Seperti yang terdokumentasikan, Jagakali Art Festival merupakan bentukan praktik-praktik seni rupa seperti pameran karya instalasi dari kawan-kawan seniman dan massa Gardu Unik sendiri, karya lukisan, hasil kerajinan tangan, dan lain sebagainya. Namun, tidak menutup kemungkinan diisi oleh acara kesenian lainnya; barongsai, performance art, pentas teater, rampak perkusi dan rampak karinding merupakan aktivitas pengisi yang sangat penting keberadaannya dalam acara tersebut di tahun pertamanya.
Pada pertengahan tahun 2008, telah disepakati bahwa Jagakali Art Festival akan dilaksanakan pada tahun 2009. Setelah melalui beberapa kajian lagi, kami mendapati Maret tahun ini akan menjadi tahun kedua dari festival tersebut. Ada beberapa materi yang berusaha kami kaji, dengan harapan hasil dari kajian tersebut dapat menjadi isu pembahasan reguler dalam ruang lingkup terkecil seperti interaksi antara setiap personal massa Gardu Unik. Tidak dapat dipungkiri bahwa Jagakali Art festival merupakan hasil dari interaksi tersebut. Tanpa adanya interaksi dalam tubuh Gardu Unik, Jagakali Art Festival tahun kedua tidak akan dapat dipersiapkan. Namun dalam perjalanannya sebagai komunitas, kolaborasi merupakan bentukan yang dijadikan acuan tindak lanjut dari suatu kajian.
17 Januari 2009
Diskusi lanjutan untuk persiapan Jagakali Art Festival II dilakukan dengan dikaji oleh massa Gardu Unik bersama Teater Gotrok dari SMA Muhammadiyah Cirebon. Seperti yang ditranskrip oleh Syaiful Anwar tentang diskusi kami bersama Akbar ‘Amparanjati’, vokalis grup musik pelantun tembang jawa, selaku pembicara kesejarahan dari riwayat Sunan Kalijaga menjelaskan:
Untuk fenomena mengenai persoalan Kalijaga, banyak sekali orang-orang yang sebetulnya nanti harus kita temui. Dan yang harus dipertegas adalah berita sebenarnya.
Sunan Kalijaga itu bukan orang Cirebon, tapi orang yang pernah tinggal lama di Cirebon. Kenapa Sunan Kalijaga bisa menetap lama di Cirebon. Karena ketika beliau tinggal di Cirebon, jabatan terakhir beliau adalah sebagai sekretaris dari Sunan Gunung Jati. Selain sebagai sekretaris Sunan Gunung Jati, beliau juga adalah sahabat yang sering diajak bertukar-pikiran oleh Sunan Gunung Jati. Sehingga, dakwah Sunan Gunung Jati pun sangat kental pula dengan nuansa budaya atau nuansa seni yang ada.
Trusmi adalah pusat pembuatan batik di Cirebon. Tapi sebelumnya, di Kalijaga sudah terlebih dahulu menjadi pusat pembuatan batik Cirebon. Hanya saja entah bagaimana, beberapa tahun kemudian di Kalijaga lebih senang membuat batako (bata semen) dan sebagainya. Hingga pusat perbatikannya pun menghilang. Termasuk yang diklaim bahwa petilasan (berupa bangunan) yang ada di area Situs Kalijaga adalah bangunan Sunan Kalijaga, sampai adanya penggunaan papan nama bertuliskan ‘Makam Sunan Kalijaga’. Berita yang sampai pada saya, bangunan tersebut bukan merupakan makam Sunan Kalijaga, melainkan makam istrinya yang bernama Nyai Undi.
Sunan Kalijaga diriwayatkan pernah menikah dengan orang sekitar wilayah Kalijaga. Beliau memiliki usia yang relatif panjang, dalam sejarah Cirebon tercantumkan hingga periode Panembahan Ratu. Sedangkan Pangeran Cakra Buana belum masuk periode kasunanan, melainkan masih dalam periode Pakuwon. Pangeran Cakra Buana membuat bangunan dan menetap di satu daerah yaitu Kebon Pegitir yang beberapa waktu kemudian menjadi Cirebon. Tapi sebelum Pangeran Cakra Buana menetap, sudah ada kuwu Danu Sela yang lebih dikenal dengan nama Ki Gedeng Alang-alang. Periode tersebut merupakan Periode Pakuwon. Begitu masuk ke periode Sunan Gunung Jati hingga Fatahilah yang bernama lengkap Syarif Maulana Fadilah atau Faletehan.
