Dulu, rumahku di atas, tepat di pinggir Jalan Raya Parungkuda, di dataran tanah yang lebih tinggi dari pada tanah tempatku berada sekarang. Dulu, aku sering bermain di sini. Daerah ini awalnya merupakan lahan persawahan. Aku sering menangkap capung menggunakan kayu yang ujungnya diikat plastik sebagai pengganti jaring. Kalau misalnya musim panen, aku sering bermain di tumpukan padi kering sampai kulitku gatal-gatal.
Dulu, sekitar tiga belas tahun yang lalu.
Sekarang, area ini telah berubah menjadi area pemukiman masyarakat. Tidak ada lagi terlihat sawah di sekitar sini. Yang ada hanyalah rumah-rumah warga RT 04/04, Desa dan Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi. Jika dilihat dari pemandangan jauh, dari daerah atas, atau dari pinggir rel kereta, misalnya, rumah-rumah warga ini membentuk petak-petak bangunan yang berdiri samping-menyamping atau saling depan/belakang dengan rapat. Di antara rumah-rumah, jalan-jalan tikus menyempil; setapak yang setiap harinya kulalui: dari dan ke pasar, dari dan ke stasiun, dari dan ke jalan raya, dari dan ke mana pun. Dari sekian banyak rumah itu, salah satunya adalah rumahku yang sekarang.
Aku menempati rumah ini sekitar penghujung tahun 2001, saat Indah, adik bungsuku, berumur dua tahun. Waktu itu, aku duduk di kelas 6 tingkat Sekolah Dasar. Keluargaku membeli rumah ini seharga enam belas juta rupiah, dengan dua kali pembayaran. Aku lupa pada tanggal berapa kami mulai pindah ke rumah ini. Yang jelas, angsuran pembayaran pertama, seharga sepuluh juta rupiah, dibayar oleh ayah beberapa saat sebelum kami pindah, sedangkan enam juta sisanya dibayarkan beberapa bulan setelah kami menempati rumah ini. Aku ingat, pembayaran kedua itu adalah Bulan Juli di tahun 2002, ketika aku akan masuk ke Sekolah Menengah Pertama.
Ada cerita yang tak pernah kulupa, hari-hari yang mengesalkan bagiku, ketika keluargaku harus membayar sisa uang rumah ini. Saat itu, ibu dan ayah sedang berada di Jambi sementara tenggat waktu pembayaran rumah telah lewat. Si pemilik rumah sebelumnya menuntut uang pembayaran tanpa mau peduli bahwa kedua orangtuaku sedang berada di luar kota. Tanpa ada pemberitahuan apa-apa, rumahku dikunci oleh si pemilik sebelumnya sehingga aku terpaksa mengungsi ke rumah Wa Eye, kakak ibu, yang ada di depan rumahku (rumahku dan rumahnya dipisahkan oleh kolam ikan). Karena kesialan ini, aku mengalami kesulitan ketika mengambil surat-surat yang aku perlukan untuk mendaftar ke SMP. Namun, pada akhirnya, berkat bantuan Wa Eye yang memohon kepada orang yang mengunci rumah, aku diijinkan untuk mengambil surat-surat, meskipun akhirnya rumah itu dikunci lagi. Aku tinggal di rumah Wa Eye sekitar satu minggu. Aku sendiri tidak tahu bagaimana proses penyelesaian masalah tenggat pembayarannya. Tahu-tahu, aku sudah diijinkan oleh si mantan pemilik untuk menempati rumah ini kembali.
Cukup lama, aku hanya mengetahui bahwa rumahku ini, tanah dan bangunannya, adalah sepenuhnya milik keluargaku. Namun, aku salah. Beberapa hari yang lalu, tersebar sebuah isu bahwa tanah rumahku ini akan digusur oleh pemiliknya. Wajar saja jika aku kaget karena aku mengira tak akan ada lagi persoalan terkait bayar-membayar usai berurusan dengan si pemilik rumah yang lama. Aku baru mengetahui bahwa ternyata, yang kami miliki sebagai aset hanyalah rumah ini, sedangkan tanah tempatnya berdiri berada dalam status tanah sewaan. Faktanya, hampir semua warga masyarakat yang memiliki tanah di sini, termasuk anggota keluarga besarku yang juga memiliki rumah di sini, menyewa tanah ini kepada pihak PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) yang kini berganti nama jadi PT Kereta Api Indonesia. Ini menjadi sebuah alasan mengapa ibu, Wa Eye, Wa Eel, dan yang lainnya mulai gelisah memikirkan nasib rumahnya masing-masing meskipun penggusuran tanah itu baru sekedar isu.
