Darivisual Kecamatan: Pemenang Kota/Kabupaten: Lombok Utara Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Pertemuan Jatul Dengan Arsip Pemenang

Avatar
Written by Otty Widasari

Tulisan ini adalah bagian dari buku Sebelas Kisah dari Tenggara yang ditulis oleh Muhammad Sibawaihi, Otty Widasari, dan Manshur Zikri, diterbitkan oleh Forum Lenteng pada tahun 2016. Dimuat kembali di situs web AKUMASSA dalam rangka rubrik “Darivisual”.

Sebagai warga asli Pemenang, Imam Hujjatul Islam yang biasa dipanggil Jatul, memang sangat megenal seluk beluk Kota Pemenang. Dia mengenal orang-orang, mulai dari orang-orang yang sangat tua, yang dulu sering memberinya kisah-kisah dan dongeng-dongeng Pemenang saat ia masih kecil, hingga bocah-bocah yang sering diajarinya melukis dan yoga, tanpa ditarik bayaran. Jatul juga mengenal dengan baik semua anggota Jamaah pengajian yang menjadi murid-murid kakeknya dahulu. Kakek Jatul adalah seorang Tuan Guru, sebutan untuk pemuka agama Islam di Lombok. Jatul sejak kecil belajar agama pada kakeknya. Namun bakat dan hasratnya dalam seni lukis tak bisa dibendung. Maka ia selalu berada di persimpangan antara dua latar belakang sosiokultural tersebut. Keduanya terasa begitu berseberangan. Jelas dalam pandangan normatif masyarakat yang tinggi tingkat religiusitasnya seperti di Pemenang, dua latar itu jauh berbeda. Menurut ajaran yang dia dapat, sebagai orang yang menjalankan agama dengan baik akan selalu menjadi orang yang paling berjiwa dan berpraktik sosial. Selalu bertemu banyak orang, kemudian menurunkan ilmunya kepada masyarakat, karena itu merupakan tanggung jawab besar yang harus dipikul sebagai seorang ahli agama di tengah masyarakat. Sedangkan melalui pandangan umum yang didapat Jatul, berkesenian artinya adalah seperti tidak peduli pada semua tanggung jawab besar tersebut. Maka Jatul pun tidak terlalu banyak bertemu orang-orang di kampungnya selain sekadar bersosialisasi biasa layaknya bertegur sapa. Dia lebih mejalankan hari-harinya melukis dan berdiskusi dengan teman-teman dekatnya yang berkegiatan di bidang seni dan budaya. Namun, barangkali karena secara naluriah dia tetap memegang ajaran sang kakek, Jatul selalu senang mengajar melukis kepada anak-anak kecil di Pemenang. Hal itu dilakukannya tanpa ikatan kelembagaan, ataupun waktu. Tanpa ikatan itu, maka kerap juga murid-muridnya yang sudah mulai merasa sangat menggemari aktivitas melukis malah kelimpungan mencari-cari gurunya yang kadang hilang entah kemana.

Pertemuan-pertemuan Jatul dengan warga Pemenang kali ini memang berbeda dari biasanya. Jatul masuk lebih dalam ke diri saudara-saudaranya di Pemenang. Dia mengkreasi sebuah proyek seni yang bersifat sensus, untuk berbincang tentang apa saja dalam kehidupan keseharian orang-orang yang ditemuinya di Kota Pemenang, sambil melukis wajah-wajah mereka. Demografi wajah warga Pemenang itu membawa Jatul masuk lebih jauh ke dalam pemahaman personalnya tentang kampung halamannya sendiri. Jatul berbincang apa saja sembari melukis ratusan wajah-wajah warga Pemenang.

Menelusuri sudut Pemenang dan menemui orang-orang ternyata merupakan pengalaman baru buat Jatul yang lahir, besar, dan hidup di Pemenang. Ternyata dia memiliki banyak saudara yang tidak pernah dia kenal. Ternyata banyak sudut-sudut yang tidak dia tahu dengan saksama selama ini. Ternyata, banyak hal asing ditemuinya di rumah sendiri. Jatul jadi merasa bersemangat menjalin hubungan personal-sosial dengan kotanya sendiri.

Jatul menerjemahkan pertemuan-pertemuan itu sebagai “sambung hati”. Tentunya pertemuan dengan sesama warga kali ini lebih mengesankan daripada pertemuan-pertemuan sebelumnya, bagi kedua belah pihak.

Ada dua pihak dalam aksi “sambung hati” milik Jatul. Pertama adalah Jatul si pengarsip. Pihak kedua adalah warga yang menjadi publik arsipnya. Pertemuan ini bersifat performatif. Sebuah kejadian yang tidak ada di tempat lain selain di tempat itu sendiri.

