Dari hari pertama kedatangan kawan-kawan Forum Lenteng (Forlen) di Lombok untuk membuat filem dokumenter dengan ide cerita tentang Tuan Guru, obrolan-obrolan diskusi hampir dilakukan setiap malam selama dua minggu berjalan. Mulai dari pengamatan dan bagaimana pengalaman kami yang mengendap dalam keseharian terhadap aktifitas si tokoh tersebut, seraya mengalir sambil berproses belajar dokumenter.
Itulah yang saya alami. Selama proses pembuatan filem ini, banyak hal yang kami temukan di luar dugaan kami. Banyak sekali yang kami dapatkan dari proses penggarapan filem dokumenter Elesan Deq A Tutuq ini, baik secara pengetahuan membuat filem dokumenter maupun sejarah tentang daerah kami sendiri.
Filem merupakan bagian sangat penting dari kehidupan kita, terlebih lagi dalam tonggak sejarah pergerakan masyarakat dalam menyikapi budaya. Lebih tepatnya, keberadaan pentingnya sebuah filem dokumenter, saya rasa terletak pada pengarsipan untuk mengabadikan sebuah kebudayaan. Apa yang dimunculkan dalam beberapa frame dalam filem ini, tidak kemudian hanya akan menjadi sekadar kenangan budaya, tetapi juga menjadi jejak-jejak yang terbingkai kamera, dan menjadi sebuah alur filem dokumenter Elesan Deq aTutuq (Jejak Yang Tidak Berhenti).
Membingkai sejarah sendiri. Itu alasan mengapa akhirnya kami mengangkat tentang orang-orang sekitar kami, tentang sosok Tuan Guru, yang menghantarkan alur cerita kehidupan masyarakat Pemenang, baik secara sejarah, budaya, pariwisata dan agama. Bagaimana seorang pemuda yang mempunyai jejak keturunan Tuan Guru bergelut dengan kreatifitas dirinya sebagai sosok seniman.
Media filem menjadi sebuah alternatif untuk membuat perubahan yang lebih baik. Hal ini menjadi sebuah pilihan bagi kami di Komunitas Pasir Putih. Bermula dari ketidaksadaran kami tentang medium filem yang mampu mempengaruhi kepribadiaan seseorang secara tidak langsung. Tidak ada pilihan terhadap saluran televisi yang memadai untuk dikonsumsi bagi masyarakat, membuat kami dari komunitas Pasir Putih merasa perlu ada pengimbang bagi media mainstream yang ada di Negara kita. Medium audio visual sangat efektif. Sebagai sebuah perekaman peristiwa secara langsung melalui gambaran imajinasi dari sebuah peristiwa real mampu membuat perubahan yang baik dalam perilaku atau keyakinan.
Problem-problem fundamental seperti ini mengarah kepada kesulitan bagi generasi masa datang untuk belajar pada sejarah mereka sendiri karena ketiadaan arsip dan data yang seharusnya mereka miliki sebagai perwujudan dari rasa kepedulian mereka terhadap daerahnya sendiri.
Terlebih lagi melihat kondisi wilayah Kabupaten Lombok Utara saat ini sebagai daerah dengan kunjungan wisata yang cukup pesat. Maka, hal ini menjadi pekerjaan yang sangat urgen dan sangat berat. Sebab, jika kita tidak mampu menawarkan kebudayan kepada bangsa luar, yang terjadi adalah adanya pergeseran budaya dan adopsi budaya dari daerah lain dan bahkan negara lain. Beberapa kekhawatiran dan kecemasan tersebut menjadi pikiran kami selama ini dari Pasir Putih. Kami merasa punya tanggung jawab untuk melakukan apa yang bisa kami lakukan. Sejauh ini, kami selaku komunitas hanya bisa mengarsipkan beberapa hal-hal kecil dari masyarakat.
