Meskipun kampus saya adalah kampus seni, bersuasana lebih santai dan cair serta jauh dari kesan politis dan formal yang saya lihat di kampus-kampus negeri dengan beragam jurusan, proses ini mengajarkan kami bahwa memilih pemimpin bukan hanya untuk mengisi posisi tersebut dengan orang yang bersedia bekerja. Ada hal lebih jauh, sebenarnya, tentang definisi “mampu” itu sendiri: bagaimana ia bisa menghubungkan kepentingan-kepentingan yang ada di kampus, entah kepentingan dirinya, kepentingan mahasiswa yang beragam, kepentingan dari pihak lembaga akademik, hingga kepentingan para petinggi-petinggi fakultas.
Pertanyaan-pertanyaan muncul, apabila pemilihan tidak “diatur”, akankah calon yang terpilih adalah yang terbaik, mengingat akan ada banyak calon pemilih yang apatis dan tidak menggunakan hak suaranya, serta para pemilih nanti bisa saja tidak mengenal dekat calon-calon tersebut? Apakah juga jika “diatur”, pilihan dari oknum-oknum ini adalah yang terbaik? Bukankah hasil pemilihan menjadi tidak murni dan adil?
Momen ini kemudian mengingatkan saya tentang wawancara yang saya lakukan dengan beberapa mahasiswa kampus lain dan aktivis dalam seminggu terakhir, menyangkut dengan isu disahkannya Undang-Undang (UU) Pilkada yang menyingkirkan partisipasi rakyat untuk memilih presiden secara langsung. Meskipun mereka semua berada dalam satu pendapat, yakni menolak, ternyata masing-masing pihak memiliki latar belakang alasan yang berbeda.
Gusti, salah seorang mahasiswa yang saya wawancarai, mengatakan bahwa sebenarnya aksi penolakan UU Pilkada yang diadakan di Universitas Indonesia hari itu, Rabu, 9 Oktober, 2014, lebih mempertanyakan kualitas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam memilih presiden dan wakilnya. Menurutnya, sebagai negara yang sedang dalam proses transisi demokrasi, pergolakan seperti itu tidak menjadi masalah, dan beberapa pihak yang setuju menyatakan bahwa secara konstitusi, UU tersebut dapat dikatakan sah. Namun, jika melihat pada realita, para wakil rakyat yang berasal dari partai-partai seringkali bertindak oligarki dengan mengutamakan kepentingan-kepentingan para elit. Keputusan-keputusan dibuat untuk mempertahankan status quo mereka sehingga kepentingan masyarakat yang lebih luas akan terabaikan. DPR membuat jarak dengan rakyat yang seharusnya terwakilkan.
Mirwan Andan, memiliki perspektif bahwa yang dituntut dalam aksi ini adalah pengesahan Undang-Undang tersebut. Salah seorang peneliti di Ruangrupa ini, yang juga ikut terlibat dalam aksi tersebut, berpendapat bahwa wakil-wakil rakyat bisa berganti, tetapi peraturan berlaku untuk selamanya.
UU tersebut mengembalikan sistem politik di Indonesia seperti 16 tahun silam, yang Andan sebut sebagai “demokrasi semu, tapi faktanya otoriter”. Pada saat Orde Baru (Orba) tersebut, pemilu memang diadakan, namun telah diatur sedemikian rupa, termasuk dengan mengatur partai-partai pesaing sebagai “peramai”. Andan bercerita bahwa pada saat itu, Soeharto melebur berbagai partai menjadi dua, PDI (Partai Demokrasi Indonesia) merupakan gabungan dari partai-partai berideologi Kristen dan nasionalis, sedangkan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) adalah gabungan dari partai-partai berideologi Islam. Partai pendukungnya, Golkar, pada akhirnya selalu diarahkan untuk menang dan memiliki mayoritas suara.
