Lalu, setelah menjadi pungguk yang merindukan bulan, tiba-tiba saja aku tertimpa durian runtuh. Berbulan-bulan mengharapkan sebuah perjalanan menyenangkan ke kota Yogyakarta, akhirnya datang juga rejeki yang terduga. Tiga temanku di Forum Lenteng lolos seleksi dan karya mereka mendapat kesempatan dipajang manis di sebuah perhelatan kesenian yang sangat bergengsi, ‘ARTJOG 2012’. Antusiasku meletup, tentu saja. Pertama, karena aku akan ikut menyambangi kota impianku. Kedua, karena kedatanganku nanti tidak hanya sekedar menyalurkan kerinduan terhadap nyonya besar ngayogyakarta, tetapi juga turut melebur dalam perhelatan kesenian yang di dalamnya terdapat karya teman-temanku, di mana karya-karya itu membagi pengalaman artistik yang unik dan eksklusif. Ketiga, tentu saja karena aku akan mendapakan pengalaman yang luar biasa dan spesial! Teman-temanku yang karyanya lolos itu adalah Hafiz, Mahardika Yudha dan Andang Kelana. Kami akan berangkat berombongan dengan Otty Widasari, Lulus Gita Samudra, Dian Komala serta Bodas Rancajale. Tapi Andang Kelana harus absen, karena sedang menjalani proyek residensi di Korea Selatan.
Dengan perasaan menggebu aku pun menjemput Yogyakarta-ku.
Taman Budaya Yogyakarta, 14 Juli 2012
Aku terhenyak takjub begitu kaki melangkah masuk ke gerbang Taman Budaya Yogyakarta. Bagaimana tidak, bangunan yang terakhir kali aku kunjungi tahun kemarin itu kini telah berubah ‘kulit’. Di halaman gedung terdapat gajah raksasa berwarna putih yang terkulai di atas gundukan butir-butir kelapa. Sedangkan di fasad dan area pintu masuk, disulap menjadi ‘area bambu’ di mana bambu-bambu berderet menjulang dan membuat kita seolah-olah memasuki istana bambu. Dua karya ini merupakan comission work dari dua seniman kontemporer Indonesia yang dianggap memiliki karakteristik yang unik dalam proses kreatifnya, yaitu I Made Widya dan Joko Dwi Avianto. Satu seniman comission work lainnya adalah Angki Purbandono yang mendekor ulang TBY menjadi taman hantu (oh, tentu saja, semua informasi ini aku dapatkan dari katalog yang sebelumnya sudah aku kantongi). Aku memutari gajah terkulai itu sebanyak dua kali, mencoba menebak apa maksud dari karya ini. Kenapa harus gajah? Kenapa harus terkulai? Kenapa harus di atas kelapa-kelapa yang menggunung dan tidak di atas tiruan marsmallow yang kelihatan lebih manis? Sebagai penikmat visual tentu saja aku akan berdecak kagum dengan karya seni ini. Tapi sungguh, arti dan maksud dari karya ini aku masih menebak dan meraba. Tapi seru juga bermain imajinasi dengan si gajah ini.
Seseorang yang juga sedang mengamati disampingku, bergumam pada temannya, ”Yang ini namanya karya tiga dimensi. Nah kalo yang bambu itu namanya karya instalasi…,” dan secara tak sadar aku pun ikut mengangguk-angguk bersama temannya yang digumaminya tadi.
Pukul delapan malam, giliran pembawa acara yang mengalihkan semua perhatian pengunjung. Pembukaan acara ini tak beda dengan pembukaan perhelatan seni lainnya, dengan rangkaian kata sambutan dari tokoh-tokoh sentral acara ini, seperti kurator, seniman dan sebagainya. Sebenarnya aku tidak terlalu memperhatikan, karena menurutku sesi pembukaan ini cukup panjang dan bertele-tele. Ketika akhirnya pembawa acara mempersilahkan para pengunjung untuk masuk, aku pun langsung sumringah. Namun belum juga satu meter mendekati pintu masuk, kumpulan orang-orang yang berdesakan untuk masuk membuat tekadku sedikit surut. Bagaimana tidak? Untuk memasuki gedung itu membutuhkan waktu agak lama dengan mengantri dan berdesak-desakkan! Untuk mengalihkan rasa kecewa dan sedikit tidak sabar, aku pun menunggu berkurangnya antrian itu dengan menyaksikan pertunjukkan musik yang disuguhkan sebagai acara hiburan. Nama kelompok musik itu Sinten Remen. Mereka bernyanyi dan melempar komedi yang sebagian besar menggunakan Bahasa Jawa. Walaupun aku tidak terlalu bisa menangkap arti, tapi aku ikut tertawa untuk mengobati rasa tidak sabarku memasuki gedung.
