarkan ritme kehidupan masyarakat yang sangat beragam untuk bisa mengolah sehingga dapat membentuk menjadi satu kesatuan bangsa. Ia menyebutkan bahwa perlunya peran intelektual dalam merangkum dan merangkai berbagai aksi dan tindakan menjadi satu kesatuan.
Setelah pidato kebudayaan ini selesai, para penonton bertepuk tangan. Kemudian, ada pembagian buku berisi pidato kebudayaan kepada para penonton yang dibagikan di meja buku tamu di pintu masuk.
Pada 12 November 2014 – dua hari setelah diadakannya pidato kebudayaan itu,eorang penonton bernama Usman Ben Kumoring, mengungkapkan kepada saya, bahwa ia baru pertama kali menghadiri pidato kebudayaan.
“Materi diutarakan dengan media yang menarik, tapi saat di tengah, dia (Hilmar Farid—red) hanya justifikasi keputusan Jokowi benar dalam berbagai hal,” kata Usman. “Tapi saya tidak mendengar kebenaran itu atas adanya peran kesadaran budaya di dalam Jokowi, dan dia tidak memperjelas statement itu dengan argumen ilmu budaya. Selanjutnya, ia memberi contoh tentang kebijakan mudik gratis lewat kapal TNI dan lain-lain. Padahal, kita tahu kalau sosialisasi mudik kapal, seperti gratis pada praktisnya, kuotanya berapa, jaminan tidak ada pungli, dan lain-lain itu masih kurang kepada masyarakat, alias belum tersosialisasi dengan baik. Otomatis, siapa yang mau mudik lewat laut dengan ketidakpastian?”
“Terus dari acara ini, saya menangkap kalau budayawan yang menghadiri acara ini harus mengedukasi masyarakat, terutama elit yang mengambil keputusan,” lanjut Usman. “Para elit ini harus menyadari pentingnya pemanfaatan laut, dan meningkatkan kebanggaan atas kekayaan laut di negeri ini. Jangan sampai dimanfaatkan oleh asing ataupun swasta untuk keuntungan sendiri.”
Seorang mahasiswa magister Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Tanius Sebastian, juga mengemukakan pendapatnya tentang pidato kebudayaan ini kemarin (12/11).
“Bagus kok, isi pidatonya informatif dan argumentatif. Persuasif juga,” katanya. “Setuju sama isi pidatonya, karena pidato itu memberi klarifikasi sejarah dan pendasaran ilmiah untuk buat gagasan politik tentang kemaritiman Indonesia. Signifikansinya jelas untuk mendorong terwujudnya kebijakan negara yang lebih baik dalam urusan kemaritiman Indonesia. Selain itu, signifikansi untuk pendidikan bagi masyarakat luas tentang arti penting sumber daya laut dan bagaimana cara orang Indonesia memahami kelautannya.”
Saat ditanya tentang keterkaitan antara pidato kebudayaan ini dengan revolusi mental yang diusung oleh Presiden Joko Widodo, Tanius Sebastian berkata, “Menurut saya, keterkaitannya ada di tiga poin ajakannya Hilmar Farid supaya kita bertindak, yang tiga kesimpulan di akhir pidato itu, dan juga di poin penekanan tentang peran intelektual di dalam perjalanan pemerintahan Jokowi-JK. Dari situ, kita bisa melihat kalau revolusi mental Jokowi mesti diolah lebih lanjut menjadi sesuatu yang lebih konkret, yaitu yang dalam kaitan dengan gagasan pidato kemarin itu, berupa pembalikan cara pandang tentang kemaritiman sebagai kebudayaan Indonesia, karena sebenarnya kita sudah punya cara pandang itu, tapi politik, kolonialisme, dan modernitas menguburnya hidup-hidup.”
Saya pun sebenarnya sudah bertanya-tanya sejak lama, mengapa laut dan pesisir pantai Indonesia sangat kurang diperhitungkan, padahal, banyak kekayaan kita di situ. Seperti dapat kita lihat pada para nelayan yang tinggal di pesisir, banyaknya illegal fishing, dan TNI Angkatan Laut yang banyak dianggap kurang keren daripada TNI Angkatan Darat. Presiden Joko Widodo, yang menyerukan “Jalesveva Jayamahe” dalam pidato kepresidenannya pada 20 Oktober 2014, sadar akan kehidupan kemaritiman yang seharusnya mengakar dalam diri rakyat Indonesia. Saya rasa, pidato kebudayaan kali ini pun serta-merta mendukung seruan revolusi mental, yang menurut Karlina Supelli dalam tulisannya yang berjudul “Mengartikan Revolusi Mental” menyatakan, “Revolusi mental melibatkan semacam strategi kebudayaan.”
Maka cocok sekali apabila Hilmar Farid membuka pidato kebudayaan dengan Kolam Susu. Lagu yang kembali mengingatkan kita bahwa kail dan jala bisa menghidupi bangsa Indonesia, yang ikan dan udang pun sudah mendatangi kita karena sangat banyaknya jenis binatang laut di lautan kita. Tentu kita harus bersyukur atas itu dan mengambil tindakan untuk tidak lagi memunggungi kelautan kita.
_______________________
Dokumentasi oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Muhammad Sibawahi.