Darivisual Kecamatan: Pemenang Kota/Kabupaten: Lombok Utara Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Pertemuan Pak Emy Dengan Anak-anak Karang Baru

Avatar
Written by Otty Widasari

Tulisan ini adalah bagian dari buku Sebelas Kisah dari Tenggara yang ditulis oleh Muhammad Sibawaihi, Otty Widasari, dan Manshur Zikri, diterbitkan oleh Forum Lenteng pada tahun 2016. Dimuat kembali di situs web AKUMASSA dalam rangka rubrik “Darivisual”.

Setiap dua hari sekali, gang kecil di depan kantor Komuntas Pasirputih di Desa Karang Baru dipenuhi suara raungan keras knalpot motor yang sudah sangat dikenal dengan baik oleh warga dan anak-anak kecil sekitar, menggantikan gema azan sore yang baru kelar berkumandang. Pak Emy yang berbadan besar, berkulit gelap, berambut panjang yang selalu diikat ke belakang, biasanya turun dari motor lalu mengganti sepatunya dengan sandal jepit pinjaman, dan berangkat ke masjid untuk menunaikan ibadah sholat Ashar. Setelahnya, halaman kecil di samping kantor Pasirputih akan dipenuhi anak-anak kecil yang suaranya riuh rendah meningkahi teriakan-teriakan Pak Emy yang baru pulang dari masjid.

Mempertahankan seni tradisi di zaman yang sudah sangat teknologis saat ini sepertinya tidak mudah. Para seniman tradisional harus menemukan caranya untuk hadir secara kini demi mempertahankan keberadaan seni tradisi. Muhaemy, yang biasa dipanggil Pak Emy, adalah seorang pegiat kesenian tradisi Wayang Sasak. Pak Emy adalah dalang, pemain suling sekaligus pengrajin Wayang. Usahanya cukup keras, bahkan sampai membuka Sekolah Pedalangan Wayang Sasak di Desa Sasela, Lombok barat.

Muhaimi, atau Pak Emy, melatih anak-anak di sekitaran markas Pasirputih kala itu untuk memainkan alat musik dari barang-barang bekas., pada tanggal 5 Februari 2016. (Foto: arisp AKUMASSA)

Sosok Pak Emy memang terlihat agak menyeramkan. Tak sebanding dengan suaranya yang kecil dan serak, seperti nyaris kehilangan napas, teriak-teriak mengatur anak-anak kecil yang ribut luar biasa. Tanpa jeda, kebisingan kacau tadi berubah teratur menjadi berirama, yang berasal dari berbagai macam barang bekas yang dipukul dengan gagang kayu, besi atau ranting pohon. Ember pecah, gelas, botol, panci, kaleng-kaleng cat, dan lainnya. Semua suara yang dihasilkan dari benda-benda itu diikat dengan alunan suling bambu yang dimainkan oleh Pak Emy. Nadanya panjang-panjang, mengalun memenuhi udara. Terdengar meriah namun sekaligus memberikan nuansa mistis di sepanjang gang kecil depan kantor Pasirputih. Beberapa anak bermain musik dengan barang-barang bekas. Beberapa lainnya menjadi penari. Satu anak menjadi wasit, dua anak berperan menjadi petarung. Tutup panci yang jadi perisainya, pelepah pisang menjadi tongkat tarungnya.

Tiap sore Pak Emy mengajarkan anak-anak kesenian tradisional Perisean. Perisean, atau yang di Pemenang dikenal dengan nama Sematian, adalah permainan khas dari Lombok yang mempertemukan dua orang laki-laki yang akan bertarung dengan menggunakan sebilah batang rotan dan perisai. Permainan ini agak menyeramkan, karena berupa pertarungan bebas, yang bukan dimainkan oleh atlet profesional, melainkan oleh siapa saja yang bersedia mengajukan diri dari kerumunan penonton. Pertarungan ini akan dihentikan setelah ada salah satu petarung yang berdarah, atau dihentikan oleh wasit yang disebut pekembar. Lalu pertarungan akan diakhiri dengan damai di mana kedua petarung akan saling berpelukan, menunjukkan bahwa ini hanya sebuah permainan. Perisean selalu diiringi oleh musik gamelan Sasak.

Latihan musik dan tari tradisional antara anak-anak warga Desam Pemenang Barat dan Timur bersama Muhaimi, di pekarangan markas Pasirputih, tanggal 12 Februari 2016. (Foto: arsip AKUMASSA).

Sebelumnya, beberapa anggota Komunitas Pasirputih agak sedikit khawatir saat Pak Emy menyampaikan niatnya membuat proyek Perisean ini untuk AKUMASSA Chronicle: Bangsal Menggawe. Tak lain mereka mengkhawatirkan adegan kekerasan yang ada di permainan Perisean yang akan dimainkan oleh anak-anak kecil. Pak Emy menjamin bahwa dia yakin ini akan baik-baik saja. Tidak ada pukulan sungguhan yang dilemparkan. Mereka hanya pura-pura seperti bertarung dalam bentuk gerak tari. Tujuannya sekadar untuk membuat anak-anak tidak melupakan seni tradisional mereka sendiri. Setelah Pak Emy juga menyampaikan idenya tentang akan memberdayakan barang-barang bekas serta akan membuat cambuk rotan dari marteri yang aman, barulah kawan-kawan Pasirputih menyetujuinya.