Aku bertanya satu kali pada ibu, “Terus, kita bisa tinggal atau bangun rumah di sini, gimana caranya?”
“Kan, kita bayar, tiap tahunnya,” jawab Ibu.
“Emang na bayar baraha? Ageung tara nempo bayar na.” (Memangnya bayar berapa? Ageung tidak pernah lihat bayarnya.)
“Saratus rebu satahun na. Ageung we tara nempo bayar na!” (Seratus ribu rupiah setahunnya. Ageung saja yang tidak pernah lihat bayarnya!)
Tadinya, aku berpikir, tanah ini akan diperluas oleh PJKA dalam rangka perbaikan fasilitas kereta api, seperti perluasan tanah di pinggiran rel agar warga masyarakat aman dari bahaya kereta yang melintas. Lagi-lagi, pikiranku ini salah. Menurut kabarnya, rencana penggusuran tanah ini disebabkan oleh PJKA yang akan menyewakan area ini ke sebuah perusahaan air minum.
Hingga di detik aku menuliskan cerita tentang rumah ini, aku belum mendapatkan kabar terbaru terkait dengan isu penggusuran itu, baik dari gosip-gosip warga sekitar maupun dari kabar resmi pihak PJKA. Semoga saja itu memang hanya sekedar isu. Paling tidak, aku bisa sedikit merasa lega (walau untuk sementara) bahwa area di mana rumahku berdiri ini, bisa dibilang sebagai area yang aman dari proyek penggusuran. Jikalau misalnya pikiranku benar, bahwa penggusuran ini adalah untuk perbaikan fasilitas kereta api dan bukan untuk disewakan kembali ke perusahaan air minum, rumahku tidak akan terkena penggusuran karena letaknya cukup jauh dari pinggir rel kereta api. Kalaupun misalnya nanti area pinggir rel akan diperluas, kuat dugaanku bahwa perluasannya tidak akan menjangkau pekarangan rumahku ini.
Akan berbeda masalahnya jika ternyata tanah ini benar-benar akan disewakan ke perusahaan swasta. Aku berpendapat bahwa warga yang telah lama tinggal di sini akan mengalami kerugian. Bolehlah dikatakan, misalnya, dengan berdirinya sebuah perusahaan atau pabrik swasta di area ini, akan mendatangkan lapangan pekerjaan besar-besaran bagi warga masyarakat. Namun, apa artinya sebuah pekerjaan jika tidak memiliki rumah? Jika rumah-rumah ini digusur, ke tanah mana warga akan dapat membangun rumah yang baru? Kebutuhan sandang, pangan dan papan tak akan setimpal jika hanya digantikan oleh seragam-seragam pekerja.
Aku jadi termenung. Jika lagi-lagi sebuah pabrik besar berdiri, dia akan menjadi hantu baru bagi warga Parungkuda. Masyarakat menjadi tak pernah bisa lepas dari kultur masyarakat buruh pabrik, yang tak mendapatkan kesejahteraan yang semestinya. Jika terus begini, bisa-bisa kesadaran warga tentang kebutuhan akan rasa aman, nyaman, dan ketentraman akan semakin ditenggelamkan oleh para pemilik modal menjadi sekedar kolam harapan melalui iming-iming pekerjaan yang menggiurkan.
_______________________________________________________________________
Artikel ini sudah pernah dimuat oleh penulis pada blog pribadinya, yakni www.dariwarga.wordpress.com, Februari 2013.
kapan rencana pengusuran rumah2 penduduk yg berada di bantaran rel kereta api bogor sukabumi ,. apakah ada dispensasi pengantian dr pjka,.terimakasih