Suami Ibu Mawar tidak ikut ke TPS, begitu pula Si Abah, ayah ketiga saudari tersebut. Mereka tidak mendapat undangan mencoblos tahun ini. Entah kenapa.
Tiga anak perempuan Wak Pandan tak ada satu pun yang ikut. Sibuk dengan urusan rumah tangganya masing-masing, di samping tidak mendapatkan undangan pula. Sedangkan anak laki-laki Wak Pandan sedang kesandung masalah di pabrik tempatnya bekerja. Singkat kata, generasi muda dari keluarga tiga saudari ini yang ikut ke TPS hanya putri sulung Ibu Mawar yang berusia 24 tahun dan akan mencoblos untuk ke dua kali dalam hidupnya, dan menyusul kemudian anak perempuan Wak Padi yang juga berusia 24 tahun, namun sudah bersuami dan menenteng 2 anaknya yang masih kecil-kecil.
Satu rombongan mebaur dengan rombongan lain, massa pemilih di Kampung Sawah. Tiap rombongan beranggota sama. Kebanyakan orang-orang berumur; segelintir generasi muda; didominasi oleh ibu-ibu dengan anak-anak kecil. Udara di sekitar TPS riuh rendah dipenuhi ocehan ibu-ibu dan jeritan anak kecil bermain lari-larian.
Semua berdandan dengan pantas, memakai pakaian yang baik untuk berpergian keluar rumah, serta mengenakan bedak dan gincu. Anak-anak kecil gembira ria layaknya akan pergi ke taman hiburan. Warga Kampung Sawah sungguh menghargai acara limatahunan ini. Menganggapnya sebagai sebuah kewajiban sebagai warga, dan terus mereka penuhi tiap lima tahun sekali.
Sebuah ruang kelas di SD yang dulunya tempat ibu, anak dan cucu mereka sekarang bersekolah, disulap menjadi TPS, seperti juga tahun-tahun sebelumnya. Bagi anak sekolah, hari ini adalah sebuah jeda dari rutinitas belajar yang menjemukan. Sedangkan bagi para ibu-ibu dan bapak-bapak, ini adalah sebuah jeda dari keseharian, di mana selalu ada kebutuhan ‘liburan’ bagi semua orang yang memiliki rutinitas. Tepatnya, acara Pemileg ini adalah sebuah acara rekreasi.
Petugas yang mengurus TPS mengenakan seragam batik dan blangkon khas Jawa Barat. Tiga orang petugas berpakaian Hansip siaga melakukan tugasnya. Yang pertama berusia sekitar 60-an, berdiri di pintu masuk. Tugasnya mengambil surat suara yang telah ditandatangani oleh petugas untuk diberikan kepada pemilih terundang. Kemudian dia mengatur sirkulasi ruang tunggu agar tidak terlalu penuh. Kalau ruangan sudah agak sepi, dia akan menyuruh orang-orang di luar untuk masuk dan duduk di bangku tunggu. Ada beberapa pemilih yang enggan menunggu berdesakan di dalam ruangan, maka Si Hansip akan sedikit nyinyir, memaksa mereka untuk mengisi beberapa bangku tunggu yang masih kosong. Hansip ke dua, sudah bisa dibilang sangat tua, keriput di wajahnya menunjukkan itu, berdiri di dekat pintu keluar. Dia bertugas mempersilakan pemilih yang sudah nyoblos untuk mencelupkan jari ke botol tinta sabagai tanda sudah memilih, juga menyuruh mereka memperlihatkan jari yang berlumur tinta tersebut, kemudian mempersilakan keluar. Hansip ketiga berposisi mondar-mandir di luar ruangan pemilihan suara, antara pintu masuk dan pintu keluar. Tugasnya mengamati situasi. Usianya tampak sedikit lebih muda dari dua hansip sebelumnya. Masih terlihat lebih bugar, mungkin itu alasan dia bertugas mengamankan situasi di luar. Tapi seandainya ada kerusuhan di TPS ini, ketiga hansip tua tersebut belum tentu bisa menanganinya dengan baik.
