***
Sedikit menilai jalannya pemutaran, jujur saja, kegiatan yang berlangsung hari itu belum berjalan dengan sempurna. Dari segi teknis, terlihat kurang adanya kesiapan dari penyelenggara, baik itu Komunitas Lensa Massa maupun dari Komunitas Suburbia. Salah satunya ialah kesiapan audio yang kurang memadai. Selama pemutaran berlangsung, suara kresek-kresek dan dengung melengking yang berasal dari microphone yang didekatkan ke speaker laptop menjadi penyebab ketidaknyamanan dalam menonton. Jelas, ketidaksiapan ini menjadi kritik bagi kami penyelenggara acara pemutaran. Semoga hal seperti itu tidak terulang lagi di kegiatan pemutaran berikutnya.Satu setengah jam sudah berlalu. Lampu kembali dinyalakan, dan sesi diskusi pun dimulai. “Ayo, buat yang terlibat di balik layar silahkan maju ke depan,” salah satu anggota Lensa Massa berseru, mempersilahkan para pembuat video, yang merupakan anggota Komunitas Suburbia, maju ke depan ruangan untuk mempresentasikan secara lebih jauh terkait dengan proses pembuatan video akumassa Depok dan pembahasan isu-isu yang ada di dalam karya tersebut.
Aku, Lulus, Ageung, Barjow dan Jayu pun maju satu per satu untuk memperkenalkan diri. Awalnya, aku merasa canggung berada di hadapan mahasiswa dan mahasiswi UI, namun setelah aku memperkenalkan namaku dan menceritakan sedikit tentang latar belakangku, perasaan itu pun segera sirna.
Berbagai macam pertanyaan timbul dari para calon sarjana itu, seperti bagaimana cerita di balik layar, bagaimana cara memilih isu hingga pertanyaan-pertanyaan seputar konsep tentang akumassa itu sendiri. Menariknya, ada sebuah pertanyaan yang cukup kritis, menurutku. Salah seorang penanya memperkenalkan dirinya bernama Batara, barasal dari Komunitas FIKTIF—komunitas yang juga giat dalam kegiatan diskusi dan produksi filem di kalangan mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI. Ia meminta penjelasan tentang video yang berjudul Suara Depok. “Pada video Suara Depok, kalian dibayar berapa sama iklan? Maaf, karena saya melihat begitu banyak iklan filem di video itu.”
Pertanyaan itu dengan sigap dijawab oleh anggota Suburbia secara bergantian. “Jujur saja, kami tidak dibayar sama sekali, dan kami memang tidak ada berniat untuk mempromosikan studio yang menjadi lokasi di mana isu itu muncul,” aku mencoba menjelaskan. “akan tetapi, di dalam video Suara Depok, kami menangkap dan menyajikan visual dari masyarakat apa adanya. Ketika kita berjalan di Jalan Margonda, dan mendengar suara radio yang sangat kencang, kemudian melihat ke arah sumber suara, visual itu lah yang kita lihat. Dengan kata lain, dalam video ini kami menghadirkan hasil pandangan dari mata massa itu sendiri sesuai jalur sirkulasinya.”
Diskusi berlangsung selama lebih kurang tiga puluh menit. Keseluruhan acara itu berakhir sekitar pukul enam sore. Sebenarnya, masih banyak pertanyaan dari teman-teman mahasiswa yang hadir. Namun, karena sepertinya sudah ada sinyal dari petugas, yaitu hidup-matinya lampu ruangan, maka kegiatan tersebut, dengan berat hati, mau tidak mau harus ditutup. Satu per satu orang-orang pun meninggalkan ruangan.
Kegiatan itu menjadi pengalaman tersendiri bagi Komunitas Suburbia. Rencananya, Komunitas Suburbia akan terus melanjutkan jaringan pertemanan dengan Komunitas Lensa Massa ini dalam bentuk pengerjaan semacam proyek bersama untuk memproduksi karya video atau filem. Aku berharap, semoga rencana ini dapat terwujud.
Semangat terus buat Suburbia!!! Zik foto lw sotoy bgt, ahhahah
yoi.. haha
Keep spirit.. Selamat mencerdaskan kehidupan bangsa.. ;D
Thanx Albert, dukungannya sangat berarti buat kami 🙂
cieeeeee…… sukses yaa buat suburbia
negeri ini butuh nurani,Sukses terus buat semuanya…terus ciptakan semangat,kreatifitas dan terus berkarya,,