27 Desember 2008, Arya Kemuning
Jam menunjukkan kurang lebih pukul 9 malam. Sultan Emirudin telah beranjak ke huniannya yang berada di sisi kanan Witana. Begitu juga Subardi, walikota Cirebon itu bersama dengan rombongan telah meninggalkan keraton. Warga sekitar yang hadir serentak membubarkan diri. Sebelumnya, satu per satu warga yang hadir keluar disaat pembacaan Babad Cirebon. Selain bahasanya yang tua, acara pembacaan Babad Cirebon malam itu sudah diperingatkan oleh Subardi, “Setidaknya setengah ngantuk, jangan tertidur. Kalau setengah ngantuk, masih bisa mendengarkan walau masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Tapi kalau tidur, sama sekali tidak bisa mendengarkan.”Saya bersama Diki, Gatot, Bayu, Desie, Putri, dan Ipul berada di bawah pohon beringin yang tua dan besar yang di malam itu lebih bersahabat oleh karena cahaya lampu yang terang-benderang. Tukang ketoprak dan gorengan menemani para pengunjung yang berada di luar. Begitu juga petugas keamanan (polisi, satpam,dan hansip), prajurit Keraton Kanoman yang akhirnya menarik tempat duduk dan menyandarkan tombak bermata gandanya pada pohon, anak-anak kecil yang bermain petak umpet dan lain-lain. Kami yang berada di luar kemudian berdiskusi tentang pembacaan Babad Cirebon itu hingga ke persoalan ‘sebuah catatan pengalaman’ yang banyak diceritakan pada Babad Cirebon itu.
Sedang yang berada di dalam tidak bisa apa-apa selain ‘terpaksa’ mendengarkan rangkuman Babad Cirebon itu. Terkecuali para pendokumentasi yang tentu melihat peristiwa itu sebagai momen penting yang harus didapat, di samping dihadiri oleh orang-orang penting di Cirebon —sehabis pembacaan Babad Cirebon, Subardi diwawancara oleh wartawan perihal PDAM. Atot, Abeng, dan Dian yang bertugas di malam itu memegang kamera. Dian dengan kamera statis melebar, Abeng dengan kamera statis close-up, sedang Atot dengan kamera berjalan-lincah menelusup di sela-sela tamu. Dari partisipan workshop yang hadir malam itu, hampir semua partisipan ingin melihat yang namanya Ratu Arimbi, Sultan Emirudin, dan Ratu Mawar.
Acara di malam itu tidak memecah kesunyian yang selama ini melekat pada Keraton Kanoman. Suasana antara adanya aktifitas maupun tidak, saya pikir sama saja. Rasanya tidak berbeda. Malam itu hanya sekitar seratus orang yang berkumpul. Dari awal hingga acara itu berakhir, suasana tak berubah bahkan pengunjungnya semakin berkurang. Dari Pasar Kanoman juga tidak terlihat aktifitas acara itu. Ketika saya datang, saya akhirnya bertanya dengan pedagang rokok persis di seberang keraton dan mereka mengatakan bahwa acara hampir dimulai. Warga sekitar juga seakan enggan untuk menghadiri acara penting itu. Kalau mengacu dari program Keraton Kanoman, acara itu merupakan salah satu program awal keraton untuk memberikan akses kepada publik atas keratonnya dan juga menjembatani antara keraton dengan masyarakat yang kian melebar jurangnya.
Suasana matahari menghilang di pasar berbeda 180 derajat dengan suasana saat matahari nampak. Sunyi-senyap mengiringi perjalanan kami pulang. Hingga kami menemukan keramaian yang tengah berlangsung di Balaikota yang juga sedang menggelar rangkaian acara Ganjene Cirebon.
gw suka tulisannya…..