Kecamatan: Randublatung

Pramoedya Ananta Toer dan Aku

Pramoedya Ananta Toer, seorang pria pemberani dan survive dalam segala hal. Lahir di Blora, Jawa Tengah pada 6 Februari 1925 – 30 April 2006.

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer

Ya, itulah sekilas tentang apa yang dia tulis di dalam buku-bukunya. Acara peringatan 4 tahun meninggalnya Pramoedya (zine acara Panggil Aku Kartini Saja) yang diperingati tanggal 29-30 April kemarin di rumahnya Jalan Sumbawa 40, Jetis, Blora, Jawa Tengah, membawa aku lebih mengetahui Pram tentang tulisannya, kehidupannya dan bagaimana dia di tengah-tengah keluarganya.

Panggil Aku Kartini Saja

Panggil Aku Kartini Saja, acara peringatan 4 tahun meninggalnya Pramoedya Ananta Toer

Di sana aku berkenalan secara singkat dengan saudara dari Pramoedya yaitu Bapak Soesilo Toer yang terlihat renta dan sudah tua namun masih tetap memiliki sebuah enlightment dalam menjalani hari-harinya.

Berawal ketika aku telah selesai mengikuti sebuah festival di Jakarta, aku berangkat pergi menuju sebuah kota penghasil sapi terbanyak di Jawa Tengah, Blora. Aku diundang dalam acara Pram oleh salah seorang temanku yang merupakan anggota Komunitas Anak Seribupulau atau lebih dikenal dengan sebutan ASP, sebuah komunitas yang merupakan panitia penyelenggara acara peringatan penulis yang selalu dikenang, Pramoedya Ananta Toer.

Karya-karya Pram ini begitu sangat menakjubkan. Mulai dari karya pertamanya yaitu ‘Sepuluh Palanika’ menurut cerita dari Bapak Soes, adik Pram yang ke-6 yang mengaku merupakan adik kebanggaan Pram, beliau bercerita banyak mengenai kisah menarik tentang Pram. Bercerita mengenai pertemuannya dengan Pram yang terpisah selama 17 tahun membuat wajah kusutnya terbasahi oleh buliran-buliran air-air jernih dari lubang matanya yang masih tetap sehat. Aku pun merasa takjub ketika melihatnya membaca Koran sambil dia bercerita tidak dengan memakai kacamata padahal usianya sudah lebih dari 70 tahun.

Pak Soes

Soesilo Toer dan aku

Beliau mengisahkan, bahwa Pram menulis berawal karena terinspirasi dari penulis Maxim Gorky (Rusia) berjudul Mat (Ibunda),  yang bercerita tentang seorang istri yang suaminya suka mabuk dan kasar terhadap dirinya dan dia memiliki seorang Putra yang pada akhirnya melindungi dirinya dari kekasaran suaminya. Salah seorang penulis lagi yang menjadi inspirasi bagi Pram yaitu Thomas Mann dari Jerman.

Buku yang dihadirkan oleh Pram semuanya menarik, apalagi yang berjudul Bumi Manusia yang ia buat hingga menjadi 4 tetralogi kemudian diterjemahkan dalam 40 bahasa dan tersebar di berbagai Negara. Buku ini ditulis Pram saat ia masih mendekam di Pulau Buru sebagai Tahanan Politik (Tapol), di mana ada sekitar 10 ribu tapol yang ditahan di sana, termasuk Pram serta kedua adiknya.

