Segala perabotan rumah tangga bertumpukan di kolong jembatan layang, beserta dengan manusianya yang tidur tak beraturan. Tapi belum semua, banyak orang masih berusaha menyelamatkan hartanya dari rumah masing-masing yang mungkin saja akan segera lenyap. Kemudian sekitar pukul sepuluh pagi sepasukan bala tentara datang membawa alat berat. Bukan, bukan penggusuran paksa, karena warga menyambutnya dengan riang gembira meskipun tanah di sana dalam status sengketa. Dan anak-anak pun tetap asik berenang di air bah yang juga sudah tekontaminasi dengan kotoran manusia.
Banjir siklus lima tahunan yang kembali melanda wilayah DKI Jakarta telah menenggelamkan puluhan ribu rumah, termasuk mereka yang tinggal di kampung Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan pada awal Januari tahun 2013 ini. Sehingga warga yang tinggal di kawasan ini, seperti memiliki budaya mengungsi setiap lima tahun sekali. Terutama warga yang tinggal di kolong jalan layang Kalibata, karena wilayah tempat tinggalnya persis berada di tepi Sungai Ciliwung.
Sungai yang mengalir sepanjang hampir 120 kilometer dari hulu di Bogor, Jawa Barat hingga hilir di Ancol, Jakarta Utara ini membawa puluhan ton material yang tertahan di jembatan. Isinya bukan hanya sampah alam berupa pohon-pohon besar yang tidak mampu menahan derasnya arus air bah, tapi juga berbagai sampah rumah tangga yang mencirikan perilaku orang-orang sebelumnya (penduduk sepanjang hulu hingga hilir sungai), seperti plastik, gabus, bahkan kasur. Untuk itulah bala tentara datang dengan alat beratnya. Menjadi sepasukan pembersih sampah yang menyelamatkan jembatan beton agar tidak patah.
Sejauh ini warga menyadari bahwa tanah nenek moyangnya memang tidak pantas dijadikan tempat tinggal. Pihak pemerintah juga sudah menawarkan pembebasan lahan tersebut. Tapi dialog panjang selama bertahun-tahun belum juga menemukan titik temu tentang angka ganti rugi yang akan diterima warga. NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) menaksir tanah mereka dihargai dengan angka empat juta rupiah per meter dan Gubernur DKI sebelumnya siap membayar sebesar 25 persen dari seluruh luas tanah bagi tiap pemiliknya. Tentu warga tidak bisa menerima tawaran itu, karena angka tersebut terlalu kecil. Jika mereka menandatangani tawaran dapat dipastikan tidak mungkin lagi menemukan tempat tinggal, karena harga tanah di kawasan yang layak sudah terlampau mahal, sehingga tidak mungkin terbeli dengan jumlah ganti rugi yang mereka kantongi.
Hingga kemudian warga setempat mengetahui, bahwa Gubernur DKI yang baru menjanjikan rumah susun untuk warga miskin secara gratis. Besar harapan janji itu dibuktikan, sehingga putus sudah budaya mengungsi setiap lima tahun kedepan.