Tulisan ini adalah bagian dari buku Sebelas Kisah dari Tenggara yang ditulis oleh Muhammad Sibawaihi, Otty Widasari, dan Manshur Zikri, diterbitkan oleh Forum Lenteng pada tahun 2016. Dimuat kembali di situs web AKUMASSA dalam rangka rubrik “Darivisual”.
Bujangan Pemenang? Seperti apakah wajahnya? Mereka berwajah khas negeri tenggara yang hidup di bawah terik matahari dan terpaan angin pantai sepanjang musim. Mereka berada di antara persimpangan lantunan sakral zikir yang mengingat nama Tuhan Yang Maha Esa, dan lantunan musik reggae yang memuja surga tropis berpasir putih, berdebur ombak dan bernaungkan pohon kelapa. Para bujangan Pemenang terbiasa dengan menyapa turis dalam bahasa asing dan menjamu mereka. Mereka tahu bahwa masa depan terbuka luas di lahan pariwisata. Bisa menjadi pekerja travel, pegawai penginapan dan cottage, pemandu wisata, bahkan manajer hotel, jika pendidikan memadai. Jika tidak, menjadi pengusaha kapal cepat juga menjanjikan. Dalam skala yang lebih kecil, menjadi calo pariwisata atau menjual suvenir pun tak apa. Toh, nilai transaksinya bisa bertahan lama.Warga dari generasi sebelumnya mengeluh tiap saat akan dampak dari semua itu. Standar moral makin bergeser saja, narkoba menjadi persoalan, dan Pemenang sudah tidak seperti dulu lagi. Negeri seribu masjid tentu tidak sama lagi ketika ditambah dengan seribu cottage yang sebagian besar pemiliknya adalah warga negara asing. Hukum kepemilikan tanah bisa dipermainkan sedemikian rupa. Yang pasti kerusakan lingkungan hidup tak bisa dihindarkan dari persoalan eksploitasi lahan. Nelayan tak bisa mencari ikan karena perairan laut dikapling privat.
Tak banyak yang bisa diperbuat. Tak ada alasan untuk menolak pemasukan kas daerah yang sungguh tertopang dari bisnis pariwisata. Warga ikut saja dengan alur kehidupan yang diatur oleh sistem yang sudah ada, lalu menjadi penonton pariwisata yang mengambil panggungnya di ketiga gili. Penonton setia bertahun-tahun lamanya.
Pemenang hanyalah kota transit, bagi orang-orang yang datang dari bandara menuju tiga gili. Bangsal merupakan pelabuhan yang penting untuk itu. Warga Pemenang berkontribusi menjadi penyedia layanan demi lancarnya bisnis pariwisata.
Rizky Aditya Nugroho, street artist yang mem-branding dirinya sebagai Bujangan Urban, memiliki caranya sendiri untuk melakukan riset sebelum berproses di Proyek Seni AKUMASSA Chronicle. Dia mengikuti hampir semua kegiatan seniman lain berjalan-jalan di seantero Pemenang. Dia mengamati dan membuat catatan sendiri dari semua perkembangan obrolan Jabo dengan Zakaria, Ismal dengan para pemuka agama di Pemenang, Sulung dengan Komunitas Kearifan Lokal Tebango. Ikut pula mendaki bukit dan membantu The Broy mengecat dinding sekolahan di Dusun Tebango Bolot.
Memang demikian gaya Bujangan Urban dalam mengenal sebuah lokasi. Kemudian, setelah itu dia akan menebar bunga-bunga matahari berwarna-warni di tembok-tembok sepanjang kota. Membuat graffiti berisi teks dengan karakter hurufnya yang khas dan tak lupa bunga-bunga matahari berwarna-warni yang memang ikonik sebagai milik Bujangan Urban.
Tersebutlah Dodi, remaja usia SMA yang gemar sekali dengan seni graffiti. Di Pemenang yang kurang dinamis dengan aktivitas anak muda semacam dia, Dodi dan teman-temannya yang tergabung dalam Bomb of North (BON) merasa kesepian. Mungkin di Kota Mataram yang lebih urban dan terasa atmosfir ke-“kota”-annya, Dodi bisa menemukan tandem ataupun lawan yang bisa saling membangun dialog tentang seni urban.
Bagaimanapun, Pemenang adalah sebuah kota kecil di pesisir. Selain harus berhadapan dengan guru di sekolah karena dia sering mencoret dinding sekolahan, Dodi sering dikejar-kejar oleh pemilik toko yang temboknya dia gambar-gambar. Lalu si pemilik toko meminta uang kepada ayah Dodi sebagai ganti rugi atas temboknya yang digambari. Untungnya ayah Dodi merasa tidak harus membatasi kreativitas anaknya dan dengan santai membayarkan ganti rugi tersebut.