Frame filem menyajikan beberapa bagian dari Kabupaten Lombok Utara secara geografis, kecamatan Pemenang, dari sudut-sudut pintu masuk akses transportasi menuju Kabupaten Lombok Utara. Selain itu, beberapa peristiwa yang tidak terduga juga terekam dalam frame. Rekaman percakapan Samani bersama teman-temannya di Trawangan, mengenai persoalan pekerja tanah, terekam dalam bingkaian kamera yang mana merupakan magic moment dalam sebuah produksi dokumenter.
Setahun lamanya filem ini tertunda, menunggu waktu yang tepat untuk melanjutkan proses editing. Proses tertunda disebabkan masalah bahasa lokal pada pembuatan filem ini, sehingga aku dan Sibawaih pun diminta ikut serta dalam proses editing. Sehari sebelum keberangkatan, aku menerima informasi dari Sibawaih bahwa kami berdua akan pergi. Tanpa ada rencana akupun menerima tawaran tersebut. Pada 28 Mei, 2013, aku dan Sibawaihi berangkat ke Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda ini.
Beberapa hari kami berada di Forum Lenteng. Menambah daftar sahabat dari komunitas-komunitas jejaring akumassa. Sebelum mulai editing, kami berdua menyempatkan workshop program akumassa bersama teman-teman komunitas yang diberikan oleh mbak Otty Widasari dan Manshur Zikri terkait program akumassa. Setelah workshop selesai, barulah memulai proses editing filem. Kami melakukan susunan cerita, draft per draft yang sungguh memakan tenaga, waktu dan pikiran. “Ternyata tidak semudah apa yang aku pikirkan,” bisikku dalam hati.
Proses editng filem Elesan Deq a Tutuq di Forum Lenteng sungguh menambah pengetahuan tentang editing filem dan pengetahuan filem. Misalnya, proses editing filem bersama Paul (Syaiful Anwar), yang selalu setia mengajari kami bagaimana membuat subteks yang baik dan benar. Selain itu, program regular Forum Lenteng, Senin Sinema Dunia, juga menambah wawasan pengetahuan tentang sinemaku.
Satu hari kedatangan kami, teman-teman Forum Lenteng mengadakan launching filem “Anak Sabiran di Balik Cahaya Gemerlapan” di Taman Ismail Marzuki. Kami ikut serta menyaksikan karya Forum Lenteng. Begitu meriahnya acara tersebut, ruangan gedung yang membludak banyak penonton. Sempat terpikir dalam benakku, “Apakah kami mampu melaksanakan tugas ini?” Optimis mulai tumbuh dari motivasi teman-teman komunitas. Walupun aku masih belajar, selangkah demi selangkah akhirnya benang merah filem mulai kelihatan. Tak terasa, akhirnya kami mampu menyelesaikannya.
Ketika di tengah perjalanan, aku kembali melanjutkan lamunanku, aku melihat gedung-gedung yang tinggi yang tidak pernah ada di Lombok, mobil di mana-mana dan macet pun sering terjadi.
“Hah!!” aku menarik nafas panjang. “Sungguh ini tidak pernah terpikir olehku untuk berada di Ibu Kota.”
Ketika kami dalam perjalanan ke tempat yang kami tuju, mataku pun mulai tertuju pada bangunan yang menjulang tinggi dan di atasnya terdapat emas yang berbentuk es krim. Bangunan itulah yang disebut Monas. Kala itu, aku bisa melihat Monas secara langsung, melihat dengan jarak yang sangat dekat dari kaca kereta menuju Mangga Dua. Aku pun bergegas mengambil kamera yang ada di dalam sakuku dan merekamnya.
Artikel ini merupakan bagian dari katalog Filem Dokumenter Elesan Deq a Tutuq (Jejak yang Tidak Berhenti). Foto-foto merupakan dokumentasi proses produksi filem di Lombok Utara. Seri rangkaian tulisan tentang Elesan Deq a Tutuq, selesai.