Beberapa hari lalu aku dapat buah salam di kebun Oma Soen. Wanita berumur 79 tahun ini teman terbaik untuk ngobrol soal kuliner dan tanaman. Selalu saja ada yang baru. Pembicaraan soal kuliner kami lewatkan di warung Oma Soen. Akan halnya soal tanaman, kadang kami lewatkan sambil tengok tanaman di kebunnya. Tak melulu sambil duduk. Soal hobi berkebun Oma Soen pernah aku tulis di salah satu notes ku.
Hari itu, obrolan tentang tanaman pisang. Beberapa kawan ikut bergabung. Kami jalan-jalan di kebun pisang di sebelah rumahnya. Oma mengeluh soal hujan yang tak kunjung datang. Ia tunjuk daun-daun pisang yang tertunduk layu. Tapi aku lebih tertarik pada pohon salam yang berbuah lebat. Satu anak tangga tersender di batangnya. Tak tunggu lama, aku naik tangga. Dan, waaaah…. romantika itu datang lagi.
Buah-buah salam selalu membawaku ke masa lalu. Umur berapa ya? Yang jelas di bawah sepuluh. Itu pertama kali aku makan buah-buah salam yang jatuh di halaman rumah almarhum kakek dari pihak ibu di Desa Kelor, Kecamatan Karang Mojo, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pohon salam kakek besar sekali. Barangkali perlu tiga atau empat anak seumurku untuk bisa bergandengan melingkarkan kedua tangannya ke batang salam. Tingginya juga luar biasa. Pokoknya tinggiiiii.. sekali. Jika ingin makan buah salam harus tunggu dia masak benar dan jatuh. Warnanya ungu gelap.
Kalau sedang beruntung, saat dahan terendah berbuah, paman ambil galah panjang untuk ambil buah. Kami, aku dan sepupu-sepupuku, bisa dapat buah yang matangnya pas. Warnanya tak terlalu gelap, cenderung merah maroon.
Rasa buah salam manis, asam, dan sepat. Mirip jambu atau lebih tepat lagi jamblang. Baunya pun harum. Ilmuwan mengelompokkan mereka dalam satu suku yaitu suku jambu-jambuan atau myrtaceae. Suku ini dicirikan dengan bunganya yang memiliki banyak kelopak dengan cacah dasar lima, meski ada juga yang tidak memilikinya, dan banyaknya benang sari pada bunga.
Myrtaceae adalah tanaman penting bagi kehidupan manusia. Anggotanya bisa digolongkan menjadi tiga, yaitu tanaman buah (macam-macam jambu), tanaman hias (tanaman sikat botol, bunganya merah dan mirip sikat botol), dan tanaman obat dan industri (salam, cengkeh, kayu putih).
Buah salam berbentuk buni, bulat-bulat kecil. Dagingnya tipis, begitu dikulum sudah ketemu biji. Mengulum buah salam ibarat menikmati kenikmatan sesaat; sesudahnya rasa sepat yang didapat. Orang tua hampir tak ada yang mau makan buah salam. Tak ada guna, barangkali. Atau jika makan pun hanya butuh beberapa buah untuk sekadar dapat romantika masa kecil. Seperti yang sekarang aku rasakan di umur 40_an.
Di depan rumah aku tanam juga pohon salam. Ini pohon salam kedua. Yang pertama, yang kemudian mati, adalah anak pohon salam yang tumbuh di depan warung dekat kost ku dulu di daerah Fatmawati. Yang kedua, yang sekarang tumbuh depan rumah, aku tanam dari bijinya. Dulu sebelum tanah belakang rumah dibebaskan, ada sebatang pohon salam besar sekali mirip seperti yang di rumah kakek. Buah-buahnya berjatuhan, dari situ aku dapatkan biji. Mereka bertunas saat Bintang, anak sulungku, umur tujuh bulan. Itu awal September 2003. Setelah ia jadi tanaman muda, barulah aku pindah ke depan rumah.
Kenapa di depan rumah? Sepengetahuanku – entah siapa yang bilang atau baca dimana – memang harus begitu. Sesuai namanya, tanam pohon salam depan rumah berarti menebarkan keramahan. Menyapa tetangga, atau siapa saja yang melintas, atau mengucapkan salam selamat datang pada siapa saja yang berkunjung. Itu sebabnya pohon salam sebaiknya ditanam di depan. Tidak di samping atau di belakang rumah.