Apakah dengan “diatur”, pemenang bisa saja adalah pemimpin yang baik untuk negaranya dan menjalankan program-program yang berpihak pada rakyatnya? Sayang sekali, ingatan saya ketika masa Orba hanya dipenuhi dengan kenangan menyenangkan akan hiburan anak-anak waktu itu, semisal video musik Trio Kwek-Kwek, Cindy Cenora, acara Cilukba, Tralala Trilili, Susan, dan lain-lain. Saya pun sempat berdiskusi kepada teman-teman mahasiswa yang juga lahir dan menghabiskan masa kecil di tahun 90-an, dekade terakhir dari Orba, tentang apa yang menyebabkan sistem politik seperti Orba tidak boleh kembali.
Alvin, mahasiswa UI, yang juga merupakan Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis dari Badan Ekskekutif Mahasiswa UI, berpendapat bahwa kita bisa melihat bahaya-bahaya tersebut melalui delapan perspektif yang dihasilkan dari berbagai jurusan yang ada FISIP, tuan rumah aksi di tanggal 9 Oktober tersebut. Di antaranya, kajian dari Jurusan Kriminologi, yang membaca adanya kejahatan kerah putih (white collar crime), yakni kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang pemerintahan dan konglomerat, semisal pencucian uang atau penyuapan, dan dari Jurusan Komunikasi, mengenai pers, yang di masa Orba, begitu banyak media yang dibredel dan dijadikan alat propaganda. Potensi-potensi itu bisa kembali dengan disahkannya UU ini.
Apabila menarik isu pengesahan UU Pilkada dalam konteks peristiwanya, yakni setelah Joko Widodo memenangkan pemilu presiden secara langsung, dapat dikatakan bahwa UU ini mencegah munculnya lagi pemimpin seperti beliau. Seperti kata Dave Lumenta, salah seorang dosen Antropologi di UI, “Elit-elit itu gagap lihat orang kayak Jokowi.”
Jokowi tidak berasal dari elit politik dan memulai karirnya dari nol. Terpilihnya Jokowi juga mengaburkan fungsi partai, yang masing-masing memiliki platform ideologi tersendiri untuk membangun massa pendukung. Pada pemilu tersebut, Dave melihat bahwa pemilih tidak representatif.
“Ternyata, tidak selinier itu. Ada orang yang memilih Jokowi, tapi gak suka dengan PDIP. Jangan-jangan, orang lebih konsisten dengan Prabowo,” ujarnya.
Faktor pertalian suku juga masih menjadi penentu dari jumlah suara di pemilu kali ini. Ia bercerita saat dia berada di daerah Nunukan, Kalimantan Utara, pendukung Gerindra cukup kuat di sana. Namun, saat Jusuf Kalla diumumkan menjadi calon presiden dari Jokowi, suara-suara tersebut berpindah ke pasangan nomor dua, karena sebagian besar warga setempat berasal dari Sulawesi Selatan, tanah kelahiran Jusuf Kalla
Terpilihnya seorang pemimpin karena karakter dan rekam jejaknya, bukan dari partai politiknya, juga menjadi keuntungan dari pemilihan umum langsung. Hal ini juga diutarakan oleh Andan.
“Pemilu langsung memungkinkan untuk lahirnya pemimpin-pemimpin berprestasi. Tengok Ahok, Risma (Walikota Surabaya), atau Ridwan Kamil (Walikota Bandung),” paparnya.
