Sebelum acara pameran dan pemutaran video dokumenter hasil dari kerja sama antara anakseribupulau dengan Forumlenteng, anakseribupulau pernah mengadakan barter dengan seseorang yang bersedia meminjamkan seperangkat tratak dan diesel untuk peralatan utama acara tersebut, dengan mendokumentasikan Pagelaran Seni Barong pada tanggal 5 Desember 2009. Kerja keras kami selama sebulan dengan kawan-kawan dari Jakarta ternyata membuahkan hasil yang maksimal. Antusias warga terhadap pameran serta pemutaran video akumassa pun menjadi semangat utama bagi kami untuk terus berkarya.
Tugas untuk mendokumentasikan Pagelaran Seni Barong itu akan kami lakukan, setelah makan Enthung (kepompong ulat jati) yang dimasak oleh Andri kami pun berangkat menuju tempat pagelaran tersebut. Di waktu yang bersamaan, di rumah anakseribupulau (ASP) ada meeting untuk membahas persiapan acara tahun baru yang akan digarap oleh ASP bekerjasama dengan komunitas lain yang ada di Randublatung. Sekitar pukul Sembilan, aku, Exi, Andri, Wilu, dan Dodee berangkat ke Dukuh Kedung Ringin untuk mendokumentasikan pegelaran tersebut. Dengan tiga motor kami menuju dukuh itu, perjalanan yang penuh kegelapan dan batang-batang pohon Jati dan Mahoni selalu menghiasi pandangan mataku. Jalan-jalan yang rusak sebelum memasuki Dukuh Kedung Ringin, membuat kami berhati-hati untuk mengendarai motor. Di tengah hutan belantara dan jalan-jalan yang rusak, ternyata ada sebuah tontonan kesenian yang khas rakyat Blora yaitu Barongan. Seni Barong Blora, merupakan salah satu kesenian rakyat yang sangat populer di kalangan masyarakat Blora.
Yang paling menarik dalam pagelaran ini yaitu adanya drama yang dibuat oleh rombongan Barongan itu. Biasanya acara barongan hanya tari-tarian saja. Untuk menghibur penontonnya, disajikan pula musik dangdut. Warga yang menyaksikan dibuat heboh saat atraksi pertunjukkan Barong dimulai. Drama yang disajikan memainkan lakon “Joko Belek”, seorang laki-laki yang buruk rupa. Joko Belek mempunyai paman yang bernama Paidi dan Dengkek yang bertempat tinggal di Desa Mbulok bersama Joko Belek.
Disisi lain Joko Belek ingin melamar anak dari Demang Gluku Pura yaitu Demang Gempol. Anaknya bernama Tapas Sari dan Manggar Wati, ternyata anak dari demang itu mengalami cacat mental. Di tengah perjalanan, paman Joko Belek mengetahui kalau ia ingin melamar anak Demang Gempol. Kemudian pamannya pun ingin melamarnya juga denagn cara mendahului Joko Belek. Sampai di rumah Demang Gempol, mereka berbicara kepada Demang Gempol kalau tujuannya datang adalah untuk melamar anaknya. Dengan senang hati Demang Gempol langsung menyetujui lamaran tersebut karena ada yang bersedia melamar anaknya yang keduanya sama-sama cacat. Si Paidi menikah dengan Tapas Sari dan Si Dengkek dengan Manggar Wati.
Setelah pernikahan berlangsung dan mengetahui bahwa istrinya ternyata cacat, Paidi dan Dengkek berniat untuk mengembalikannya kepada Demang Gempol. Dengan kemarahannya, Demang Gempol langsung menghajar Paidi dan Dengkek. Kemudian datanglah seseorang yang buruk rupa menyelamatkan Paidi dan Dengkek yaitu Joko Belek. Lalu ia berbicara kepada Demang Gempol bahwa dirinya bersedia melamar keduanya dan menyembuhkannya. Setelah Demang Gempol menyetujuinya, Joko Belek kemudian pulang dan menggandeng kedua putri tersebut.
Setelah sembuh dari cacatnya, kedua putri tersebut dikembalikan kepada bapaknya oleh Joko Belek. Ia dating dengan wajah yang bagus rupa, gagah dan berwibawa muncul ke hadapan Demang Gempol. Demang pun kaget dan tidak percaya kalau dia itu adalah Joko Belek yang buruk rupa. Lalu Joko Belek berusaha meyakinkan demang agar percaya bahwasanya ia adalah Joko Belek. Kemudian ia berubah wujud dihadapan Demang Gempol. Setelah percaya, lalu Joko Belek mengembalikan kedua putri tersebut kepada Demang Gempol, selain itu ia juga mengembalikan mereka kepada suaminya yaitu Paidi dan Dengkek.
Dengan senang hati lalu Paidi bertanya kepada Joko Belek, “mengapa kamu mengembalikan istriku?” “Saya akan kembali ke angkasa paman” jawab Joko Belek. “Seumpama aku kangen kamu, bagaimana aku bisa bertemu?” ia bertanya lagi, “Ketika malam hari, paman lihatlah langit, apabila ada bintang yang berwarna merah, itulah aku paman,” jawab Joko Belek.
Ketika kepergiannya, Joko Belek meminta kepada Demang Gempol untuk mengiringi kepergiannya dengan mementaskan Seni Barong. Dengan senang hati, Demang Gempol menuruti keinginan Joko Belek karena ia telah menyembuhkan kedua anaknya. Ternyata tarian barong itu menjadi akhir dari cerita tersebut. Yang membuat cerita itu lebih menarik yaitu karena semua adegan dibawakan dengan lelucon, apalagi waktu dagelannya keluar.
Setelah acara selesai, kami pun harus kembali ke rumah ASP, jalan yang rusak dan hutan belantara harus kami lewati kembali. Di tengah perjalanan, ada sesuatu yang menghambat perjalanan kami. Motor yang dikendarai Exi tiba-tiba macet dan keluar asap. Kejadian itu sudah terjadi ketika kami berangkat, dan kami pun tidak mempedulikannya. Sekitar pukul 3 dini hari kami tiba di Randublatung, di tengah perjalanan aku melihat banyak perempuan bersepeda dengan karung dibelakangnya, mereka adalah para penjual sayur di pasar. Aku juga melihat penjual daun jati di pertigaan Wulung yang berjalan menuju pasar. Itulah kebiasaan mereka, di pagi buta mereka harus berjuang mencari uang untuk menghidupi anak-anaknya.
Yoga, tulisan menarik. Kita adalah bangsa yang paling kaya dengan seni tradisi. Berbanggalah orang-orang yang masih sempat melihat gairah “seni rakyat’ ini di situsnya saat ini. Terus menulis Yoga! Kamu pasti akan jadi seorang penulis handal…seperti para pemikir dan penulis yang muncul dari “tanah” mu…
terima kasih bang,
tetap semangat
manis
mau dong nyobain Enthung kepompong ulat jatinya, tampaknya lezat!!!!
aku sangat senang atas karya teman2ku yang ada di wulung bisa mengangkat cerita/kisah kehidupan yang ada di desa randublatung,,,,maju terus mas….gali lg cerita yang lebih menarik lgi,semangat jgn pernah putus asa..salam kenal mas …andri