Pemenang - Lombok Utara, NTB

Roadshow Arkipel di Lombok

Avatar
Written by Bunga Siagian

Apa yang menarik dari sebuah pemutaran di luar Jakarta? Saya memulai pertanyaan itu di kepala saya ketika pada Bulan Oktober, 2013, Yuki Aditya (Direktur Festival Arkipel), menyampaikan bahwa akan diadakan roadshow untuk memperkenalkan Arkipel kepada publik, baik dari format maupun tujuan dari Arkipel itu sendiri, ke luar Jakarta, tepatnya Surabaya dan Lombok. Saya suka pemutaran filem. Saya suka ruang-ruang pemutaran yang memberikan pengalaman menonton yang berbeda. Tepatnya, ruang menonton dengan audiences berbeda yang pasti memberikan respon yang berbeda.  Saya suka ruang pemutaran di luar gedung bioskop 21, karena saat itu saya tahu bahwa saya tidak akan masuk ke dalam mall dan menonton filem Hollywood.

Roadshow Arkipel di Lombok_05

Ruang pemutaran dengan pengalaman berbeda seperti itu, saya rasakan pada pemutaran Senin Sinema Dunia yang diadakan Forum Lenteng. Atau mengingat ke belakang, adalah layar tancap. Sebuah konsep pemutaran di ruang terbuka yang hadir di masa kecil. Hidup di pinggiran Jakarta yang masih penuh kebon kosong, saya adalah satu dari anak-anak generasi 90-an yang tahu rasanya menonton layar tancap sambil berselimutkan sarung bersama dengan puluhan warga dari segala jenis usia, anak kecil, remaja, maupun orangtua. Ruang pemutaran yang sifatnya temporer. Pemutaran filem di sebuah ruang milik warga.

Sebagai orang yang lama tinggal di Jakarta dan menonton filem dalam bioskop maupun festival film yang mayoritas diselenggarakan di wilayah Jakarta, saya hampir hapal tipe penonton di berbagai event tersebut. Mereka adalah anak-anak muda. Sebagian adalah mereka yang rajin hadir di hampir semua festival film yang marak diselenggarakan, tipe penonton ini termasuk saya.  Alasannya berbagai macam, ada yang menjadikannya sebagai status pergaulan, tempat menonton filem secara gratis, atau memang benar-benar pecinta filem. Saya suka memperhatikan reaksi penonton ketika menonton hingga filem selesai diputar.

Ketika pemutaran di Surabaya, pada tanggal 21 November, 2013, saya sudah sempat membayangkan siapa-siapa saja yang akan datang ke pemutaran di Café Aola itu. Benar saja, saya mengenali tipe penonton di Surabaya yang memiliki kemiripan dengan penonton Jakarta. Premis saya hadir dari posisi Surabaya sebagai salah satu kota besar di Indonesia. Penonton yang datang dari komunitas, pecinta filem, dan mayoritas juga adalah anak-anak muda, sangat segmented. Jika ada penonton di luar kategori itu, mereka adalah warga sekitar yang merupakan penghuni primal ruang yang kami gunakan sebagai tempat pemutaran.

Seminggu kemudian, tanggal 29 November, 2013, giliran Lombok dengan Komunitas Pasir Putih sebagai tuan rumah pemutaran. Kami tim Arkipel yang terdiri dari saya, Andre Sasono, dan Otty Widasari, berangkat pagi-pagi sekali ke Bandara Soekarno-Hatta, karena jadwal  pesawat jam 5 pagi. Saya lupa sampai di Bandara Lombok jam berapa. Yang jelas, cuaca saat itu sangat mendung.

Roadshow Arkipel di Lombok_01

Dari Bandara Lombok menuju daerah Bangsal di Kecamatan Pemenang, tempat Komunitas Pasir Putih bermarkas dan yang juga akan dijadikan tempat pemutaran, kurang lebih menghabiskan waktu 1 jam  menggunakan taksi. Sebagai kunjungan pertama, saya tidak melewatkannya begitu saja dengan tertidur. Sepanjang perjalanan, saya memperhatikan geografis Lombok. Saya melihat gunung di kejauhan, rumah-rumah penduduk, sapi-sapi yang sedang makan rumput, tanah lapang, tebing yang tinggi, pohon-pohon, hingga laut.

Roadshow Arkipel di Lombok_02

Jika saat pemutaran di Surabaya saya bisa menebak-nebak, di Lombok tidak bisa begitu.

