Darivisual Kecamatan: Senen Kota: Jakarta Pusat Provinsi: DKI Jakarta Proyek: akumassa Ad hoc

Perempuan Pondok Kaleng

Foto: Mama Kobra
Avatar
Written by Otty Widasari

Otty Widasari pada proyek fotografi Auviar Rizky Wicaksanti


Setiap lokasi pasti punya kisahnya sendiri, yang unik, menarik, atau bisa jadi aneh. Kalau kita rujuk konsep lokasi itu pada Kota Jakarta, kisahnya akan banyak sekali. Lalu, jika kita persempit lagi lingkup lokasi tersebut, di Jalan Kramat Sawah III, Kelurahan Paseban, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, misalnya, masih saja terlalu banyak kisahnya. Jadi, mari kita tunjuk sebuah sudut di Paseban itu, yang bernama Pondok Kaleng. Kita akan mendapatkan kisah tentang para perempuan yang dalam kesehariannya menjadikan kegembiraan sebagai bentuk katarsis dari kehidupan yang penuh tekanan, di samping kisah-kisah lainnya, tentu saja. Suami yang tidak bekerja, menjadi istri simpanan, terabaikan, tekanan ekonomi, deraan kanker, dan lain sebagainya.

Foto: Mama Kobra

Foto: Mama Kobra

Auviar Rizky Wicaksanti memilih Pondok Kaleng sebagai lingkup kerja penelitian visualnya dalam proyek akumassa Ad Hoc dalam rangka Jakarta Biennale 2013. Kedekatannya dengan Mama Kobra, seorang perempuan tangguh dengan latar belakang yang sungguh berwarna, membawanya pada kehidupan para perempuan di Pondok Kaleng.

Tentang Lokasi

Pondok Kaleng adalah sebuah kampung di Jalan Kramat Sawah, Kelurahan Paseban, yang dulunya penuh dengan bebunyian kaleng di tiap-tiap rumah warga. Warga yang sebagian besar adalah pengrajin kaleng biasanya membuat plat nomor sepeda motor, kerangka kompor, loyang kue, atau pun sekadar reparasi peralatan rumah tangga. Secara demografis, mayoritas penduduk Pondok Kaleng awalnya adalah pendatang yang berasal dari Citeureup, Jawa Barat. Di daerah asalnya, mereka bekerja sebagai pengrajin kaleng, kemudian hijrah ke kota dengan tujuan untuk meningkatkan laba usaha. Jakarta dianggap sebagai pusat usaha yang akan membawa nasib baik bagi kehidupannya. Bidang usaha bermateri dasar kaleng atau alumunium itu pernah mengalami masa jayanya dulu. Namun, kini situasi sudah tidak lagi sama, menurut pengakuan Pak Ukon yang sempat diwawancarai oleh Auviar dan Zikri. Selain disebabkan oleh perkembangan teknologi industri yang lebih memaksimalkan tenaga mesin, faktor lainnya adalah karena banyak para ‘pekerja kaleng’ yang tidak mewarisi kepiawaian dan lahan usahanya kepada keturunan mereka sehingga orang-orang yang mengerti kerajinan tangan kaleng semakin sedikit.

Tentang Proyek Fotografi

Di masa kini, hanya sedikit bengkel kaleng yang masih aktif mengerjakan beberapa bidang pekerjaan berbahan dasar kaleng dan alumunium. Yang lebih terlihat dalam keseharian di Pondok Kaleng adalah aktivitas luar rumah para ibu-ibu yang kerap nongkrong di sebuah gardu jaga, berwarna merah jambu, untuk mengobrol dan berbagi perkawanan di sana. Bisa dilihat secara kasat mata, sehari-hari warga di pemukiman padat ini memang kerap menghabiskan waktu mereka di luar rumah. Diasumsikan, bisa jadi karena kondisi rumah yang sempit didiami oleh banyak orang yang kadang terdiri dari beberapa kepala keluarga yang masih memiliki hubungan keluarga. Banyak juga keluarga kecil yang tidak mengontrak rumah yang layak untuk mereka, melainkan menyewa kamar kos yang hanya berupa satu ruang persegi empat dan melakukan semua aktivitas rumah tangga di sana.