***
Kembali kepada pemilihan Senat di kampus saya, timbulah perdebatan di antara teman-teman yang aktif dalam organisasi kampus tentang siapa yang cukup populer dan mampu menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada di kampus. Tidak banyak mahasiswa yang berminat untuk terlibat dalam organisasi, yang dianggap cukup menyita waktu, dan banyak calon yang gagal karena tidak memenuhi salah satu syarat, yakni Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di atas 2,75. Kurangnya calon juga menimbulkan wacana calon “peramai”. Akhirnya, muncullah tiga calon: Atras Alwafi dari peminatan Multimedia, angkatan 2011; Rico Prasetyo, dari peminatan Desain Grafis, 2011; dan Muhammad Fahmi dari peminatan Ilustrasi, 2012. Ketiganya berasal dari program studi Desain Komunikasi Visual.Walaupun kami tidak memiliki ideologi tertentu atau ‘musuh bersama’ yang dijual untuk memisah-misah dan mengumpulkan suara, tentu ada beberapa perhatian yang dijadikan sebagai standar untuk memilih. Untuk kalangan yang aktif berorganisasi dan terlibat dalam berbagai kegiatan di kampus, cukup disadari bahwa terdapat kecenderungan “alergi” kepada sesuatu yang sistematis dan memiliki prosedur. Hal itu muncul karena kampus seni identik dengan kebebasan dan intuisi, sebagai ruang dan alat untuk berekspresi yang sarat eksperimen, walaupun dalam berkarya, kami diajarkan untuk menemukan metode teknis yang tersusun. Misalnya, desain memiliki hitungan-hitungan tertentu untuk nantinya diwujudkan dalam berbagai medium; cara menyusun warna dan bentuk agar menyampaikan sensasi rasa tertentu; atau mencampur berbagai bahan kimia yang harus terukur dan bertahap dalam proses mencetak di seni grafis. Sebagai institusi seni yang resmi, kampus kami memiliki aturan-aturan birokrasi yang harus diikuti sehingga calon senat diharuskan bisa membangun kepercayaan dengan menanggapi positif prosedur tersebut, tanpa melepaskan kreativitas dan fleksibilitas. Belum lagi kerinduan dan kepastian yang harus terpenuhi akan acara-acara kesenian yang berkelanjutan untuk dijadikan kultur, yang sudah mulai terbangun sejak kepengurusan Senat di masa sebelumnya.
Untuk mahasiswa lain yang tidak terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus, terdapat faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan ketika memilih, yang hampir seperti berjudi. Sebagai contoh, seusai malam pemilihan, saya menanyai junior saya tentang siapa yang dia pilih.
“Gue milih itu, kak siapa, ya? Pokoknya yang di tengah, deh! Soalnya, mukanya paling eksotis…” jawabnya jujur.
Saya pun tertawa terbahak-bahak mendengar jawabannya karena alasan yang aneh, dan juga karena saya kenal siapa calon yang dia maksud. Saya juga mendengar laporan dari Ebi, teman saya yang menjadi sekretaris untuk HM Desain Interior sekaligus anggota KPU, bahwa Dekan kami juga ikut memilih.
“Ada calon yang saya suka jawabannya di sesi tanya jawab kemarin,” konon, Ibu Citra Smara Dewi berkata demikian.
Mereka yang terpilih, nantinya, akan membawahi Fakultas Seni Rupa, dibantu dengan jajaran Himpunan Mahasiswa per jurusan, yakni Desain Komunikasi Visual, Desain Mode, Desain Interior, Seni Murni dan Kria. Di atas Senat, terdapat Badan Eksekutif Mahasiswa, yang membawahi tiga fakultas yang ada di kampus saya, yakni Fakultas Film dan Televisi, Fakultas Seni Pertunjukan, dan Fakultas Seni Rupa.
Proses pemilihan berlangsung dari jam 8 pagi hingga jam 4 sore, Jumat itu, di halaman depan Gedung Seni Rupa A. Mahasiswa bebas datang kapan pun selama jam tersebut. Pertama-tama, mereka didata dengan daftar nama perjurusan dan perangkatan. Mereka kemudian diberikan surat suara, dan mencoblos di bilik suara. Setelah itu, mereka memasukkan suara di kotak yang terbuat dari jerigen yang diberi lubang, dan mencelupkan kelingking di gelas berisi tinta merah. Perlu dicatat bahwa logo dari Senat Mahasiswa Fakultas Seni Rupa adalah jerigen dengan tanda “X” merah di tengahnya, sebagai simbol wadah dan penyemangat mahasiswa.
Pemilih cukup banyak yang datang menggunakan hak suaranya. Sebagai senior, saya dan teman-teman yang menjadi anggota KPU memanfaatkan posisi ini untuk memanggil anak-anak berwajah baru yang belum kami hafal untuk memilih. Lucu juga, karena terkadang mereka adalah mahasiswa fakultas lain yang sedang lewat, atau ternyata mereka sudah memilih. Tak jarang juga, mereka mengabaikan panggilan dan memilih untuk tidak memilih.