Sampai di Bangsal (Markas Komunitas), kami disambut oleh sebagian anggota Komunitas Pasir Putih, yaitu Jatul, Jabo, Hadi dan Maskana.  Markas ini tidak besar, tepatnya sebuah pos yang telah dialihfungsikan. Sambil mengobrol-obrol santai, dan menikmati buah mangga yang matang di pohon dan berjatuhan di halaman, saya sempat mendengar Mbak Otty bertanya kepada Hadi, selaku ketua panitia, mengenai undangan yang disebar kepada warga. Mendengar itu, saya semakin penasaran dengan pemutaran malam pertama. Kata “warga” saya rujuk kepada penduduk yang saya lihat sepanjang perjalanan menggunakan taksi tadi siang.  Saya akan menonton dengan audiences yang berbeda. Saya akan menonton filem bersama  warga.

Setelah cukup istirahat dan mandi, kami bertiga berjalan kaki menuju Kantor Camat Pemenang yang akan menjadi tempat pemutaran. Sebenarnya, ada angkutan umum semacam delman yang bernama Kidomo di sana. Tapi, karena sadar bahwa di Jakarta kami kurang olahraga, maka diputuskan untuk berjalan kaki sambil melihat-lihat.

Roadshow Arkipel di Lombok_03

Sesampainya di lokasi, panitia sedang sibuk menyiapkan tempat pemutaran. Bang Ghozali, salah satu panitia, sempat menyampaikan bahwa tadinya pemutaran akan dilakukan di halaman kantor, namun karena cuaca akhir-akhir ini sering hujan maka lokasi dipindahkan ke salah satu ruang serba guna di gedung itu. Panitia harus bersiasat untuk mengubah sebuah ruangan kosong menjadi sebuah ruangan yang layak untuk memutar filem. Benar-benar ruang yang serba guna. Jika sebuah ruangan bioskop sudah memiliki fungsinya sendiri sehingga membuat manusia harus menyesuaikan kebutuhan mereka dengan ruang tersebut, di ruangan seperti ini justru fungsi menjadi sedemikian lentur. Jika sebelumnya mungkin digunakan untuk rapat, pesta pernikahan, atau kantong pemilu, maka malam ini digunakan sebagai ruang pemutaran film.

Roadshow Arkipel di Lombok_04

Sehabis maghrib, tempat pemutaran sudah siap. Sebuah ruangan yang luas dengan layar yang cukup besar dan bangku yang tertata rapih. Saya yang bertanggung jawab dengan hal teknis pemutaran segera menyiapkan laptop dan menyusun filem-filem yang akan diputar di hari pertama.

Roadshow Arkipel di Lombok_06

Malam itu, kami memutar 8 filem Pendek, yaitu The Ghost & The Escalarte (Julien Nguyen Van Qui, Perancis), Momentum (Boris Seewald, Jerman), J.Werrier (Rhayne Vermette, Kanada), Tears of Inge (Alisi Telengut, Kanada), Hermeneutics (Alexei Dmitriev, Russia), Nona Kedi yang Tidak Pernah Melihat Keajaiban (Yosep Anggi Noen, Indonesia), Sore Hari (Andrie Sasono, Indonesia), & Keputusan di Sungai Ciujung (Syaiful Anwar, Indonesia). Setelah filem selesai disusun, saya pun keluar menuju meja pendaftaran dan bergabung dengan panitia lainnya sambil menunggu warga yang akan datang menonton.

Roadshow Arkipel di Lombok_07

Tak lama duduk di luar, datanglah sekelompok anak kecil berpakaian tari lengkap, diantar oleh ibu mereka. Mereka dari komunitas Kearifan Lokal Tebango yang akan ikut merayakan festival film ini dengan menyumbangkan tarian sebagai pembuka festival. Saya segera disibukkan dengan permintaan dari mereka untuk melakukan gladi resik. Ya, mereka penari profesional. Mereka harus memastikan bahwa lagu yang akan mengiringi tidak salah, gerakan satu sama lain seirama, dan mengukur kembali koreografi terhadap ruang yang akan dipakai pentas.

Roadshow Arkipel di Lombok_08

Kira-kira sehabis Isya, warga mulai berdatangan. Usianya sangat beragam, ada anak muda, bapak-bapak, anak kecil dan ibu-ibu. Ada yang berjalan kaki, naik sepeda motor hingga naik mobil pick up. Mengingatkan saya kembali ke masa kecil di daerah Cinere, Depok. Jika ada warga yang memiliki hajat, mereka akan menanggap layar tancap atau panggung dangdut. Kemudian warga dari kampung sekitar atau bahkan dari kampung yang jauh sekali jaraknya datang berbondong-bondong. Mereka akan berjalan kaki, naik sepeda motor, atau menyewa mobil pick up. Ada yang datang sendiri, dengan pacar, dan keluarga. Entah bagaimana caranya mereka tahu bahwa akan ada hiburan di kampung A atau B, mengingat pada saat itu alat komunikasi atau promosi seperti facebook belum ada. Hiburan semacam itu benar-benar menjadi hiburan keluarga.