Menurut versi para sejarawan nasional, Fatahilah dan Sunan Gunung Jati merupakan satu orang yang sama. Periode dari Sunan Gunung Jati hingga Fatahilah disebut Periode Kasunanan. Setelahnya, berganti ke era Panembahan Ratu hingga Pangeran Karim atau dikenal pula dengan nama Panembahan Girilaya yang makamnya berada di Imogiri.
Setelah itu masuk ke periode kesultanan. Kesultanan itu mulai dari Sultan Sepuh yang pertama sampai Sultan Sepuh yang sekarang. Konon katanya adalah generasi ketiga belas. Begitu pula yang di Kanoman, dari Sultan Anom yang pertama hingga Sultan Anom saat ini (kesembilan atau kesebelas).
Apakah benar tiba-tiba ada tradisi Nadran, pesta panen dan sebagainya itu ajaran Sunan Gunung Jati…???
Sekarang yang menjadi pertanyaan lagi, Sunan Gunung Jati itu mengajarkan apa kepada kita dalam kapasitasnya sebagai seorang wali…???
Otomatis yang diajarkan adalah dakwah Islam. Kalau pun ada tradisi-tradisi lokal seperti sedekah bumi, Seren Taun, sedekah laut dan sebagainya. Hal tersebut merupakan bagian dari kenyataan yang memang tradisi, bukanlah merupakan ajaran Sunan Gunung Jati. Namun dengan kehadiran beliau, tradisi-tradisi ini berusaha untuk diislamkan. Seperti ketika penyembelihan kerbau, yang dahulu doanya masih macam-macam digantikan dengan penggunaan kalimat basmallah. Akhirnya kerbau yang dibacakan basmallah menjadi halal untuk dikonsumsi. Ketika kerbau dipotong dan sebagainya untuk sedekah laut, makan-makanan itu dilarungkan ke laut. Prosesnya sangat sederhana, makanan yang diarung ke laut tersebut diwadahi. Karena jumlah yang terbatas, akhirnya tidak semua dibawa ke tempat tersebut. Kemudian, sisanya dimakan bersama.
Yang merupakan Islamisasi adalah pembelajaran untuk orang agar bersedia bersedekah, berkorban dan sebagainya. Jadi bukan merupakan asumsi memberi makan kepada laut. Jadi semuanya itu bukan ajaran Sunan Gunung Jati, mungkin tradisi-tradisi kerakyatan yang sudah ada sejak dulu atau agama terdahulu, kemudian oleh Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga berusaha untuk diislamkan.
Untuk Kasus sejarah Cirebon semacam ini, naskah yang paling tua merupakan karya seorang tokoh yang bernama Pangeran Wangsakerta. Beliau adalah adik dari Sultan Sepuh yang pertama. Sultan Sepuh mempunyai dua adik; Kertawijaya dengan Wangsakerta. Kertawijaya merupakan leluhur dari Keraton Kanoman. Wangsakerta yang dikenal dengan nama Panembahan Tohpati, tidak mempunyai putra. Pangeran Wangsakerta sekitar tahun 1620 mengadakan acara kumpul-kumpul yang diberi nama Gotrasawala. Yang dihadiri oleh utusan dari Cina, utusan dari Mesir, utusan dari Majapahit, utusan dari Sulawesi, utusan dari Arab dan masih banyak lagi. Masing-masih dipersilahkan untuk presentasi tentang daerah masing-masing. Semua cerita tersebut terkumpul dari tahun 1620, dalam naskah yang diberi judul Carita Raja-raja Ing Bumi Nusantara.
Kemudian dari semua cerita tersebut, yang menjadi lokalitas Cirebon terkumpul dalam naskah yang dinamai Negara Kerta Bumi.
Hanya saja yang menjadi persoalan, mengapa sejarah Cirebon tidak diakui oleh para sejarawan nasional?