***
Golput menjadi salah satu pertanyaan yang selalu saya ajukan dalam wawancara-wawancara mengenai isu penolakan UU Pilkada. Saya melihat bahwa ada juga kesalahan rakyat di sini, yang tidak menggunakan hak suaranya dalam Pemilu Legislatif, sehingga rentan dengan penggelembungan suara untuk meloloskan calon-calon yang oligarki.Mitra, mahasiswa Ilmu Politik UI ini, menjawab dengan bercerita bahwa di Negara Amerika Serikat, yang sering disebut sebagai model untuk demokrasi, memiliki tingkat kepercayaan yang rendah kepada institusi politik sejak tahun 90-an, berdasarkan survei Majalah TIME. Terdapat dua paradigma yang bisa ditarik dari hal tersebut. Pertama, rakyat semakin tidak partisipatif, apatis. Kedua, rakyat semakin cerdas dalam memilih, apalagi sejak adanya internet dan era globalisasi.
Andan juga sependapat. Ia juga mengkritisi orang yang selalu menuntut hak, tetapi melupakan kewajiban. “Sekarang orang sedikit yang mau berkorban!” serunya keras.
Selain itu, kita harus mencari tahu dan memantau terus wakil-wakil DPR yang kita pilih hingga akhir masa jabatannya. “Misalnya, dulu ada situs bersih2014.net, kerjasama ICW, Walhi, Kontras dan PSHK, isinya adalah caleg-caleg yang bersih,” ungkap Andan melanjutkan. “Ada orang-orang yang progresif di partai-partai, tidak hanya yang oligarkis, kok!”
Demokrasi bersifat inklusif, sedangkan representasi bersifat eksklusif. Lalu, bagaimana rakyat bisa mencari formula yang tepat? Bagaimana kontrol politik terhadap terhadap representasi tersebut?
Aksi penolakan dengan membentuk aliansi ini adalah salah satu bentuk kontrol masyarakat kepada DPR.
“Aksi ini juga tidak terjebak hanya di UU Pilkada saja, namun juga mengawal DPR untuk kedepannya,” kata Gusti.
Dengan membangun jaringan, aksi ini diharapkan dapat memberikan tekanan kepada representasi tersebut, meningkatan kesadaran, dan momentum pergerakan.
“Apapun yang terfragmentasi tidak akan efektif” ujar Mitra. “Jangan sampai gerakan ini jadi gerakan elit”.
Alvin menyerukan hal yang sama, “Inti dari demokrasi itu adalah partisipasi publik.” Ia juga melihat aksi ini sebagai aplikasi dari ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
Dave Lumenta melihat, masyarakat menjadi belajar bahwa pengawalan progamatik penting. Pembacaannya, bahwa yang sekarang dilihat adalah figur, bukan lagi partai politik, memberikan pekerjaan rumah baru pada Jokowi.
“Hugo Chavez (Presiden Venezuela—red) bisa menjadi kuat karena gerakan grassroot. Seperti apa Jokowi bisa memelihara grassroot-grassroot ini?” Menurutnya, hal itu menjadi kunci bagi gerakan sosial.
Alvin juga menegaskan bahwa aliansi tersebut merupakan poros ketiga, di mana posisi mereka tidak untuk mendukung Koalisi Indonesia Hebat (Koalisi Pendukung Jokowi) atau kontra terhadap Koalisi Merah Putih (Koalisi Prabowo). Yang dilawan adalah si pembuat kebijakan yang tidak representatif.
“Sistem yang sakit tidak bisa menyembuhkan diri sendiri,” tambah Gusti.
