Sampai saat ini, Pintu Air Jagir masih berdiri tegar di atas Kali Jagir Surabaya. Pengelolaan pintu air ini dilimpahkan kepada perusahaan air milik negara atau BUMN. Pintu Air Jagir pun sudah mengalami banyak perubahan dari segi tampilan, kini bentuk Pintu Air Jagir sudah nampak “cantik” karena banyak lampu yang menghiasi bangunan kuno itu, pada saat malam hari, Pintu Air Jagir nampak indah dan megah, dengan letak yang strategis yaitu menghadap ke lintasan rel kereta api, berbatasan langsung dengan jalan raya dan bersebelahan dengan jalan raya Jagir Surabaya.
Pintu Air Jagir tidak pernah sepi dari aktivitas masyarakat sekitar. Dulu, kawasan Jagir dikenal dengan kawasan permukiman kumuh, karena banyak bangunan liar yang berdiri di sekitar bantaran Kali Jagir, mulai dari bengkel, warung, tambal ban, toko sembako sampai rumah-rumah semi permanen. Karena itu, di kawasan Pintu Air Jagir tidak pernah sepi dari aktivitas masyarakat sekitar.
Sekarang, kawasan Pintu Air Jagir sudah bersih dari bangunan-bangunan liar, jalan sepanjang pintu air juga sudah tertata rapi dan memunculkan kesan yang nyaman bagi pengguna jalan. Seiring dengan penataan kota yang rapi, Pintu Air Jagir juga mengalami perbaikan. Sebagai salah satu ikon Kota Surabaya Pintu Air Jagir kini menjadi salah satu tempat yang menarik untuk menghabiskan waktu luang atau hanya sekedar bersantai.
Hari mulai gelap, saat aku baru saja datang ke kantor pengawas Pintu Air Jagir. Sebelum masuk, aku sempat melihat pemandangan sekitar yang penuh dengan aktifitas warga, sembari menunggu teman-teman yang sedang membeli minuman di warung sebelah pintu air. Saat itu ada seorang pria sedang duduk di meja kerja, sebelum memulai percakapan, kami pun saling berkenalan. Pak Handoko, pria berkumis agak lebat ini sudah lama bekerja sebagai penjaga Pintu Air Jagir. Sebelum bekerja di sini, ia ditempatkan di Pintu Air Rolak Songo, Mojokerto. Saat ini, Pak Handoko masih tinggal di Mojokerto, dengan jarak yang tidak dekat ke Pintu Air Jagir, sekitar 51 km dan waktu tempuh yang cukup lama.
“Jadi setiap harinya saya pulang pergi Mojokerto–Surabaya, Mas,” katanya. “Mau bagaimana lagi sudah tuntutan pekerjaan.”
Selain hafal mengenai sejarah Pintu Air Jagir, Pak Handoko juga paham mengenai sejarah pintu air lain seperti Pintu Air Rolak Wedok dan Pintu Air Rolak Songo yang ada di Mojokerto. Beliau juga sempat bercerita tentang gedung-gedung kuno yang ada di Surabaya, beliau mengaku sangat terkesan oleh salah satu gereja tertua yang ada di Surabaya
“Saya kagum, Mas, sama gedung gereja kuno yang ada di Jalan Kepanjen. Bangunannya masih terawat sampai sekarang, padahal itu gereja sudah sangat tua,” ujarnya.
Tidak lama setelah kami asyik bercerita, tiba-tiba Pak Handoko mengajakku untuk memasuki Pintu Air Jagir. Aku pun bergegas membawa kamera dan mengikuti beliau. Di depan pagar bertuliskan ‘selain petugas dilarang masuk’, Pak Handoko memberikan syarat kepadaku, “Mas, nanti kalau sudah di atas jangan ambil gambar di dalam, ya, sudah menjadi peraturan.”
“Iya pak,” jawabku.
“Tapi, kalau mau ambil gambar pemandangan dari atas gak apa-apa,” ucap Pak Handoko sambil membuka gembok pagar.
