Untuk presentasi ini, dibuka oleh Hafiz yang menerangkan latar belakang pembuatan Dongeng Rangkas. Pada kesempatan ini juga diperkenalkan para sutradara yang hadir yaitu; Andang Kelana, Syaiful Anwar dan Hafiz. Fuad Fauji dan Badrul Munir berhalangan hadir, karena masih sibuk mengurus presentasi di Lebak-Banten dan persiapan mereka berangkat ke DMZ Korean International Documentary Film Festival pada 22-28 September 2011.
Setelah pemutaran, diadakan diskusi santai dengan para sutradara, Komentar pertama disampaikan oleh Aryo Danusiri (kandidat Ph.D, di Harvard dan sutradara dokumenter) yang menyampaikan kesannya yang menarik tentang filem yang berdurasi 75 menit ini. Aryo mengatakan sangat suka cara Dongeng Rangkas mengkonstruksi cerita menjadi sebuah kesatuan yang utuh. Dalam bahasa Aryo, ia mengatakan penggunaan bahasa yang “flat” pada gaya tutur filem ini, membuatnya menjadi sangat menarik. Dalam tradisi filem dokumenter, sering sebuah ide dan tema dikonstruksi berdasarkan muatan sosial politik dibelakangnya. Namun, menurut Aryo, Dongeng Rangkas melepaskan beban itu dengan menyederhanakan pesan dengan permainan visual yang sangat menarik.
Hafiz yang menanggapi pernyataan Aryo diatas mengatakan, bahwa bahasa “flat” itu merupakan bagian dari usaha Forum Lenteng menghadirkan eksperimentasi dalam merekam persoalan/informasi di masyarakat. Visual-visual itulah yang di konstruksi ulang untuk menjadi sebuah pesan sosial dalam kaidah-kaidah bahasa sinema. Bagi Hafiz, eksperimentasi ini bukanlah hal yang baru. Karena Dongeng Rangkas dengan sadar mengikuti kaidah-kaidah yang ada dalam bahasa sinema.
Penanya kedua —seorang perempuan muda— yang mengatakan baru pertama kali datang ke Kineforum dan kebetulan ada filem Dongeng Rangkas. Ia sangat terhibur menonton filem ini, karena sangat segar dalam mengemasnya dan penuh komentar-komentar yang menggelitik penonton. Penonton yang lain menyampaikan kesannya pada pilihan merekam “tukang tahu” di Rangkasbitung. Baginya persoalan tahu adalah memori masa kecilnya. Ia sering diceritakan oleh ayahnya (kebetulan asli Rangkasbitung), yang pada waktu masih muda menjadi penjual tahu di kereta ekonomi. Sebelumnya, cerita itu baginya hanyalah cerita. Namun, setelah menonton Dongeng Rangkas, ia menjadi teringat cerita ayahnya dulu, dan menjadi ‘sesuatu’ yang penting untuk ia ceritakan kembali ke orang tuanya.
Pada sesi lain ada yang bertanya; Kenapa hanya dua orang tukang tahu yang dipilih untuk filem ini? Kenapa tidak profesi lain?
Syaiful Anwar menceritakan latar belakang pilihan tema tukang tahu ini. Menurut Paul (panggilan Syaiful) pilihan ini bukan hanya tiba-tiba. Rangkasbitung merupakan kawasan penghasil tahu terbesar yang didistribusikan ke wilayah Jakarta. Memotret pabrik dan tukang tahu merupakan representasi Rangkasbitung itu sendiri. Andang Kelana juga menambahkan tentang pilihan dua orang ini, karena memang kami telah mengenal Iron sebelumnya. Namun, pada saat syuting di Rangkasbitung, Iron sakit. Kemudian muncul nama Kiwong yang dikenalkan oleh Badrul Munir yang merupakan kakak kandung dari Kiwong.
Pada bagian akhir, kesan para penonton hampir semuanya puas dan terhibur setelah menonton Dongeng Rangkas. Bagi mereka, ini adalah sebuah cerita menarik dan penuh muatan moral sekaligus menghibur.
Diskusi akhirnya ditutup dengan pernyataan Hafiz, “Marilah kita merubah filem Indonesia menuju kualitas yang lebih baik!”.