***
Penghitungan suara di pemilihan Senat dimulai. Ada sekitar dua puluh anak yang masih bertahan untuk menyaksikan penghitungan, dari sekitar tiga ratusan mahasiswa seni rupa yang aktif. Belasan menit kemudian, Rico memimpin perolehan suara, meskipun baru satu jerigen yang dibuka. Dasar anak kampus, ada saja celetukan yang dilontarkan para mahasiswa yang menyaksikan proses penghitungan suara itu. Ada yang menggoda Ebi yang bertugas sebagai MC untuk menyebut kandidat yang dicoblos di setiap suara. Karena kebetulan semua calon adalah laki-laki, mereka pun mencari-cari perbedaan nada suara ketika nama tertentu diucapkan dan dianggap sebagai “modus”. Ada kandidat yang berpura-pura merasa dipanggil saat namanya disebutkan. Ada juga yang diteriaki sebagai tukang tiket saat menyobek surat suara yang sudah dibacakan.Hingga isi jerigen terakhir dibacakan, jumlah suara untuk Rico kian bertambah, dan akhirnya dinyatakan sebagai Senat terpilih untuk masa jabatan 2014-2015. Pemilihan pun berlangsung jujur dan adil, tanpa dimanipulasi apapun. Setelah diminta untuk memberikan sambutan, Ketua Senat Mahasiswa FSR sebelumnya, Astri Purnamasari, juga hadir untuk memberikan ucapan selamat. Serah terima secara simbolis, dengan menyerahkan jerigen berlambang “X” merah di tengah, menandai pergantian senat baru sore itu. Rico kemudian dikejutkan oleh siraman air berwarna biru dari anggota KPU yang, konon, mengandung air “seni” dari berbagai mahasiswa. Semacam selebrasi yang dianggap sebagai simbolisasi penyampaian aspirasi “seni”, mungkin.
Mengapa ia bisa terpilih? Jika mau dihubung-hubungkan, bisa saja saya menemukan persamaan antara Jokowi dan Rico. Contoh, karena ia merupakan teman saya, saya bisa bilang keduanya sama-sama penggemar heavy metal. Namun, jika dilihat secara politis, dia mampu mengambil simpati dari mayoritas mahasiswa-mahasiswa FSR IKJ, dan ajaibnya, bahkan dari mahasiswa baru yang belum mengenal dia. Berdasarkan beberapa hasil wawancara saya kepada mahasiswa yang mengaku memilih Rico, alasannya cukup beragam. Ada yang bilang karena fotonya di surat suara mirip dengan wajah Jesus, atau ada juga yang beralasan karena tertarik dengan poster kampanyenya.
“Yah, paling beda aja, gitu, Ges! Keliatannya, orangnya nyantai. Terus, di posternya juga, slogannya ‘Meluncur dan Bahagia’,” ungkap Ghifari, mahasiswa Desain Grafis dari angkatan yang sama dengan saya, 2012.
Rico sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Desain Komunikasi Visual.Oleh karenanya dapat diasumsikan ia memiliki cukup bekal pengalaman tentang atmosfer dan peta sosial yang ada di kampus. Yah! Mungkin, di sini salah satu letak kesamaannya dengan Jokowi yang tadinya adalah Gubernur DKI Jakarta.
Berangkat dari proses pemilihan ini, saya menjadi belajar betapa kita masih membutuhkan pemilihan langsung, dan semua gagasan yang saya dapatkan dari wawancara selama seminggu tersebut memperlihatkan wujudnya.
Pemilihan langsung mendidik saya untuk paham tentang politik, suka tidak suka. Terlepas dari masyarakat yang golput, sekian persen suara dapat menentukan, kendati hasil yang tampaknya bisa terprediksi. Hal-hal kecil yang tampak remeh, seperti slogan di poster atau foto di surat suara, nyatanya, bisa merebut suara. Panitia KPU bisa saja melaksanakan pemilihan internal dan menggolkan salah satu calon, namun beban dan semangat yang menjadi pijakan selama mengemban tugas, tentu berbeda. Demokrasi memang memiliki banyak kekurangan, apalagi ketika kita saling tunjuk tentang siapa patut disalahkan ketika suatu pihak tidak memuaskan. Namun, dapat dikatakan, ia merupakan sistem terbaik dari yang lain.