Foto: Bu Ida

Foto: Bu Ida

Foto: Mama Kobra

Foto: Mama Kobra

Foto Bu Titin

Foto Bu Titin

Foto: Mama Kobra

Foto: Mama Kobra

Ada hal menarik menurut Auviar, yang dia temukan dalam kehidupan para perempuan di Pondok Kaleng. Kumpulan mereka begitu eratnya seperti sebuah komunitas khusus, dan demikian intim. Tiap orang megetahui kisah dan perasaan yang paling pribadi milik lainnya. Keeratan ini berada dalam pengaruh besar sosok Mama Kobra, sebutan bagi seorang perempuan usia setengah abad yang memiliki nama asli Titin. Entah kenapa julukan Mama Kobra melekat pada dirinya. Mungkin orang sering salah duga pada bentuk tato naga di punggung kirinya yang menyembul dari balik baju, sebagai gambar ular kobra. Tapi, tak masalah dari mana asal usul julukan tersebut, perempuan ini memang memiliki sosok yang kokoh dan garang. Bisa juga dicurigai ganas dan beracun, seperti kobra, dalam upaya pertahanan diri. Gesturnya menunjukkan sikap berkuasa, namun sekaligus melindungi teman-temannya. Selain itu, dia juga memiliki lingkaran sosial yang lebih luas seperti memiliki teman dekat yang tentara, bekerja sebagai tim sukses beberapa calon gubernur Jakarta, dan juga ada kabar bahkan Mama Kobra dulu sekali pernah bermain di wilayah peredaran narkoba. Semua ibu-ibu di situ bergantung pada dirinya. Sebagai tempat mencurahkan isi hati, meminta pertolongan, sampai membantu merawat anak-anak mereka. Pada Mama Kobra juga mereka meminjam modal usaha dengan kredit berbunga. Yang terakhir tentu saja merupakan sumber penghasilan Mama Kobra untuk hidupnya sendiri. Intinya, Mama Kobra memberikan semua yang dibutuhkan para perempuan di Pondok Kaleng hingga ke titik limit dan bergantung kepadanya. Hal ini menimbulkan kesan ketiadaan peran laki-laki dalam kehidupan para perempuan-perempuan ini. Peran para suami yang menganggur atau entah di mana, seperti tergantikan oleh sosok Mama Kobra, ‘mama’ milik semuanya.

Dalam sebuah pesta musik dangdut ditemani dengan anggur merah, sambil berjoget sempoyongan, Mama Kobra berteriak, “Semuanya bisa diatasi selama ada siapaaa??” Dan para perempuan yang juga ikut berjoget asyik di gardu merah jambu menyambut serentak: “MAMA KOBRAAA!!”

Foto: Mama Kobra

Foto: Mama Kobra

Foto: Mama Kobra

Foto: Mama Kobra

Foto: Mama Kobra

Foto: Mama Kobra

Foto: Mama Kobra

Foto: Mama Kobra

Saat Auviar meminta para perempuan di Pondok Kaleng, termasuk Mama Kobra, untuk melakukan aksi pemotretan tentang keseharian mereka dengan menggunakan kamera telepon genggam yang juga sudah menjadi keseharian mereka, hasilnya sungguh mengejutkan. Apa yang ditangkap sebagai hal penting bagi para perempuan ini adalah tongkrongan mereka, teman-teman mereka, usaha warung kecil-kecilan yang mereka jalani, anak-anak dan cucu-cucu mereka, dapur mereka… tak satu pun obyek ambilan gambar yang mengindikasikan kehadiran laki-laki atau pasangan hidup mereka. Hanya satu kali sosok suami muncul dalam gambar-gambar itu, dan itu pun dalam bingkai foto yang terpajang di dinding bersama fotof-foto keluarga lainnya. Sosok suami jadi bias karena bingkaian tersebut didominasi oleh ruang kamar dengan dinding penuh foto anak dan kalender. Dia hanya menempati satu bidang kecil sekali dari keseluruhan permukaan bingkaian.

