Maldi: “Te keq ta lalo seleq tau memacar.” (Ayo kita pergi lihat orang Memacar).
Hadi: “Apa aran koto?” (Apa itu?)
Maldi: “Memacar cia Budaya Bugis sepokman tau jaga akad nikah.” (Memacar itu Budaya Bugis sebelum orang melangsungkan akad nikah).
Hadi: “Oh, teh keq ta seleq a penasaran ku siq a.” (Oh, ayo kita lihat aku jadi penasaran).
Belum lama ini sedang berlangsung sebuah pernikahan di wilayah Kecamatan Pemenang dan ada sesuatu yang berbeda di mataku. Itu merupakan pernikahan salah satu anggota Remaja Masjid Ass-Shirathal Mustaqim Karang Subagan, sering disapa Ardi, yang akan menikah dengan salah seorang dari Gili Air. Pada malam sebelum pelaksanaan akad nikah di Masjid kedua mempelai melakukan ritual Memacar.
Ritual ini cukup membuatku merasa penasaran. Sepengetahuanku Memacar tidak ada dalam Adat Sasak. Aku dan Maldi pun segera pergi menyaksikan acara tersebut dan ingin mengetahuinya lebih dekat lagi. Sesampainya kami di rumah pengantin, aku melihat banyak juga warga sekitar yang menyaksikannya dan mereka pun sama penasarannya denganku. Sempat beberapa warga yang hadir mengabadikan ritual tersebut di handphone dan kamera yang mereka bawa. Sebuah momen yang menarik, pikirku. Aku pun segera meraih handphone di kantong celanaku dan menyempatkan diri melakukan dialog dengan beberapa orang yang ada di sana.
Ternyata ritual Memacar berasal dari Adat Sulawesi yang masih dipertahankan dan dilaksanakan oleh masyarakat Gili Air, terutama sekali mereka yang berasal dari Sulawesi. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Gili Air adalah mereka yang berasal dari Bugis, Mandar dan Makasar. Menurut salah seorang keturunan Warga Bugis, ritual ini dilakukan agar kedua mempelai diberikan kebahagiaan dan pencerahan dalam menjalani bahtera rumah tangga. Apabila tidak melaksanakan kegiatan Memacar di saat melangsungkan pernikahan, diyakini akan kualat dalam menjalin rumah tangga.
Pengantin biasanya melaksanakan acara Memacar pada malam harinya sebelum proses akad nikah dilakukan. Pelaksanaan acara Memacar diawali dengan pembacaan Barzanji oleh para orang tua (Selakaran) dan selanjutnya kedua mempelai datang dan duduk dengan posisi ditengah-tengah lingkaran. Pembacaan Barzanji inilah yang mengiringi proses Memacar kedua mempelai.
Memacar adalah ritual menggambar di tangan mempelai menggunakan Daun Pacar yang sudah ditumbuk halus.
Acara ini pertama kali aku saksikan di kampung kami yang memang berbeda dari segi adat dan budaya. Acara Memacar ini tidak berjalan lama, hanya sekitar 25 menit dan mampu menghipnotis orang-orang untuk tidak beranjak dari tempatnya masing-masing.
“A gabecat saweq? Teh ta tulung tau lokeq Nyuh wah tan. Goak bak beaq remaja cia leq los speaker teger ita becat sawek.” (Kok cepat sekali selesai? Kalau begitu kita bantu orang mengupas Kelapa saja. Panggil teman-teman remaja itu lewat pengeras suara agar kita cepat selesai), tutur teman-teman ke Ihsan (Pak Kadus Karang Bedil).
Maldi menarik tanganku dan mengajakku pergi, tapi aku urungkan niat karena ingin mengetahui acara tersebut lebih dekat lagi.
“Bareh juluq Mal. Oh, jari ya lueq tau keturunan Bugis lek Gili?” (Nanti dulu Mal. Oh, jadi banyak orang keturunan Bugis di Gili?) tanyaku ke Maldi.
“Dulu di Gili Air orang-orang Bugis bermigrasi ke sana dan menetap menjadi orang Gili Air. Sehingga, banyak orang-orang Gili Air berdarah Sulawesi,” tutur Maldi ke aku.
Aku mencoba mendekati beberapa orang, salah satunya seorang remaja bernama Turmuzi yang berasal dari Gili Air dan kini menetap di Karang Subagan. Dia mengatakan bahwa Memacar memang adat masyarakat Gili Air yang dipertahankan karena ajaran nenek moyang. Tapi sayangnya dia tidak begitu tahu pesan moral dari adat istiadat Memacar tersebut. Aku mencoba bertanya lagi kepada Bapak H. Amir karena aku dengar beliau cukup lama tinggal di Gili Air.
“Mungkin beliau sedikit tahu tentang ritual tersebut,” pikirku dalam hati. Beliau jelaskan bahwa acara Memacar dilakukan kepada anak yang tergolong berdarah Bugis (Sulawesi) dan acara ini sering dilaksanakan di Gili Air karena di sana banyak orang yang berdarah Bugis.
“Kalau acara Memacar ini tidak mereka lakukan, takutnya nanti akan kualat. Pengantin laki-laki dipasangi pacar oleh orang tua laki-laki begitu juga sebaliknya pengantin perempuan oleh orang tua perempuaan,” tutur Pak Haji Amir kepada ku
“Oh, koto jarinya Pak. Semaiq kotoq ya araq acara ni leq ite, sengaq anuq nina niki tau Gili Air dait berdarah Bugis.“ (Oh, begitu jadinya Pak. Makanya acara ini dilakukan di sini karena mempelai perempuan adalah orang Gili Air dan berdarah Bugis). Penjelasan Pak Haji Amir cukup membuat mengerti tentang adat istiadat yang beraneka ragam dan perbedaan yang ada di dalamnya. Tidak kemudian perbedaan itu menjadi sebuah polemik, tapi bagaimana kemudian saling memahami dan menghargai perbedaan dalam bingkai kebersamaan.
Acara ritual pun sampai pada acara penutup, para orang tua kemudian melanjutkannya dengan dzikir bersama. Epen Gawe (yang punya hajat) hanya berharap proses-proses ritual yang dilakukan sebagai wujud do’a restu bagi kedua mempelai agar menjadi keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah.
Para orang tua duduk berdampingan dengan akrabnya. Bahkan pihak keluarga dari masing-masing mempelai nampak penuh canda tawa kebahagiaan. Masyarakat mulai kembali ke rumah masing-masing dengan pengalaman menarik dalam tiap-tiap pikiran mereka.
semangtih
an pasir pu
semangatlah pasirputih.teruslah berkarya.