Kamis (17/01) itu Sebagian warga tengah asik menyaksikan dan mengabadikan datangnya air bah yang membawa oleh-oleh berupa puluhan ton sampah sejak Selasa (15/01) lalu. Seakan mereka yakin banjir tak akan mampir ke persinggahannya yang berposisi sedikit lebih di atas dibanding para pengungsi yang tinggal di kolong jalan layang Kalibata, Kampung Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Sedangkan sebagian lainnya tengah sibuk menyelamatkan harta benda milik mereka yang belum terseret arus banjir. Tapi untuk anak-anak, banjir berarti waktunya bersenang-senang, berpetualang mengelilingi kampungnya yang terendam. Dan para wartawan tentu sibuk membingkai pemandangan sesuai dengan rangsangan imajinasinya yang disuntik para redaktur masing-masing.
Tiba-tiba bala tentara datang tanpa senapan pada siang hari. Mereka hadir dengan perahu karet bermesin. Perhatian warga jadi terhenti sejenak. Para wisatawan dadakan beralih memotret para militer. Para pengungsi melupakan harta bendanya, berharap ada atraksi menghibur. Sedangkan para wartawan tidak terlalu perduli. Mereka tahu persis posisi mata kamera harus menghadap ke jalan, bukan ke Sungai Ciliwung di mana para tentara sedang beraksi. Karena dari arah itu akan hadir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Ani Yudhoyono, Jenderal Polri Timur Pradopo, Menkokesra (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat) Agung Laksono, dan beberapa pejabat penting lainnya untuk memantau situasi sekaligus tampil sebagai formalitas kepangkatan.
Wartawan memang tepat dalam menebak kedatangan pejabat penting. Tak lama setelah para militer meletakkan perahu karet bermesin itu ke sungai, datanglah para pejabat tinggi negara yang sudah ditunggu mata kamera para wartawan. Dengan menjaga wibawa, Jenderal itu menghampiri tepi sungai. Melalui jembatan, ia sedikit menoleh, melihat tumpukan sampah yang tertahan oleh tiang-tiang yang tertanam di bawah jembatan. Kemudian Presiden dan Ibu Negara mengekor, melakukan hal yang sama dengan sang Jenderal. Warga seperti tertegun, hingga lupa menyampaikan keluhannya. Membiarkan pemimpin negara itu melalui peristiwa banjir begitu saja. Atau barangkali warga sadar sekarang bukan waktu yang tepat. Bukan saatnya menunjukan keluhan kepada orang yang terlalu sibuk dengan urusannya. Hanya sekitar 15 menit Presiden singgah di Rawajati. Setelah mengenakan perlengkapan air, ia langsung pergi meninggalkan kampung tersebut. Menyusuri Sungai Ciliwung dengan keamanan tinggi bersama perahu bermesin milik militer. Peristiwa ini ditutup dengan tepuk tangan meriah warga Rawajati yang tak menyangka Presiden datang ke kampungnya.
Ibu Negara ditinggal. Mungkin sekarang menjadi tugasnya untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Ia sambangi beberapa ibu-ibu yang menjadi korban banjir. Dipersilahkan tangannya untuk dicium bak Ratu Elizabeth, seraya bertanya tentang keadaan. Ibu-ibu memanfaatkannya dengan sedikit menceritakan kesulitannya, karena tak banyak waktu untuk mengungkapkan keluhan kepada istri orang nomor satu di negeri ini. Tentu hal yang mudah bagi orang besar menjawab keluhan masyarakat. Ibu Negara memilih jawaban dengan mendorong masyarakat agar bersabar karena musibah pasti akan berakhir. Dengan berjalan perlahan-lahan sambil dibentengi Paspampres yang sedikit kasar, Ibu Negara meninggalkan kampung itu. Lalu warga kembali asik bermain air, mengangkut barang, dan memotret apa pun yang ada di sekitar. Sedangkan para wartawan menutup lensa, menebar senyum kemenangan karena berhasil merekam blusukan petinggi Negara.
***
Langit menebarkan gunturnya pada sore hari, seperti membawa kabar hujan akan segera turun. Beberapa pengungsi hampir selesai menyelamatkan harta benda dari rumah masing-masing. Suasana bersantai jadi cukup terasa saat itu. Kecuali wartawan, mereka masih sibuk mencari peristiwa seksi (menjual) sebagai bahan berita untuk menghibur hati redaktur.
Sebuah toko yang hampir kosong jadi persinggahanku. Menikmati sebatang rokok dan minuman dingin untuk istirahat sejenak tentu tak ada salahnya. Toko ini hampir sepenuhnya sedang tidak beroperasi kecuali untuk melayani pembeli rokok atau minuman. Pemiliknya bernama Muhammad Khoir yang juga pejabat setempat dengan pangkat Ketua RT 02 RW 07. Waktu kedatangan Presiden siang tadi ia tak sempat menyambanginya, karena memang tak penting baginya, “Walah, yang penting saya ngurusin barang-barang dulu, Bang. Mungkin istri saya nonton kayanya,” kata Khoir sambil tos dengan temannya yang, Muhammad Arif yang juga sedang istirahat di toko dan tertawa.