Setiap orang yang hadir pada malam pemutaran hari pertama mengisi buku tamu dan menerima katalog. Kira-kira ada 60 pengunjung . Setelah festival dibuka oleh tarian, pemutaran pun segera dimulai.  Tadinya saya pikir, setelah menari, para penari cilik ini akan pulang, ternyata mereka segera duduk manis di barisan paling depan. Saya segera mengambil tempat duduk di dekat sekelompok ibu-ibu. Tipe penonton yang jarang saya temui di pemutaran filem mana pun di Jakarta. Terakhir, saya temui di pemutaran filem Soegija (Garin Nugroho).

Roadshow Arkipel di Lombok_09

Pemutaran berjalan lancar tanpa kendala teknis. Seperti pemutaran di Surabaya, filem Momentum (Boris Seewald, Jerman) mendapat tepukan paling meriah.  Selama pemutaran, beberapa pengunjung terlihat membaca-baca katalog. Mungkin, mencari informasi mengenai sinopsis dari filem yang sedang mereka tonton dan terasa aneh dari filem yang selama ini mereka lihat.

Roadshow Arkipel di Lombok_10

Setelah pemutaran selesai, Komunitas Pasir Putih mempersilahkan warga untuk menyantap konsumsi yang telah disediakan di luar dan mengingatkan bahwa akan ada sesi diskusi setelahnya. Para penonton lalu bubar dan asik menikmati jajanan.

Roadshow Arkipel di Lombok_11

Setelah para penonton selesai menyantap konsumsi, beberapa orang kembali untuk ikut berdiskusi. Mereka yang ikut diskusi kebanyakan adalah mahasiswa dari Mataram yang tergabung dalam Multimedia Art Community. Sesi diskusi berlangsung dengan santai, kami tidak berada di depan seperti saat pemutaran di Surabaya, tetapi kami duduk berhadapan dengan mereka membentuk lingkaran. Pertanyaan yang muncul adalah pertanyaan dasar seperti perbedaan filem dokumentar dan filem pendek , pesan dalam film, bentuk naratif, dan sebagainya. Mbak Otty menjawab pertanyaan mereka dengan jelas. Diujung diskusi, seorang mahasiswa mengatakan bahwa mereka akan membuat Festival Film Pendek Indie di kampus mereka. Lalu Mbak Otty  merespon “Hati-hati, loh memakai kata indie, itu peninggalan kolonial!”

Roadshow Arkipel di Lombok_12

Pemutaran hari kedua berlangsung di waktu yang tidak jauh berbeda. Penontonnya tidak sebanyak hari pertama, hanya 23 penonton, tapi malam itu juga spesial karena penonton di dominasi oleh pelajar tingkat SMP–SMA.  Semua filem yang diputar di hari kedua berasal dari Indonesia, yaitu The Flaneurs #3 (Aryo Danusiri, Indonesia), Canggung (Tunggul Banjaransari, Indonesia), Kamu di Kanan Aku Senang (BW Purbanegara, Indonesia), Halaman Belakang (Yusuf Radjamuda, Indonesia), Langka Receh (Eka Susilawati & Miftakhatun, Indonesia), Kelas 5000an (Jihad Adjie, Indonesia).

Roadshow Arkipel di Lombok_13

Saya percaya, menikmati sebuah filem merupakan pertemuan antara pengetahuan dan pengalaman. Berdasarkan pemutaran di malam kedua, saya memasukkan satu lagi, yaitu kedekatan personal.  Jika di malam pertama filem Momentum menjadi favorit, maka di malam kedua ini adalah filem Langka Receh (Eka Susilawati & Miftakhatun). Bisa jadi, karena penontonnya yang sebagian besar adalah murid SMP, menonton filem yang dibuat oleh murid SMP mengenai kehidupan yang diceritakan melalui dunia anak SMP.   Mereka tertawa meriah selama filem langka receh diputar. Nyaris setiap scene dari film itu menimbulkan reaksi dari mereka. Reaksi saya dan mereka ketika menonton filem ini jelas berbeda. Saya tidak tertawa sebahagia mereka ketika menonton Langka Receh. Dan bisa jadi mereka juga tidak sebahagia saya ketika menonton filem-filem dari Tarkovsky.

Roadshow Arkipel di Lombok_14

About the author

Avatar

Bunga Siagian

Bunga Siagian, lahir di Jakarta, 1988. Praktisi filem, dan anggota Forum Lenteng. Saat ini kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara. Di ARKIPEL 2013, Bunga berperan sebagai Program dan Koordinator Program Diskusi Publik.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.