Saat memasuki bangunan Pintu Air Jagir, Pak Handoko pun menjelaskan tentang bagian-bagian pintu air satu per satu. Seperti tour guide, beliau menunjukkan secara rinci bagian yang ada di dalam pintu air, setelah sedikit berbincang beliau pun mulai mengajakku menuju bagian atas dari Pintu Air Jagir.
Di dalam ruangan yang tidak diperbolehkan mengambil gambar ini, terdapat mesin-mesin besar yang berfungsi menarik atau menurunkan besi bendungan yang mengatur debit air. Mesin-mesin itu bekerja menggunakan energi listrik, jika listrik padam seperangkat genset yang ada sudah dipersiapkan untuk mesin-mesin yang besar itu.
“Kalau listrik mati, terus genset juga rusak apa mesin ini bisa dijalankan manual, Pak?” Tanyaku.
“Oh bisa Mas, dengan menggunakan tuas pemutar kita bisa mengoperasikan mesin ini, tapi pasti butuh waktu yang lama, karena dengan 100 kali putaran besi, bendungan hanya terangkat atau tertutup 1 cm, bisa dibayangkan tinggi dari bendungan ini saja sudah ber meter-meter.” Jawab Pak Handoko sambil mencari tuas pemutar yang tidak ada di tempatnya.
Setelah puas menikmati pemandangan di atas Pintu Air Jagir, kami pun mulai turun dan berjalan ke sisi depan dari pintu air, sepanjang jalan banyak terlihat jaring-jaring milik warga yang dipergunakan untuk mengambil sampah plastik yang dapat dijual kembali, karena di Pintu Air Jagir terdapat banyak sampah yang yang hanyut.
Selain itu ada juga pengunjung yang sekedar bersantai menikmati suasana malam di Pintu Air Jagir, beberapa penjual makanan juga mulai menjajakan dagangannya, begitu juga dengan para PSK yang mulai beroperasi di sekitar pintu air. Pak Handoko juga menceritakan tentang keberadaan para PSK di kawasan Pintu Air Jagir,
“Dulu mereka itu sudah pernah ‘digaruk’ sama SATPOL PP, tapi tetap saja kembali beroperasi di sini. Ada dua masalah yang susah ditangani di sini, Mas, yang pertama itu sampah dan yang kedua yaitu PSK,” tutur Pak Handoko.
Setelah puas berkeliling Pintu Air Jagir dengan Pak Handoko saya dengan teman- teman pun mulai berpamitan. Sebelum pulang Pak Handoko sempat menawarkan kami untuk berkunjung ke rumahnya di Mojokerto, karena rumah beliau sangat dekat dengan Pintu Air Rolak Songo, kami hendak diajak untuk berkeliling di pintu air yang sangat luas tersebut.
“Monggo (mari) Mas kalau mau main-main kerumah saya, ini saya kasih nomor HP saya, biar gampang kalau mau menghubungi, saya itu paling suka dengan anak-anak muda yang masih peduli sama tempat-tempat bersejarah kayak Mas ini,” ujarnya.
Keramahan beliau pun melepas kunjunganku malam itu di Pintu Air Jagir. Semoga ini bukan terakhir kali aku bertemu beliau dan datang di Pintu Air Jagir yang bersejarah ini.
Menarik. Sebuah sejarah memang menarik.
pertama saya baca tukisan ini, saya sangat tertarik dengan pembukaan kata “dibangun”.
sayang, penekanan itu tidak terlalu dalam. padahal Jagir merupakan irigasi yang berpengaruh di Surabaya. jika dilihat dari tahun pembuatannya, boleh jadi ini adalah hasil dari politik etik yang dilakukan Belanda. lebih menarik lagi jika disebutkan perairan apa saja yang di buat oleh Belanda di sekitar situ. terus, apakah sudah ada irigasi yang sudah “lebih baik” sebelum dilakukan pilitik etik..
Secara keseluruhan, saya menikmati tulisan Akumassa..;-)
menarik sekali ..
tapi sayang, info yang saya cari tidak ada ditulisan ini. saya ingin tau awal mulanya kenapa pintu air jagir disebut ‘kali londo’ *cerita rakyat..?