Tanggal 6 September kemarin, kami sekeluarga, aku, istriku, anakku dan mertuaku ke Pasar Minggu. Bagi istri, anakku dan mertuaku itu adalah pertama kalinya mereka ke Pasar Minggu. Karena kita juga baru pindah ke Pejaten. Sebelumnya karena tinggal di Fatmawati, kalau ke pasar ya ke Pasar Blok A, yang tidak sebesar Pasar Minggu.
Wah hari itu, adalah hari di mana sehari sebelumnya orang-orang menerima THR (Tunjangan Hari Raya), jadi Pasar Minggu di hari minggu jam 11 siang benar-benar panas dan sesak.
Misi kita sekeluarga ke Pasar Minggu adalah membeli bahan-bahan keperluan untuk membuat kue Lebaran untuk Mak Sih (mertuaku). Dan untuk mendapatkan bahan dan alat untuk kue lebaran itu, kita harus menuju ke bagian dalam pasar.
Pemandangan di dalam, luar biasa. Walaupun aku merasa jika ada gempa bumi atau kebakaran, bakal banyak orang yang terkurung di dalam karena tidak ada petunjuk arah “KELUAR” , lagi pula barang dagangan ditempatkan menjorok seluar mungkin.
Semakin barang dagangan itu tersenggol pengunjung, maka akan semakin baik. Itu artinya, pengunjung bakal tau, barang apa saja yang dijual di sana. Kondisi itu sangat lazim di Indonesia, bahkan di beberapa ITC yang ada di Jakarta, mereka melakukan hal yang serupa, menaruh dagangannya menjorok keluar dari kiosnya. Sebuah pemikiran yang sebenarnya membuat pengunjung tidak nyaman.
Tapi bagi pengunjung pasar tradisional maupun ITC, “harga yang murah atau miring” adalah prioritas utama, sehingga mereka tidak peduli dengan segala ketidaknyamanan. Berdesakan adalah hal yang lumrah di Jakarta, dari mulai transportasi sampai tempat tinggal, bahkan ketika musim mudik tiba.
Ari Dina Krestiawan
kiev….