Ada selembar kertas kardus yang tertempel di sebuah bidang di luar ruangan, yang tampaknya memang disediakan untuk media pembersih jari dari tinta. Setelah siang hari, lembar kertas kardus tersebut terlihat seperti sebuah karya lukisan abstrak dengan goresan acak tinta berwarna ungu. Bagus sekali.
Di sepanjang acara Ibu Mawar terus menerus menyatakan dirinya sebagai pendukung setia partai tertentu, walau tidak tahu alasan yang tepat mengapa demikian. Dia juga terus bercerita bahwa sejak pertama dirinya mengikuti Pemilu, selalu mencoblos partai tersebut walaupun tidak ada yang membayarnya.
Setibanya di TPS, rombongan tiga saudari langsung menyerahkan surat undangan bagi pemilih yang sudah termasuk ke dalam DPT kepada petugas, lalu duduk di bangku tunggu. Menunggu nama mereka dipanggil petugas untuk mencoblos.
Namun berbeda dengan suami Wak pandan. Entah mungkin karena terlalu banyak bengong memikirkan anak laki-lakinya yang sedang tersandung masalah di pabrik, dia masih menyimpan surat undangan di dalam saku kemejanya, kemudian langsung saja duduk di bangku tunggu. Tak ada yang memperhatikan kesalahan tersebut. Pun istrinya. Setelah semua nama dipanggil satu persatu untuk masuk ke bilik suara untuk memberikan pilihannya, suami Wak Pandan mulai celingukan karena tak kunjung dipanggil. Saat dia akhirnya mulai bersuara mengeluhkan perihal tidak dipanggil-panggil, barulah kerumunan mereka mulai berisik, kasak-kusuk. Kenapa bisa begitu? Kenapa bisa tidak dipanggil? Memangnya kemana surat udangannya? Meledaklah tawa rombongan tiga saudara saat mengetahui surat undangan masih tersimpan diam di saku kemeja. Ibu Mawar langsung menimpali, “Wah, sampai kiamat juga gak bakalan dipanggil!”
Suami Wak Pandan mencoblos belakangan, namun pulang paling duluan. Tiga saudari dan anak-anak perempuan mereka masih berkerumun di lorong depan kelas untuk ngerumpi. Topik obrolan memang panas tentang masalah anak laki-laki Wak Pandan yang tersandung masalah di pabrik. Informasi simpang siur keluar dari mulut para ibu-ibu yang tidak berhenti menyesali kejadian. Wak Pandan sangat gusar dengan kejadian ini. Beberapa pegawai mengaku mencuri beberapa lembar kaus. Tapi pabrik kehilangan ribuan kaus. Jadi beberapa pegawai pabrik terus diinterogasi agar polisi dan pihak pabrik bisa menemukan gembong besarnya. Kasak-kusuk di lorong terus berlangsung bermenit-menit. Suara direndahkan saat ada orang lain—yang bukan anggota keluarga—lewat, atau menyapa. Ini urusan keluarga. Bisa jadi aib. Hanya wajah-wajah para caleg dalam foto beserta lambang partai yang berjejer di lorong menjadi saksi bisu. Anak-anak kecil gembira ria bermain kejar-kejaran di lapangan sekolah.