Salah satu foto Pram yang menghiasi rumahnya
Salah satu foto Pram yang menghiasi rumahnya

Salah satu bukunya lagi yang berjudul ‘Bukan Pasar Malam’ menceritakan tentang kematian ayahnya berikut adiknya, Pak Soesilo juga turut ia ceritakan di dalamnya. Serta sebuah buku yang berjudul ‘Gadis Pantai’ Pak Soes ceritakan kepadaku dengan sangat ramah dan selalu tersenyum karena senang aku bisa menjadi pendengar yang baik. Meski sesekali kadang aku melihat ada titik-titik air yang mengumpul di kelopak matanya yang membuat matanya merah dan beliau pun mengakui bahwa beliau orangnya suka menangis sedari dulu. Pak Soes bilang kepadaku, karena dia orang yang cengeng dan suka menangis akhirnya matanya tetap sehat di usianya yang sudah rentan. Sesekali matanya terlihat berkaca-kaca hanya karena nama Pramoedya Ananta Toer disebut. Memang aku pikir dia sangat menyayangi kakaknya yang menganggap dia sebagai adik kebanggaan karena dinilai sebagai adik yang cukup pintar dan dapat memperolah pendidikan yang tinggi ketimbang adik-adiknya yang lain di mata Pram.

Ketika Pak Soes menceritakan kepadaku mengenai Pram dan keluarganya, Pram merupakan seorang anak yang sangat tegas terhadap adik-adiknya yang berjumlah delapan orang. Ibunya meninggal saat  usia Pram baru 17 tahun, kemudian ayahnya pun ikut mangkat di usia Pram yang baru 25 tahun, meninggalkan Pram dengan tanggungan delapan saudaranya.

Sekilas menceritakan buku Pram yang berjudul ‘Gadis Pantai’, isi bukunya menceritakan kisah hidup neneknya yang dinikahi kemudian diusir dari rumah suaminya setelah memiliki seoarang putri dan harus ia tinggalkan di rumah suaminya. Seorang bayi perempuan yang terpisah dari ibunya itu ialah tak lain ibu dari Pramoedya Ananta Toer. Sangat menyentuh hatiku ketika membacanya meski belum sampai selesai. Membaca di perpustakaan milik penulis buku yang aku baca berikut dihadirkan pigura-pigura gambar Pram dan kisah-kisah yang Pak Soes ceritakan kepadaku, sangat menyatu dan penuh makna.

Salah satu

Salah satu lukisan Pram yang menghiasi rumahnya

Cerita di atas, bagiku sangat penuh arti, cerita-cerita dari Pak Soes, acara peringatan di rumah Pram serta semangat-semangat yang dihadirkan Pram melalui karya-karyanya menjadi sebuah motivasi tersendiri bagiku pribadi. Menulis merupakan salah satu cara untuk mengemukakan apa yang kita pikirkan, rasakan dan inginkan serta mampu mempengaruhi masyarakat secara luas dari apa yang kita tulis. Itulah Pram, dan aku memiliki angan untuk menjadi yang berikutnya.

 

About the author

Avatar

Elinah

Dilahirkan di Indramayu, Jawa Barat, pada tanggal 1 Januari 1992. Ia kuliah di Akademi Komunikasi Yogyakarta, Jurusan Jurnalistik. Ia aktif di komunitas Kampung Halaman dan kini bekerja di Kolam Susu.

5 Comments

  • o ya, di perpustakaan forum lenteng ada film IBUNDA yang diinspirasi dari novelnya Maxim Gorky itu. Sutradaranya Vsevolod Pudovkin. Rasanya sangat menarik kalau membaca terjemahan Pram lalu menonton filmnya.

  • nah itu dia dik gw mau nonton tapi gak ada kata pak Ugeng ada dan novelnya di perpus punya terus gw cari cari gak ketemu padahal gw ingin baca dan nonton…

  • linda like this 🙂
    “Gadis Pantai” nya Pram keren banget…apik sekali…akupun sampai terhanyut menikmati “Gadis Pantai” beberapa waktu yang lalu…

  • Dan…yang mengingatkan saya dengan Pram adalah..
    Pernyataannya lewat teks dan temuan-temuan bahwa di negara kita tidak ada kebudayaan yang mengakar….jadi wajarlah kalau mental kita seperti spon kering yang siap meresap hal-hal yang “basah”menurut kasat mata kita…

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.