Di sela-sela pemutaran yang diadakan Komunitas Sarueh, saya bertemu dengan salah satu tukang kebun di INS Kayutanam yang sedang asyik menonton film, duduk di luar Gedung Abdul Latif. Bekerja kurang lebih baru sebulan, Mang Omay sebelumnya bekerja di Lampung. Sekitar empat tahun lamanya, sejak tahun 2008 sampai 2011 sebagai tukang kebun sayur.
Selama kurang lebih enam bulan Mang Omay pulang ke Bandung. Kemudian dipanggil lagi untuk bekerja di INS Kayutanam, sebagai tukang kebun. Bersama istrinya bernama Ipah dan salah satu anak perempuannya yang sekitar berumur lima tahun ketika dia bawa ke Kayutanam. Mereka tinggal di salah satu bangunan di lingkungan Kayutanam. Satu anak laki-lakinya ditinggal di Bandung, karena masih sekolah di tingkat SMP.
Saya temui Mang Omay di sela-sela pemutaran. Ia sedang duduk di luar gedung bersama anak perempuanya. Hal ini mengundang perhatian saya. Saya sempat tertawa ketika menanyakan nama anak perempuannya. Karena dia menjawab dengan logat Sunda, “Depi, Bang.”
Saya jadi ingat dengan adik perempuan saya yang agak tersinggung ketika di panggil ‘Perli’ oleh teman-temannya, padahal namanya Ferly. Menggunakan huruf ‘F’ bukan ‘P’. Mungkin ada kesulitan menyebutkan huruf ‘F’ atau ‘V’, sehingga menjadi ‘P’ buat orang-orang yang biasa berbahasa Sunda (karena tidak ada konsonan ‘F’ atau ‘V’ dalam Bahasa Sunda-red). Sayapun terkadang juga agak kesulitan menyebut kata-kata yang menggunakan huruf ‘F’ atau ‘V’ dalam berdialog dengan teman-teman saya. Karena memang bahasa ibu saya adalah Bahasa Sunda.
Kembali lagi tentang Mang Omay, beliau juga agak kurang terima jika dipanggil dengan sebutan ‘Mas’. Ia menjelaskan kepada saya, “Panggil aja ‘Mang’, Jangan ‘Mas’, karena ‘Mas’ itu panggilan untuk orang Jawa. Saya tahu kebiasaan orang-orang di sini, memanggil penduduk yang berasal dari Pulau Jawa dengan sebutan Jawa semua. Padahal sebetulnya ada juga orang Sunda.”
Mang Omay juga sempat bercerita tentang pengalamannya menonton film layar tancap di Bandung. Katanya acara malam ini mengingatkannya pada waktu muda dulu. Tapi bedanya dengan dulu, kalau ingin menonton film layar tancap harus bayar Rp 3.000, karena sekeliling lapangan diberi batas dan ditutup. “Jadi harus bayar kalau pengen nonton,” katanya.
Tidak seperti sekarang, dulu yang dia tonton selain Film Benyamin S, Mang Omay juga pernah menonton film-film yang dibintangi Adven Bangun, Warkop DKI dan masih banyak lagi. Mang Omay juga merasa bingung karena mengetahui acara pemutaran kali ini gratis, tidak seperti dulu. Tapi dia sangat senang dengan acara tersebut. Pembicaraan saya dengan Mang Omay tidak begitu lama. Karena film Raja Copet yang dibintangi Benyamin S sudah akan berakhir. Sehingga saya pun masuk kembali kedalam Aula.