Perut sudah terisi, kami pun berkumpul di ruang diskusi, karena pembicara pada hari itu ternyata sudah siap sejak pagi. Menurut cerita Ageung, temanku yang ikut serta hadir dalam kegiatan pelatihan pemantauan ini, pembicaranya sudah datang sejak pukul enam pagi.
“Tugas utama media massa adalah kepada warga!” begitulah salah satu seruan yang berkali-kali diucapkan oleh Imam Shofwan, yang menjadi pemberi materi tentang Pemantauan Media, pada pelatihan Pemantauan Media Berbasis Komunitas di hari ketiga, 4 Februari 2012. Direktur Eksekutif Yayasan Pantau ini memberi kami pemahaman seputar aktifitas memantau media. Ia memberikan kami makalah berjudul ‘Gembrot Informasi’. Dari situ kami mengetahui peta konglomerasi media yang memiliki hubungan dengan pandangan politik tertentu.
Bung Imam juga menjelaskan tentang istilah ‘gembrot informasi’ tersebut, yaitu sebuah istilah yang terinspirasi dari buku Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Blur, tentang suatu situasi dan kondisi aktivitas bermedia sekarang ini. Menurut mereka, situasi yang dimaksud adalah melimpahnya pesan-pesan dan informasi yang termuat di media massa untuk masyarakat, akan tetapi informasi tersebut belumlah tentu merupakan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Misalkan, seperti yang diterangkan oleh Bung Imam, kampanye terselubung yang ada di balik berita dan keinginan redaksi untuk menaikan oplah dengan membuat berita sensasi. Menurutnya, pengaruh intervensi politik terhadap media dan pengejaran oplah sebanyak-banyaknya yang membuat fenomena seperti ini kerap terjadi. “Oleh karena itu kita harus kritis dalam melakukan kegiatan membaca sebuah berita dalam media massa,” ujarnya.
Diskusi menjadi semakin menarik ketika setelah jam makan siang, para peserta diberikan tips-tips atau tata cara yang paling mudah untuk melakukan kegiatan membaca kritis, atau disebut juga sebagai ‘membaca pintar’ atau ‘membaca skeptis’. Berhubungan dengan kegiatan pemantauan media berbasis komunitas ini, Bung Imam, merujuk pada penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosentiel, menerangkan bahwa ada langkah-langkah khusus yang bisa dilakukan untuk menjadi pembaca pintar dan melakukan aksi ‘diet informasi’ (memilah asupan-asupan bergizi dari sajian media dan menghindari segala sajian yang tidak perlu atau mengandung ‘lemak’ yang tidak sehat) di era banjir informasi dewasa ini.
Langkah pertama ialah dengan ‘mengenali apa yang kita cari’. Dengan kata lain, kita harus memiliki sejumlah banyak pertanyaan ‘apa’ dan ‘mengapa’ terkait dengan semua sajian media. Hal ini harus didukung dengan wawasan kita terhadap isu-isu sosial di tingkat lokal. “Kita harus terus bertanya, mengapa isu A yang diangkat sementara isu B tidak. Mengapa isu yang kita butuhkan tidak diangkat sementara isu lain yang tidak kita butuhkan justru diangkat oleh media!?” Begitulah kira-kira seruan Bung Imam.
Langkah kedua, Bung Imam menjelaskan bahwa kita harus ‘mengenali apakah laporan berita yang disajikan media itu lengkap atau tidak’. Hal ini terkait dengan kedalaman sebuah berita yang disajikan oleh media.
Langkah ketiga adalah tentang narasumber. “Kita jangan mudah percaya dengan narasumber berita, dan kita juga harus jeli mendapatkan peluang untuk menyoalkan keterangan dari sumber tersebut.”
Langkah keempat, ‘mengevaluasi berita dengan bukti-bukti’. Dengan kata lain, apa yang kita cari ialah fakta, bukan fiksi, bukan desas-desus, propaganda, kampanye dan hal-hal yang berbau narsis (pencitraan) pejabat. Kelima, kita juga harus melihat bagaimana kecenderungan model berita baru berinteraksi dengan bukti. Dan yang terakhir adalah kita harus menentukan ‘apakah kita sudah mendapatkan apa yang kita cari (informasi yang kita dan masyarakat butuhkan).
Bersamaan dengan penjelasan tips-tips itu, beberapa peserta pelatihan memberikan pendapat dan berbagi pengalaman mereka ketika berinteraksi (membaca) sajian-sajian media lokal di daerah mereka. Dan hampir dari semua pendapat ini, banyak yang mengindikasikan bahwa media arus utama di tingkat lokal memang memberikan pelayanan kepada publik dengan tidak sempurna. Contohnya cerita dari Angga, peserta pelatihan dan calon pemantau dari Padang Panjang. Dia menceritakan bahwa dia pernah membaca artikel tentang matinya tahanan yang diduga menjadi korban penganiayaan oknum polisi yang terjadi di daerahnya, dan itu diliput oleh media lokal setempat selama beberapa hari. Akan tetapi, di satu hari, Angga menemukan artikel berita yang membahas kasus matinya tahanan di dalam penjara tersebut, namun yang ditulis oleh wartawan ialah lebih kepada profil si ahli forensik yang menangani kasusnya, bukan kelanjutan pembahasan yang lebih mendalam tentang dugaan apakah benar terjadi penganiayaan atau tidak.
“Nah, itu menjadi salah satu contoh bahwa media luput dari kewajiban untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat,” ujar Otty Widasari, Koordinator Program akumassa, yang turut hadir dalam diskusi dan kegiatan pelatihan itu.
Sore, pukul empat, setelah materi Imam Shofwan selesai, para peserta pelatihan melakukan kegiatan simulasi pemantauan, yang dipandu oleh Otty, Lulus dan saya sendiri. Peserta mendengarkan dengan seksama penjelasan yang kami berikan, dan tanpa henti melemparkan pertanyaan terkait dengan teknis pemantauan yang akan dilakukan setelah kegiatan pelatihan. Pertanyaan yang paling sering muncul ialah tentang bagaimana mengenal satu sajian (artikel) masuk ke dalam isu yang mana. Untung saja, semua itu tercantum dalam modul pelatihan sehingga kami dapat menjelaskannya dengan lebih mudah.
Kira-kira setengah jam menjelaskan tentang teknis, praktik membaca koran dan meringkasnya ke dalam tabel matriks dilakukan. Kegiatan ini berlangsung hingga malam hari, sekitar pukul sepuluh, tetapi dengan suasana yang lebih santai, tidak serius seperti siang harinya. Dan yang menyenangkan adalah, malam ketiga kami di Cisarua, dihibur dengan sajian barbeque.
jujur, sekali lagi aku bilang .. aku pengen kesana