Persoalan yang dihadapi Dodi dan BON sebenarnya adalah hal biasa saja dalam dunia stree tart. Lagi pula di kota-kota besar bahkan mereka harus terus menerus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Harus saling tiban karya dengan seniman lain dan bahkan karya mereka harus saling tiban dengan cat milik Satpol PP. Graffiti adalah salah satu seni yang lahir dari perkembangan masyarakat urban. Mereka menyuarakan kritik tentang negosisasi ruang publik antara peraturan negara dan publik itu sendiri. Maka pesan yang umumnya terlahir adalah pesan publik dalam bentuk visual. Lalu apakah skena ini dibutuhkan oleh kota sekecil Pemenang?
Setelah ikut menelusuri berbagai elemen umum masyarakat Pemenang, Bujangan Urban pun mulai menelusuri elemen lain dari warga, yaitu tongkrongan-tongkrongan anak muda Pemenang. Di mana isu-isu tentang kebebasan berserakan. Tentang kenakalan, narkoba, dan gairah muda. Hadi, anggota Komunitas Pasirputih yang mengenal hampir seluruh tongkrongan yang ada di Pemenang dengan baik membawanya berkeliling. Bujangan Urban menemukan gairah Pemenang yang sebenarnya tersembunyi dari terangnya matahari di tenggara. Mereka berdiam di gelapnya malam-malam. Dan Bujangan Urban yakin bahwa gairah anak muda itu sebenarnya berjalan seiring dengan semua keinginan warga Pemenang.
Bujangan Urban mulai menebarkan ratusan bunga mataharinya yang berwarna-warni di tembok-tembok Pemenang. Hadi yang bernegosiasi agar tembok-tembok itu dibiarkan oleh pemiliknya untuk digambari. Disuarakan tentang keinginan semua orang bahwa mempolong merenten adalah semangat yang masih sangat membara. Bahwa warga bukan penonton pasif saja melainkan yang memiliki jati diri. Lalu Bujangan Urban masuk ke dalam sebuah kelas di taman kanak-kanak dan mencomot teks yang ada salah satu dindingnya, memperbesarnya dalam skala luar biasa: aku datang untuk bermain sambil belajar, aku pulang menjadi anak pintar.
Tanpa ragu, di hari-hari berikutnya warga kemudian memberikan izin temboknya digambari. Para pemilik cottage meminta temboknya dipercantik dengan bunga matahari Bujangan Urban. Hari-hari berikutnya pula akhirnya mereka semua melambai-lambaikan tangan, memanggil-manggil Bujangan Urban dan anak-anak BON untuk mewarnai seluruh Pemenang. Membutuhkan bala bantuan, Bujangan Urban memanggil teman-teman sesama street artist dari Mataram untuk memeriahkan pesta graffiti yang berkolaborasi dengan warga ini. Sulung tetap membersihkan tembok-tembok di pasar. The Broy yang sedang rajin memperindah iklan-iklan provider kartu selular prabayar dengan penambahan aksen di sana sini tentang kisah-kisah lokal, dimintai oleh warga lain yang ingin juga iklan-iklan di dinding rumah mereka tersebut ditambahhiaskan. Hingga akhirnya tanpa terasa, tak tampak lagi keterangan jumlah harga, jumlah kuota, kemampuan jangkauan jaringan, hingga logo penyedia layanan itu sendiri: perlahan menghilang dan berganti dengan kisah-kisah Pemenang dan Bangsal milik warga semata.
Warga menghentikan motor mereka, lalu ber-selfie di depan bunga-bunga matahari. Para turis berambut pirang menghentikan sesaat langkah menuju tiga gili, untuk memotret objek eksotis lain lagi di surga tropis penuh kisah tentang nelayan menangkap ikan besar dan gambaran lainnya tentang masyarakat pesisir yang bergembira. Beberapa pemandu wisata memandu tamu mereka untuk ber-selfie di depan karya-karya kawan-kawan ini, di hadapan pesan-pesan Bangsal bersatu. Lalu sekali lagi, apakah skena ini dibutuhkan oleh kota sekecil Pemenang? Tentu.
Semangat warga Pemenang membara. Mereka bergembira akan melakukan hajatan bersama: Pesta Rakyat Bangsal Menggawe. Karenanya semua mencurahkan dukungan ke sana. Mempertegas identitas mereka sebagai warga yang menang.