Masyarakatnya tidak pernah merasakan hasil dari kekayaan tanah mereka yang kaya kandungan minyak dan kayu jati. Sejak masa penjajahan Belanda, semua itu dikuasai oleh pemerintah kolonial. Setelah kemerdekaan, pemerintah republik mengambil alih pengelolaan dan membagi hak kelola tersebut dengan perusahaan asing. Sejak dulu, masyarakat hutan yang disebut ‘Blandong’ hanya bisa memunguti daun jati dan ranting yang sudah berjatuhan di tanah untuk dijual kembali untuk makan sehari-hari. Malah sekarang istilah ‘Blandong’ lebih diartikan sebagai ‘pencuri’ daun dan ranting jati dari hutan pemerintah.
Jati memang tumbuh subur di tanah yang sangat kering dan sedikit kandungan airnya. Masyarakat tinggal menikmati ketandusan tanahnya saja.
Maka sepanjang sejarah, daerah ini terkenal dengan perlawanan rakyatnya. Dari perlawanan gagah berani prajurit Naya Gimbal, pemberontakan melawan sistem perpajakan kolonial Belanda dengan cara pembangkangan sosial yang dilakukan oleh Samin Soerosentiko dan pengikutnya, sampai akhirnya pemerintah Belanda membuangnya ke Sumatra Barat hingga akhir hayatnya. Sampai hari ini pengikut Saminisme masih tetap kuat dan lestari tersebar di beberapa kawasan sekitar Kabupaten Blora.
Bahkan akibat karya-karya sastranya, Pramoedya Ananta Toer yang juga berasal dari sana dianggap sebagai pembangkang oleh pemerintah.
Blora juga merupakan kota penghasil sapi terbesar di Jawa Tengah. Dalam tradisi Jawa ada istilah ‘Rojokoyo’ (Raja kaya), yaitu ternak berkaki empat yang memiliki nilai investasi tinggi seperti sapi, kerbau atau kambing. Mungkin istilah ‘kaya’ di sini bukan merujuk pada kemampuan membeli kemewahan hari ini, melainkan kondisi aman untuk anak cucu kelak.
Dan sapi adalah ‘Raja Kaya’ di Randublatung, Kabupaten Blora. Harga sapi yang baru lahir berkisar Rp 3.000.000. Seumpama sehari 10 ekor pedet (anak sapi) dilahirkan, maka Rp 30 juta dihasilkan. Setelah sapi ini besar maka berkisar Rp 7 juta sampai Rp 10 juta. Yang paling mahal adalah sapi ‘Brahma’, sapi kualitas unggul. Berkisar antara Rp 13 juta sampai Rp 17 juta.
Masyarakat di Randublatung memelihara ternak sapi di dalam rumah. Memperlakukan sapi layaknya bagian dari keluarga. Kandang sapi terletak di ruang tamu, kamar bahkan sejajar dengan ruang makan. Mungkin dengan menyandang gelar ‘Rojokoyo’, ada harapan besar dalam membayangkan masa depan yang lebih baik tanpa ketergantungan pada kekayaan bumi tempat mereka berpijak.
__________________________
Artikel ini merupakan bagian dari kumpulan teks-teks akumassa yang pernah dipamerkan dalam bentuk text-image oleh Forum Lenteng pada Images Festival 2011. Cerita tentang akumassa di Images Festival dapat dilihat dalam tulisan David Darmadi, berjudul Kabar dari Toronto: Pembukaan Pameran akumassa dan Kabar dari Toronto: Malam Penganugerahan Images Festival. Foto-foto yang dimuat dalam artikel ini berasal dari arsip akumassa dan video akumassa, berjudul “Hari-Hari Sapi“.