Arif sepertinya orang yang jenaka, begitu juga Khoir. Sambil duduk-duduk sesekali mereka mengejek tetangganya yang masih mengangkat barang-barang. “Eh, sibuk bener, kaya orang penting lu?” Tapi ejekan itu tak berbalas amarah, justru menjadi tawa bagi sang korban, atau dibalas dengan ejekan lain yang membuat kedua pihak saling menertawakan.
Kemudian melintaslah orang tua bertubuh besar, berkumis tebal, namun masih tampak gagah. Mereka berdua tidak mengejeknya, justru diam-diam mencibir. Khoir bilang padaku, bahwa orang itu mantan preman yang ditakuti sekaligus dibenci oleh warga Rawajati karena keangkuhannya. Pernah orang itu nyaris memukuli salah seorang warga yang hendak minta sumbangan untuk perhelatan RW, untung warga dapat melerai persitiwa itu. Arif juga mengamini pendapat Khoir dan menambahkan, “Sekarang udah gak ada taringnye.”
Hilangnya taring sang mantan preman diceritakan Khoir terlihat saat ribut-ribut persoalan sengketa lahan awal Desember 2012 kemarin. Ketika warga marah-marah dengan pihak Kelurahan yang meminta warga menandatangani kesepakatan pembebesan lahan dengan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) empat juta rupiah per meter dan akan dibayar sebanyak 25 persen. Mantan preman itu tidak melakukan tindakan apa pun. Padahal tanah yang dimaksud termasuk miliknya.
Sebagai pejabat RT Khoir sadar, bahwa angka tersebut tidak menguntungkan bagi warga. Untuk itu dia terus mendorong warga untuk tidak menandatanganinya. “Kebetulan pendapat ini sudah satu suara dengan RW.” Artinya seluruh RW 07 dengan warganya yang berjumlah sekitar 400 kepala keluarga akan menolak tawaran ini.
Lagi pula tanah ini seperti tanah nenek moyang menurut Khoir. Ia memaknai pembebasan lahan ini sebagai pengusiran paksa. Tentu tidak bisa bagi Khoir untuk diusir paksa yang selama ini merasa Kampung Rawajati merupakan tanah nenek moyangnya. “Udah sejak kakek buyut saya tinggal di sini. Hampir seluruh penduduk juga merupakan saudara, ada encang, encing, enyak, babeh, besan, ama ponakan.”
“Kalo diganti ama rusunami (rumah susun hak milik) kite mau dah,” kata Arif.
Tiba-tiba istri Pak RT menyambar, “Kagak, gua kagak mao!”
“Apaan sih luh, udah kagak ngarti diem aja dah,” jawab Khoir kepada kepada istrinya.
Tiba-tiba hujan turun rintik-rintik namun deras. Si mantan preman jadi terlihat terburu-buru mengangkut harta benda miliknya yang belum rampung diselamatkan. Khoir dan Arif lagi-lagi mencibir diam-diam. Istri Pak RT pergi meninggalkan toko menghampiri kerumunan ibu-ibu yang lain. Percakapan pun berlanjut.
Pak RT menjelaskan kelemahan warga sejauh ini karena akta tanah yang mereka miliki masih berstatus girik. Seringkali pihak keluharan menodong status itu sebagai alasan untuk warga segera menandatangani penawaran pembebasan lahan, karena status girik sewaktu-waktu dapat diambil sepihak oleh pemerintah. Sebetulnya bisa saja warga mengurus akta tanah itu yang berstatus girik menjadi bersertifikat. Namun hal itu akan memakan banyak ongkos yang dirasa lebih baik untuk dialihkan pada tanggungan lain, seperti sekolah anak, belum lagi jika dipersulit. Hal ini juga yang meyakinkan Khoir dan Arif bahwa pemerintah tidak berpihak padanya. “Jadi kita bingung mana tanah yang punya pemerintah sama yang bukan. Lah, itu rawa di Jakarta Utara yang emang bener-bener gak boleh dibangun, kok bisa jadi ada sertifikatnya bakal bangun apartemen,” tegas Khoir.
Arif menambahkan, “Jangan-jangan itu yang bikin kita banjir, rawa yang mustinya bakal resapan air udah diurug.”
Secara keseluruhan mereka menyadari, tanah nenek moyangnya memang sudah tidak tepat dijadikan tempat tinggal. Bantaran kali merupakan tempat paling cocok untuk mereka yang bersedia menuai bencana. Jelas tidak terlihat masa depan pada tanah tersebut. Tapi jika menyerah kepada tawaran pemerintah pun pasti menyesakkan dada. Siapa suka menjadi tunawiswa di kampung sendiri.
Kabar terakhir yang mereka ketahui pemerintah berjanji akan memberikan rusunami secara gratis. Hal itu menjadi mimpi baru yang diidam-idamkan bagi Arif dan Khoir atau bahkan juga warga Rawajati lainnya. Karena sebelumnya mereka kecewa, bahwa keberadaan rusunami justru dirasakan oleh orang-orang berada.
Hujan turun semakin deras. Arif tak tega juga rupanya melihat sang mantan preman menyelamatkan harta bendanya sendirian. Ia beranjak meninggalkan Khoir untuk membantunya. Sempat protes juga Khoir ditinggal sendirian, tapi sebagai pejabat berpangkat RT ia tahu bahwa ada warga yang perlu bantuan. Meskipun masih memendam benci atas keangkuhan masa muda sang mantan preman, kini ia juga turun tangan.
Very soon this web site will be famous among all blogging people, due
to it’s good content