Pengarsipan yang dilakukan Jatul bisa dispekulasikan sebagai sesuatu yang lebih bernilai dari pada bentuk pengarsipan konvensional yang ada, yaitu pengarsipan penduduk oleh negara, dan pengarsipan simulasi oleh media sosial di internet sekarang ini. Menjadi lebih bernilai, karena aksi Jatul mereduksi jarak antara si pengarsip dan publik arsipnya. Dalam pengarsipan yang dilakukan oleh negara, warga diposisikan sebagai salah satu entitas ‘wajib lapor’ dalam syaratnya menjadi warga negara. Seseorang yang tidak memiliki kartu identitas penduduk bisa dianggap sebagai penduduk cacat hukum. Lain halnya dengan pengarsipan dalam dunia media sosial. Warga mengarsipkan kehidupan dan lingkungannya, kemudian melemparkannya ke publik dalam konteks global. Ada yang wajib dicatat dalam tahap ini, di mana sebenarnya warga bukan sedang mengelola arsip pribadinya, melainkan si penyedia layanan yang mewadahi arsip tersebutlah yang berposisi sebagai pengarsip. Sementara sesuatu yang kita lihat sebagai keterbukaan dalam dunia simulasi ini tidak demikian adanya. Si pengarsip memiliki semesta data yang luar biasa besarnya. Publik arsip (kita gunakan saja istilah populernya: netizen) tak memiliki kemampuan untuk mencegah si pengarsip untuk melakukan sesuatu entah apa terhadap arsip yang mereka lempar ke dalam semesta data tersebut. Sadar atau tidak akan hal itu, netizen media sosial baru bisa menggunakan layanan setelah menyetujui prasyarat yang ditentukan. Entah namanya term of condition, ataupun privacy agreement. Artinya, si penyedia layanan berhak atas apa pun yang dilemparkan oleh publik arsip, dengan peluang kecil bagi publik untuk melawan seandainya arsip mereka bisa digunakan sebagai objek pengawasan tertentu.

Di sini, memang ada perbedaan antara arsip negara dan media sosial, di mana dalam konteks negara, warga memiliki kewajiban menyerahkan identitas pribadinya ke dalam lingkup kontrol kekuasaan. Dalam dunia media sosial, publik memiliki pilihan, untuk menyerahkan atau tidak meyerahkan arsip pribadinya pada pengarsip. Sesederhana itu. Menggunakan, atau tidak menggunakan media sosial; “gaul” atau “tidak gaul”. Itu saja. Sesadar-sadarnya publik arsip terhadap risiko terburuk pun dengan melempar arsipnya ke semesta data, tetap saja ada fenomena sekarang yang membuat masyarakat global merasa senang menampilkan wajahnya yang ganteng atau cantik (tentunya dengan swaseleksi) kepada publik. Masyarakat suka mengumpulkan reaksi orang lain terhadap dirinya, terhadap karyanya, terhadap pengalaman pribadinya, dan sebagainya. Walau sadar berada di ruang umum, namun tendensi publik arsip media sosial adalah privat. Merias kamar pribadi untuk meraih eksistensi di wilayah umum.

Jatul merasa nervous tiap kali harus membuka percakapan saat dia akan memulai aksinya melukis wajah seseorang, atau tepatnya mendata mereka. Setelah mendapatkan izin dari si empunya wajah, untuk memecah kekakuan, walau bahkan yang dilukisnya itu termasuk orang-orang terdekatnya, biasanya Jatul memulai dengan menanyakan identitas pribadi mereka. Barulah kemudian Jatul melakukan aksi “sambung hati”-nya. Kamu cantik. Si gadis tersipu. Ah, ternyata Bapak ganteng juga, ya? Si lelaki tua tersenyum lebar. Hidung kamu lubangnya besar sekali. Si bocah cekikikan. Oh, ternyata rumah Inaq (Ibu) di sini? Si perempuan setengah baya mengangguk.

Jelas ada persinggungan fisik (physical encounter) dan persepsi lingkungan (environmental perception) di dalam aksi pengarsipan yang dilakukan Jatul. Dan di sanalah letak performativitas yang dimaksud. Adakalanya jatul berkata jujur, dan adakalanya ia hanya bersopan-sopan saja, atau bahkan menggoda, untuk mendapatkan reaksi tertentu. Bisa jadi untuk sekedar memecah kekakuan dalam “sambung hati”, atau memang berharap terlahir ekspresi tertentu di lukisannya. Tapi yang pasti, Jatul memberi kesadaran bahwa arsip tak lain merupakan sebuah aksi yang bersifat konstruktif. Arsip bisa diarahkan.

