Kali ini kami diajak bekerjasama dengan sebuah organisasi yang didirikan pada Oktober tahun lalu, bernama Orange House Studio (OHS). Organisasi ini dikelola didirikan oleh seorang arsitek/seniman dari Jepang dan tiga profesional lokal dari bidang desain yang berbeda. Mereka mempunyai beberapa program pada tiga kampung di Surabaya. Yaitu Kampung Lemah Putro, Kampung Tambak Bayan, dan Kampung Plampitan. Di Kampung Plampitanlah acara pemutaran video akumassa Surabaya digelar sekaligus pameran.
“Selamat datang di kampung Plampitan,” begitulah sambut mereka. Kami pun merasa nyaman di sana walaupun menurutku suasana sedikit sepi. Acara seperti ini cukup menarik karena pengunjung sangat beragam dan warga kampung juga ikut berpartisipasi di dalamnya. Sebelum video kami diputar, rekan saya Aditya Adinegoro menjelaskan tentang Komunitas Kinetik dan akumassa. Namun, karena terbatasnya waktu, maka perkenalan kami tidak maksimal, video pun segera kami putar. Aditya Adinegoro dan saya memperkenalkan tentang akumassa dan Komunitas Kinetik.
Video pertama yang kami putar yaitu Alkisah di Ampel, kemudian disusul video Poo Tai Hie. Setelah itu kami sedikit me-review hasil video tersebut dan diskusi pun berlangsung. Banyak yang tertawa ketika menonton video tentang Kampung Wisata Religius Sunan Ampel tersebut, dan banyak pula yang bertanya soal pengalaman kita ketika membuat video tersebut. Situasi semakin seru karena sambil menonton video, kita bisa memesan hidangan bakso dan tahu petis yang tersedia, selain itu kita bisa minum kopi secara gratis.
Setelah ngobrol santai, akhirnya kami memutuskan untuk memutar dua video berikutnya. Namun ternyata sebelum video selanjutnya kami putar, ada permintaan dari salah satu warga setempat untuk memutar kembali video Alkisah di Ampel diputar kembali. Tanpa sungkan-sungkan ibu itu berteriak, “ Mas, video tadi (Alkisah di Ampel-Red) diputar lagi dong? Mumpung kita masih belum ngantuk,” ujarnya sambil tertawa.Namun sesuai rencana awal kami langsung memutar dua video selanjutnya, yaitu Kesepakatan Sentolop dan yang terakhir adalah Irama Budaya. Tidak kalah menarik, karena dua video ini menjadi perbincangan yang cukup lama antara kami dan para penonton. Banyak yang bertanya soal keunikan video Kesepakatan Sentolop yang biasa kami sebut pasar senter tersebut, lalu Kenta Kishi, salah satu pendiri OHS, bertanya soal Irama Budaya. Beliau sangat tertarik dengan video tersebut dan ingin sekali menonton secara langsung pertunjukan ludruk asli Jawa Timur tersebut.Kenta Kishi, salah satu pendiri OHS, bertanya mengenai video akumassa Irama Budaya.
Selain itu, kami kedatangan juga Mas Handoko selaku bagian dari ludruk Irama Budaya yang kebetulan aku undang untuk menonton. Beliau juga sempat menjelaskan sedikit soal ludruk dan alasan mengapa rata–rata pemain ludruk terdiri dari waria. Dari penjelasannya, penonton, khususnya warga, menjadi lebih tahu tentang ludruk dan keterlibatan waria di dalamnya.
Dari obrolan warga yang aku simak, mereka sangat tertarik dan meminta kami untuk memutar video–video lainnya. Akhirnya diskusi pun selesai dan sebagian besar warga beranjak pulang karena hari pun telah larut malam.
Selain warga ada pula kalangan akademisi maupun pemerintahan yang ikut hadir dan larut dalam acara tersebut. Mulai dari dosen, pegawai pemerintahan, hingga mahasiswa dan anak–anak . Ini menunjukkan bahwa medium video bisa melebur ke masyarakat segala umur, selama kita bisa memanfaatkan medium ini sebaik mungkin. Dan semoga dengan hal kecil ini kita bisa memberikan tontonan alternatif bagi mereka, khususnya warga Kampung Plampitan.
Saya ikut muter-muter juga sama OHS… ini laporannya 🙂 http://sibair.net/merasa-tapi-mati-rasa.html
buset, gue merinding (semangat) baca narasi akumassa yang ini.. Mantep! lanjut, Kinetik!
🙂