Foto: Bu Nengsih

Foto: Bu Nengsih

Foto: Bu Evi

Foto: Bu Evi

Foto: Bu Indrawati

Foto: Bu Indrawati

Foto: Bu Herawati

Foto: Bu Herawati

Jika saja kenyataan yang didapat dari hasil tangkapan gambar yang diproduksi oleh perempuan-perempuan itu dipertanyakan, kemana para laki-laki dalam kehidupan perempuan di Pondok Kaleng? Maka, bisa jadi pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab, karena pada kenyataannya juga para laki-laki di sana sebagian besar memiliki peran kecil, terutama dalam bidang perekonomian rumah tangga. Dan foto-foto yang dibuat oleh Mama Kobra tidak kalah mengejutkannya. Sama seperti para perempuan lainnya, dia juga menganggap penting perkawanan mereka, tempat berdiam mereka serta apa yang ada di dalamnya. Namun, lebih mengejutkan lagi, dari foto-foto milik Mama Kobra, bisa dilihat bagaimana kekuasaannya mampu masuk ke dalam ruang paling privat milik teman-temannya. Ada foto salah satu ibu sedang memandikan anaknya di kamar mandi, ada pula foto teman-temannya yang sedang bersenda gurau di atas kasur di dalam kamar. Hal-hal intim ini tidak tertangkap dalam foto-foto karya perempuan yang lain. Suatu hal lagi yang jelas terlihat, bagaimana Mama Kobra mampu menggantikan peran para lelaki bagi para perempuan ini, tangkapan gambar yang dihasilkan melalui kamera telepon genggamnya menunjukkan dia begitu peduli pada kehidupan teman-temannya.

Foto: Bu Yeni

Foto: Bu Yeni

Foto: Bu Nama

Foto: Bu Nama

Foto: Bu Siti

Foto: Bu Siti

Foto: Mama Kobra

Foto: Mama Kobra

Proyek fotografi tentang perempuan di Pondok Kaleng yang diinisiasi oleh Auviar menggambarkan definisi yang lain tentang peran perempuan di dalam masyarakat Indonesia. Agaknya, ada sebuah gagasan mengenai ranah domestik yang tak lagi dilihat sebagai bentuk subordinasi terhadap perempuan karena lingkungan bertetanggaan yang padat tersebut membawa peluang bagi mereka, yang tinggal saling bersebelahan satu sama lain, untuk berbagi pengalaman dan cerita dalam kesehariannya. Hilangnya posisi dan peran penting laki-laki sebagai tulang punggung keluarga menjadi semacam bentuk emansipasi di bawah alam sadar yang tumbuh secara organik, bahwa perempuan juga memiliki caranya sendiri untuk bersenang-senang. *


Tulisan ini sudah dimuat di dalam Jurnal Akumassa Ad Hoc, berjudul “Seni di Batas Senen” (Forum Lenteng, 2013). Jurnal tersebut merupakan salah satu karya hasil kolaborasi para penulis dari beberapa komunitas yang terlibat dalam proyek akumassa Ad Hoc yang diinisiasi oleh Program akumassa Forum Lenteng, dalam rangka berpartisipasi dalam Jakarta Biennale 2013 – SIASAT.

About the author

Avatar

Otty Widasari

OTTY WIDASARI adalah seorang seniman, penulis, sutradara, dan kurator. Saat ini, ia menjabat sebagai Direktur Program Pendidikan dan Pemberdayaan Media (AKUMASSA) di Forum Lenteng.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.