Tanam pohon salam tidak hanya diambil daunnya untuk bumbu dapur. Beberapa teman datang minta daun salam untuk obat. Tukang sayur minta untuk dijual kembali. Jika berbuah pun, bukan aku saja yang senang. Burung-burung liar datang memakan buah-buahnya. Imbalannya, mereka beri kicauan merdu.
Pohon salam mengingatkan aku akan almarhum kakek dari pihak ayah. Nama kecil kakek; Salam. Persis nama pohon salam meski barangkali tak ada hubungannya dengan pohon itu. Aku sendiri tak tahu sejarahnya. Tapi setiap lihat pohon salam, jadi ingat kakek.
Tidak semua orang tahu nama kecil kakek. Setelah dewasa kakek menggunakan nama, Tjitroadisoewarna. Di depan rumah kakek menempel papan nama bertuliskan ‘FX Tjitroadisoewarna’. FX itu nama babtis, kepanjangan dari Fransiskus Xaverius. Orang-orang memanggilnya, Pak, Eyang atau Mbah Tjitro.
Kakek dulu tukang masak di pastoran. Ia pintar masak sup kacang merah kesukaan romo-romo Belanda. Kakek juga rajin. Setiap hari bangun pagi lebih dulu dari nenek. Ia lantas masak air, menyediakan minuman, dan berbenah rumah. Sesudah rapi, baru membangunkan nenek untuk bersama-sama ikut misa pagi di gereja. Sepulang gereja ada saja yang dikerjakannya. Ia jarang duduk diam. Kesukaannya nonton Dunia Dalam Berita di TVRI pukul sembilan malam, juga nonton siaran langsung tinju atau sepakbola. Kakek meninggalkan kenangan akan sikap disiplin, kerja keras, dan rajin berdoa.
Bagiku menanam pohon salam adalah menanam semua kegembiraan dan kebaikan dari masa lalu. Giliranku sekarang untuk meneruskannya pada anak-anakku. Untuk Bintang dan Putri.
Asli gw baru tau pohon salam ada buahnya,hehee…mama dirumah juga nanam pohon salam tapi gk berbuah, klo Buni ak tau, mama suka dibikin rujak….srupppp…jadi pengen ngerujak
boleh minta bibitnya kah? jadi inget bune-ku juga dulu menanam salam di pot besar. kalau darah tingginya kumat minum rebusan daun salam. dan tukang sayur udah ngerti kalo kita ga pernah beli daun salam, karena tinggal metik di depan rumah hehe… jadi pengin nanem…
Pohon salam di rmh kami sudah ada sejak rumahnya kami beli. Sayang tumbuhnya di samping rumah,walau demikian tetep memancarkn keramahan dengan berkumpulnya burung2 di pagi hari berbagi sarapan di tiap dahannya yg berbuah. Kayu pohon salam ini termasuk kuat loh, terlebih lagi kayunya yang anti rayap membuatnya jadi satu satunya pohon di halaman rumah kami yg ga bolong2. Jadi berandai2 kalau pohon salam ini jadi kami tebang, akan kami jadikan jimat pengusir mahluk halus.. Yaah semacam rayap haha
Salam kenal 🙂
Saya juga nanam pohon salam depan rumah..tepatnya area trotoar depan rumah.
Alasannya mudah perawatan dan cepat tumbuh. baru tanam sekitar 2 thn, sekarang sudah sekitar 6 meter (beli di tukang tanaman tinggi 50 cm).
Baru tau kalau buahnya bisa dimakan heheh…anal saya yg kecil suka mungutin, tapi saya larang jilat..wah sekarang gak dilarang deh heheh..
Sepertinya betul harus ditanam di depan rumah…karena pengalaman, tetangga jadi suka mampir mint daunnya buat masak :-), sampai yg rumahnya agak jauh juga suka minta…heheh menyambung silaturahmi 🙂
sist,kira” daerah yang banyak pohon salam mana ya??
Akarnya ga ngerusak bangunan kah mba? Tukang kembang pernah bilang kalo ga mau pohonnya makin tinggi batangnya dipotong aja, bener ga ya mba? Saya agak was2 mo nanem di dpn rumah, takut akarnya ngebongkar pondasi n batangnya nutupin tiang listrik. Seumur2 saya blom pernah liat pohon salam di sekitaran rumah/jalan…
Btw, salam kenal ya mba..