Nah, yang menjadikan kerja arsip milik Jatul istimewa, jika dibandingkan dengan kerja arsip negara atau pun media sosial, adalah sifat performatifnya. Sebuah aksi performatif dianggap memiliki kemampuan untuk menggerakkan gestur sosial masyarakat. Bahkan mendorong sebuah perubahan dalam kebudayaan yang ada di masyarakat. Performativitas dalam pidato, sebagai contoh, akan lebih meyakinkan pendengarnya dibanding sebuah pidato yang datar atau bergantung pada teks tertulis. Sampai di sini, bisa dikatakan aksi Jatul mendekati gerakan pemberdayaan media berbasis masyarakat. Bisa saja kita menyebut aksi memproduksi arsip di media sosial sebagai peristiwa yang bersifat performatif juga. Dia juga mampu menggerakkan kebudayaan, karena netizen sangat mempercayai bangunan interaksi dalam media sosial sekarang ini. Namun performa yang terjadi berada di dunia yang berbentuk simulasi dari bentuk nyata (virtual). Namun tanpa adanya persinggungan fisik atau pun persepsi lingkungan, performativitas dalam pengarsipan otomatis di media sosial ini tidaklah bersifat manusiawi. Kemanusiaan yang ada di situ sudah termediasikan. Dia jelas terkonstruksi lewat beberapa kerja mesin. Kita merasa berbincang dengan seseorang yang nyata, saat kita menjawab pujian: kamu seksi, deh!—di kolom komentar pada foto liburan berbikini di pantai. Bukannya tidak tahu, tapi kita abaikan bahwa pujian tersebut adalah sebuah narasi yang sudah termediasi oleh huruf-huruf di keyboard seseorang yang terkirim secara simulatif. Si komentator juga mengabaikan bahwa foto seksi yang dikomentarinya sudah mengalami banyak seleksi. Lalu kita semua penghuni semesta simulasi sama-sama merasakan reaksi badaniah yang nyata di tubuh kita sebagai manusia. Bahkan sudah tersedia beberapa fitur emotikon atau emoji untuk mewakilkan perasaan kemanusiaan kita saat bereaksi.

Bolehkah saya melukis wajah Anda? Lukisan ini akan saya pajang nanti di Perlabuhan Bangsal untuk dipamerkan. Anda boleh memilikinya setelah pameran berakhir, atau kalau tidak ingin, mungkin ada orang lain yang suka karya saya dan ingin memilikinya. Atau kalau tidak, biarkan saja dia tetap di situ tertimpa panas dan hujan hingga memudar. Ah, terima kasih telah bersedia, kalau begitu, tolong sebutkan nama Anda. Usia? Wow, tapi Anda terlihat lebih muda dari usia Anda! Anda suka balapan, ya? Kok, itu motornya dimodifikasi begitu?

Kesalingpahaman telah terjadi. Arsip tercipta dengan transparansi di setiap prosesnya. Walau ini menyerupai sensus penduduk, namun Jatul mereduksi banyak hal yang ada di kerja pengarsipan negara dan media sosial. Jatul mereduksi fear of surveillance. Dengan pendekatan lukis, lalu kemudian proses berikutnya yang terbuka dan telah disampaikan sebelumnya, lalu akan mereka nikmati bersama di Pesta Rakyat Bangsal Menggawe, publik arsip tidak merasa diawasi oleh sebuah sistem kontrol kekuasaan.

Kalau warga memiliki tendensi “taat hukum” saat menyerahkan identitas diri untuk dijadikan arsip negara, dan dalam media sosial publik bertendensi “privat”, maka dalam kerja arsip Jatul, publik arsipnya memiliki bukan sekedar tendensi kolektif, tapi juga kesadaran kontribusi terhadap kebudayaan yang memang dibangun bersama, seperti hubungan petani dengan lumbung padinya.

Akhir kisah, persimpangan itu mungkin sudah tidak menjadi masalah bagi Jatul. Bila seorang yang menjalankan agama dengan baik adalah berbagi hidup dengan sesamanya dalam kebaikan, itu tak bedanya dengan seniman yang tak lain adalah warga yang terus mencari kebaikan dalam membangun masyarakat yang bermartabat.

About the author

Avatar

Otty Widasari

OTTY WIDASARI adalah seorang seniman, penulis, sutradara, dan kurator. Saat ini, ia menjabat sebagai Direktur Program Pendidikan dan Pemberdayaan Media (AKUMASSA) di Forum Lenteng.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.