Karena tidak adanya bukti-bukti, prasasti, artefak dan lain sebagainya yang bisa dijadikan bukti otentik. Semua naskah dan lain sebagainya yang bercerita tentang Cirebon dan raja-raja nusantara itu, ditulis di atas kertas yang oleh kalangan sejarawan dikenal dengan nama kertas Walanda. Kertas Walanda itu adalah kertas yang dibuat pada jaman Belanda. Ceritanya tentang tahun 1620 tapi kertasnya adalah kertas pada jaman Belanda? Sedangkan Belanda merupakan sejarah kekinian. Sementara dalam naskah-naskah tersebut tidak tercantum nama penyalin. Sementara acara Gotrasawala ini yang dihadiri oleh beberapa orang dari berbagai daerah, terkumpulkan dari dokumen-dokumen penting tentang acara tersebut. Maka dari itu, jangan heran kalau di daerah-daerah lain sejarah Cirebon cukup diketahui.
Tentang komunitas kera yang ada di Kalijaga, menurut orang sekitar terbentuk menjadi dua kelompok. Yang satu penghuni tetap dan yang lainnya jahat. Kalau ada kera lain yang memasuki daerah Kalijaga, oleh kera sekitar diusir. Memang katanya dibagi dua, sehingga mereka suka memperebutkan daerah tersebut. Kalau raja-rajanya kalah, para betina akan diperkosa dan para pejantan dijadikan budak oleh pihak yang menang. Kemudian yang terjajah tersebut, akan mencari minoritas lagi.
(Berdasarkan transkrip perbincangan bersama Akbar ‘Amparanjati’ oleh Syaiful Anwar)
Penjelasan tersebut terlontar karena banyak hal yang harus ditelaah ulang, seperti tentang asal-muasal dari sunan Kalijaga yang meliputi kesejarahan dan biografi peranan beliau dalam syiar islam di tanah Jawa, terutama Cirebon. Situs Petilasan Sunan Kalijaga menjadi salah satu bahan materisasi festival karena keberadaan acara tersebut di sekitar jalan Kalijaga, sehingga materi tersebut sangat diperlukan.
waahhhhhhhhhh……………….sukses yah……….
mantab mas, ingin sekali saya merapat kesana… ajarin main Rampak Karinding
teman – teman padang panjang nanti kalau mau bergabung, di tunggu bersama kami di jaga kali art festival II insaallah di bulan april.salam budaya
terima kasih sekali untuk kawan-kawan di Padang Panjang..
Kami doakan Sukses pula untuk kawan-kawan di sana..Amin
sampai berjumpa kawan
Salam,
“selamat” buat kawan-kawan yang nun jauh disana tetapi dekat dihati
wahhhhhhhhh…………..
keren’naaaaa
mau ikut dunkk……..
sukses yuph, Luph all. 😉
waah..
ga nyangka deket rumahQuw da ‘permata tersembunyi’..
hihi..
smogga acra’a success yua..
Agh..karinding! dulu waktu gw lagi survei ke rumah kang mufid, pengrajin serat di daerah Dago Pojok di Bandung, gw ktmu temannya yang juga lagi berkunjung. Terus kebetulan dia lagi bawa karinding dan kmudian dia mainkan itu alat. Gw kaget juga, itu pertama kalinya gw lihat dan dengar alat musik tradisionalnya jawa barat selain angklung, suling, sama kecapi. Suaranya kedengerann “tribal” bgt di kuping gw.
Hehehe..makasih buat tulisannya, gw jadi pngn liat karinding lagi..
denger-denger monyet di kali jaga sudah dari abad 17 dan sampe sekarang masih ada dengan jumlah yang sama.padahal mereka berkembang biak..pada kemana ya…saya curiga mereka jadi anggota gardu unik
Alus Lah…
“..Menurut versi para sejarahwan nasional, Fatahilah dan Sunan Gunung Jati merupakan satu orang yang sama..”
Adalah versi sejarah lama yg sudah dibantah dalam buku Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten)(1913)oleh Hoesen Djajadiningrat, dan telah diterima oleh sejarahwan.
Wass.