Ketika matahari semakin tinggi, tiga saudari beserta anak dan cucu pulang ke rumah. Bukan ke rumah masing-masing, melainkan ke rumah Wak Pandan. Kasak-kusuk obrolan kasus pabrik dilanjutkan. Kali ini dengan suara yang lebih leluasa. Mereka semua saling menunggu giliran untuk menyampaikan pendapatnya tentang kasus ini. Wak Pandan lebih banyak diam karena sedih. Tiap selang beberapa saat telepon genggam anak perempuan Wak Pandan berdering. Setiap kali pembicaraan lewat telepon selalu dilakukan di ruang lain yang sepi, karena obrolan bersifat rahasia. Sesekali telepon berpindah tangan dari Wak Pandan dan anak perempuannya, dan obrolan telepon tetap dilakukan di ruang lain. Ada beberapa panggilan yang tidak diangkat, karena dianggap terlalu memperkeruh suasana hati. Terkadang mereka saling melempar giliran untuk menyelesaikan masalah lewat telepon. Entah siapa si penelepon yang terus memanggil berkali-kali tersebut.
Obrolan semakin panas dan suara dihabiskan berikut dengan hisapan rokok berbungkus-bungkus. Tak ada satu pun dari mereka yang minum walau tenggorokan kering oleh masalah yang menyedihkan. Asap mengepul di ruangan sempit. Suami Wak Pandan, satu-satunya laki-laki yang ada di ruangan itu, cuma mengeluarkan beberapa kata saja dengan nada gusar, lalu pergi. Entah karena matanya pedih oleh asap rokok, atau tidak mau persoalan anaknya ini terus menerus dibicarakan tanpa kepastian.
Berbagai macam kemungkinan cara penyelesaian masalah diusulkan. Ada yang mengusulkan penggerakan massa pegawai pabrik untuk berdemo—entah mendemo pihak mana. Mereka menyesalkan kewarganegaraan pemilik pabrik yang orang Indonesia, karena jika saja pemilik pabrik adalah orang Taiwan atau Korea seperti kebanyakan pemilik pabrik di kawasan itu, maka mereka akan mengangkat isu penindasan sebagai bahan demonstarasi. Ada juga yang mengusulkan penyelesaian masalah dengan cara mistis. Ada obrolan memberikan air yang sudah dijampi-jampi entah untuk siapa, sampai niatan memberikan kolor anak mereka ke orang pintar untuk dijampi-jampi juga.
Di tengah masalah berat seperti ini, kedekatan antara anggota keluarga makin terasa. Begitu juga dengan tingkat religiusitas. Hingga ke religiusitas yang bersifat mistis. Berulang-ulang kisah tentang wiritan dan tahajud yang terus dilakukan untuk menyelamatkan nasib sang anak. Apapun akan dilakukan untuknya, kalau perlu akan menjual rumah mereka.
Obrolan besar tentang kasus di pabrik berangsur mereda, saat keluarga Wak Pandan menerima satu panggilan telepon yang sepertinya meminta mereka untuk membawa beberapa barang milik anak laki-lakinya untuk dibawa ke suatu tempat. Keluarga tersebut kelabakan mencari beberapa barang pribadi milik anak mereka sesuai permintaan penelpon. Wak Pandan tampak bersiap untuk meninggalkan rumah segera. Ruang keluarga tempat keluarga besar berkumpul tetap terdengar riuh rendah oleh obrolan perempuan-perempuan, setelah sesaat sempat terdiam seperti biasanya kalau ada panggilan telepon. Obrolan bergeser, tidak lagi terfokus tentang kasus di pabrik. Seperti baru saja melewati sebuah badai, Wak Padi dengan ceria mulai bercerita tentang pembantu baru di warung nasinya di Cianjur yang suka bergenit-genit pada pelanggan, namun tidak pandai memasak. Si Pembantu menggoreng ikan yang belum dibersihkan hingga menyebabkan minyak di penggorengan berwarna hitam karena cairan empedu ikan menyebar. Lalu Ibu Mawar mulai kembali dengan pernyataan-pernyataan politisnya tentang kerelaannya memilih sebuah partai tertentu sejak dahulu kala tanpa pamrih apapun. Kemudian Ibu Mawar mulai berjoget girang sesaat setelah mereka mendengar dari siaran berita di televisi kalau partai kesayangannya memenangkan pemilu melalui penghitungan suara sementara.