Setelah setengah jam menyaksikan hiburan itu sembari menunggu, aku pun memutuskan untuk ikut mengantri saja. Sebenarnya aku bisa datang esok hari karena pameran ini digelar dari tanggal 14 Juli sampai dengan 28 Juli 2012. Tapi karena aku ingin merasakan euforia pembukaan, maka aku pun memaksakan untuk ikut mengantri. Akhirnya dengan strategi menyelusup ala belut aku pun bisa dengan mudah muncul di barisan terdepan. Tapi jangan kira aku menyelak, karena bentuk antrian ini bukan berbaris rapi tapi berdesak-desakkan berantakan. “Oke, selanjutnya masuk!” Seru penjaga keamanan di dekatku. Aku pun dengan senyum lebar dan jumawa melangkahkan kaki memasuki gedung. Senang karena akhirnya bisa masuk tanpa harus antri lama-lama. Tapi aku tidak boleh sombong dengan orang-orang di belakangku yang masih banyak mengantri. Maaf, ya, Teman-teman…
Wooow, aku menyaksikan pameran karya seni di Yogyakarta!! Ingin rasanya aku berteriak begitu ke orang-orang di sekelilingku sambil salto. Tapi, daripada dianggap norak dan diseret petugas, maka aku hanya bisa meredam letupan antusiasku dengan senyum-senyum sendiri dan menikmati suguhan visual di depanku. Total karya yang dipamerkan di sini adalah 224 karya dari 154 seniman yang berasal dari berbagai kota. Terdapat pula seniman internasional seperti Wil Devoye (Belgia) dan Ashley Bickerton (USA, sekarang di Bali). Dua seniman ini adalah seniman undangan. Untuk karya Ashley Bickerton ini, merupakan salah satu karya favoritku. Kenapa favorit? Karena seniman ini menggunakan mix media (menggabungkan teknik cetak digital, akrilik, cat minyak, cat air, dan batu koral, yang diaplikasikan di atas media ply-laminate wood ) pada lukisannya dan terlihat keren dalam tangkapan visualku.
Di dalam gedung aku diajak ngobrol oleh salah seorang pengunjung juga, namanya Tyo, ia orang asli Yogyakarta dan sudah mengikuti perhelatan ini sejak ARTJOG pertama, tahun 2010. Sambil melihat satu persatu karya seni, kami mengobrol a la orang profesional yang sedang menikmati seni. Ia berpendapat, kalau karya yang dipamerkan di ARTJOG kali ini menurutnya lebih ‘nge-pop’ dari ARTJOG sebelumnya. Dan tema yang diusung yaitu ‘Looking East – A Gaze upon Indonesia Contemporary Art’, adalah tema yang menurutnya sangat sesuai karakter di sini. Aku menangkap dengan cepat maksud dari tema itu tentu ‘mencari identitas ketimuran’, bukan? Melalui katalog yang kubaca itu sendiri dijelaskan tema kuratorial ini diharapkan bisa melihat dengan lebih jeli apa yang sedang berlangsung di kawasan timur dunia, terutama di Indonesia. Tidak saja bagaimana bangsa barat melihat timur, namun juga kita sebagai orang timur membaca ulang dan memposisikan diri di tengah perkembangan yang terjadi di dunia timur dan hubungannya dengan situasi global sekarang. Beberapa kutipan dari tokoh kesenian barat pun menunjukkan ungkapan bangsa barat dalam memandang persoalan seni rupa di dunia timur. Jika melihat dari inti kutipan tersebut aku menyimpulkan bahwa dunia seni rupa timur tetap menjadi hal yang menarik bagi bangsa barat. Maka tema yang diusung kali ini memang menurutku cukup merepresentasikan tentang pencarian sebutir dunia timur. Tapi walaupun begitu, aku tetap tidak mengerti identitas ketimuran apa yang bisa ditangkap olehku dari karya-karya seni ini? Apakah kelapa yang ditiduri si gajah terkulai tadi dapat merepresentasikan eksotisme ketimuran? Ataukah bambu-bambu itu? Ataukah jika dilihat di luar karya-karya tersebut, menunjukkan bahwa seniman-senimannya adalah orang-orang timur? Tapi semua itu hanya sebatas lewat karena tujuanku ke sini bukan untuk mencari isu berat dari tema dan karya seninya, melainkan ‘pure’ sebagai pengunjung dan penikmat seni. Lagipula di luar itu semua tentu saja art fair ini tetap menjadi bursa jual beli karya antara seniman dengan kolektor.
Aku mengelilingi gedung searah jarum jam, melihat satu persatu bentuk karya dan nama para pembuatnya. Berbagai warna dan bentuk memenuhi selaput pelangi mataku. Lukisan, intalasi, tiga dimensi, video, grafis, fotografi, multimedia, atau yang lainnya semua memenuhi rongga-rongga sum-sum penasaranku. Beberapa nama seniman terlihat tidak asing di mataku. Aku merespon karya-karya seni itu dengan anggukan, sipitan mata, kening berkerut, tangan di dagu atau garukan di kepala. Kadang juga dengan mata yang membelalak karena takjub, atau juga dengan gumaman ‘Hah, gue juga bisa kalau gini doang, mah!‘ sebagai bentuk respon visual subyektif dari penikmat seni yang sok tahu. Kadang-kadang aku juga jahil dengan diam-diam menyentuh karya seni yang tidak boleh dipegang karena aku pasti gatal untuk tidak menyentuhnya. (Yang satu ini tolong jangan ditiru ya ketika memasuki pameran manapun). Tak lupa aku juga menatap dengan terharu dan bangga ketika melihat karya teman-temanku yang juga ditatap kagum oleh pengunjung lain. Ingin rasanya berteriak dengan girang pada mereka, ‘Eh, ini karya temen gue, loh!’. Satu persatu karya-karya itu aku pelototi.
Terlepas dari segala deskripsi tentang kesenian kontemporer itu yang bisa membuat otakku berkedut-kedut, sebagai pengunjung dan penikmat seni semua ini sudahlah cukup memanjakan mataku. Bukankah karya seni itu memang untuk dinikmati?