Latihan tari tradisional yang difasilitasi oleh Muhaimi pada tanggal 14 Februari 2016. (Foto: arsip AKUMASSA).

Latihan tari tradisional yang difasilitasi oleh Muhaimi pada tanggal 16 Februari 2016. (Foto: arsip AKUMASSA).

Maka, kebisingan sore itu terjadi hampir tiap beberapa hari sekali di halaman samping kantor Pasirputih. Menyenangkan sekali melihat Pak Emy yang berperawakan angker, mulai rutin berjalan-jalan keliling kampung bersama segerombolan anak kecil untuk mengumpulkan barang-barang bekas. Menyenangkan sekali melihat adegan rutin tiap sore, di mana kehadiran Pak Emy selalu ditunggu anak-anak, dan mereka gembira menyambut raungan keras yang memekakkan telinga dari knalpot motor Pak Emy, lalu kebisingan berubah menjadi alunan teratur yang meriah. Pak Emy yang besar duduk tegak meniup serulingnya sambil dikelilingi bocah-bocah kecil yang menabuhkan musik dari barang-barang bekas. Mengingatkan dongeng tentang si peniup seruling dan tikus-tikus.

Dua hari menjelang perhelatan Bangsal Menggawe, Pak Emy mengajak anak-anak berlatih di Pelabuhan Bangsal. Kali ini Pak Emi memberi kesempatan pada mereka untuk menggunakan alat-alat yang sesungguhnya. Begitu pula di hari “H”, mereka akan tampil dengan kostum dan peralatan yang sebenarnya. Seorang bapak dari kampung sebelah yang senang melihat kegiatan anak-anak Dusun Karang Baru, jadi teringat kalau dia memiliki alat musik gamelan Sasak. Walau sudah berkarat dan penuh debu, seperangkat instrumen itu masih berfungsi baik. Dia pun meminjamkannya pada kelompok ini.

Berbagi pengalaman, ini yang terpenting dari proyek Pak Emy. Belakangan ini masyarakat gemar mengkampanyekan gerakan pemanfaatan barang bekas. Hal itu tentu baik sekali, untuk tujuan ketahanan energi. Masalahnya, kerap gerakan itu hanya menjadi kemasan saja, namun terinfiltrasi dengan kepentingan-kepentingan lain yang terkomodifikasi juga oleh dunia komersial. Dalam aksi Pak Emy dan anak-anak Karang Baru, tidak ada romantisisme tentang pemanfaatan barang bekas. Kepekaan anak-anak terhadap hal itu diasah oleh Pak Emy sejak awal, untuk menyadari lingkungannya sendiri, mulai dari berburu, mengumpulkan, mengolah, dan menggunakannya. Bertahan dalam berproses menggunakan barang bekas, yang artinya memberi makna bagi kehidupan yang tidak konsumtif. Tak lupa mereka wajib menyimpannya dengan baik di satu sudut halaman kantor Pasirputih selesai berlatih, menjaga dan merawatnya, untuk digunakan lagi di waktu berikutnya. Kepekaan itu terjaga dengan intensitas memadai selama proses mereka berlatih dalam kurun waktu satu bulan itu. Kepekaan Pak Emy yang memang adalah seorang Kepala Sekolah Pedalangan Wayang Sasak, dan terbiasa menyelami dunia anak-anak, mengakomodir juga kekhawatiran Komunitas Pasirputih akan perihal kekerasan dalam Seni Tradisional Perisean.

Pembelajaran mengenai pemanfaatan barang bekas dilakukan tanpa mengalienasi bentuk ideal dari seni tradisional itu sendiri. Di gladi resik dan akhirnya saat pementasan, anak-anak diberi pengalaman lain yang berbeda. Setelah mereka mengenal tradisi lokal mereka sendiri, mereka mendapat kesempatan untuk merasakan penggunaan materi yang asli. Mereka bermain dengan gamelan Sasak sungguhan yang menghasilkan suara indah musik lokal mereka. Mereka gembira bisa memukul gong betulan, menabuh gamelan sungguhan, mengadu sepasang simbal asli, sambil diiringi alunan seruling mistis milik Pak Emy yang melolong seperti knalpot motornya saat memasuki gang kecil mereka setiap hari. Petarung kecil menari dengan bilah lontar asli yang indah untuk mencambuk udara, serta mempertahankan diri dengan perisai kayu yang sebenarnya. Anak-anak belajar menghargai seni tradisi tanpa harus merasa antipati terhadap kemapanan.

Muahemy, si penjaga kebertahanan seni tradisi, memberi pengalaman alternatif bahwa kita tidak perlu berpandangan konvensional terhadap wacana alternatif itu sendiri. Tidak perlu kaku. Anak-anak yang tiap hari memainkan musik menggunakan barang-barang bekas tidak pernah merasa canggung saat harus tampil di hajatan pesta rakyat dengan menggunakan alat-alat yang profesional. Perisean menjadi sebuah proses negosiasi yang cantik antara pandangan modern dalam menyikapi seni tradisi, begitu pula sebaliknya.

About the author

Avatar

Otty Widasari

OTTY WIDASARI adalah seorang seniman, penulis, sutradara, dan kurator. Saat ini, ia menjabat sebagai Direktur Program Pendidikan dan Pemberdayaan Media (AKUMASSA) di Forum Lenteng.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.