Saat iring-iringan demonstran bergerak menuju istana, sebuah perintah keluar lewat toa dari mobil Polisi. “Bagi para pengendara motor dipersilakan memutar balik, agar tidak terjebak macet!” Beberapa detik kemudian, jalan menjadi semrawut karena bukan hanya para pengendara motor yang memutar balik, namun juga para pengemudi mobil. Sebagian dari mereka bahkan melintas di jalur busway.
1 Mei 2011
09:24 WIB
sms (short message service) dari Mira kepada Ageung dan Zikri: ‘Gue udah di busway.. Doakan aku ya. Cepet nyusul kawans!’
Sukabumi, Jawa Barat
Ageung
Aku kembali ke Jakarta karena ingin melihat demo hari buruh di Istana Presiden bersama kedua temanku, Mira dan Zikri. Awalnya aku berencana menaiki kereta dari stasiun dekat rumahku di Parung Kuda, Sukabumi, pukul 6 pagi. Namun karena terlambat bangun, aku pun tertinggal kereta. Akhirnya aku memutuskan untuk menaiki angkutan umum jurusan Sukabumi-Bogor menuju Bogor, lalu menyambungnya dengan kereta menuju Jakarta agar lebih cepat sampai ke Istana Presiden, tempat terpusatnya aksi demonstrasi memperingati Hari Buruh.
Bundaran HI, Jakarta Pusat
Zikri
“Rakyat berontak, hancurkan neolib!” Seruan itu berkali-kali diteriakkan oleh orator yang berdiri di atas sebuah loudspeaker bertingkat-tingkat, yang disusun di atas sebuah mobil pick-up. Seruannya disambut dengan jawaban gemuruh dari massa yang berkumpul memegang umbul-umbul berwarna merah serta spanduk yang bertuliskan berbagai tuntutan. Di antara berbagai tuntutan itu, kata-kata yang paling banyak memenuhi halaman spanduk ialah, “Hapuskan sistem kontrak kerja outsourcing!” “Kawan-kawan KASBI, selamat datang!” Sesaat kemudian sang orator berseru lagi menyambut segerombolan besar pasukan buruh lain dengan baju merah. Barisan Kesatuan Aksi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), salah satu serikat buruh yang paling besar massanya di tempat itu, mulai bergabung dengan massa yang dipimpin oleh sang orator. Beberapa serikat buruh lain sudah berada di dalam barisan massif itu: Serikat Pekerja Kereta Api Jabotabek (SPKAJ), Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM) Jakarta, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), serta kelompok dari kalangan mahasiswa, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) juga ikut dalam barisan. “Empat langkah revolusi, jalan!” Orator memberikan aba-aba. “RE! VO! LU! SI!” Setiap langkah, setiap suku kata, barisan buruh mulai bergerak ketika jalan telah pasti ditutup oleh petugas keamanan. Massa bergerak melingkar, memutari Bundaran HI menyusuri jalan aspal di bawah terik matahari yang begitu menyengat kepala. Patung Selamat Datang seolah-olah melambaikan tangan seraya berkata, “Selamat jalan, selamat berjuang!” Beberapa orang yang tergabung dalam kelompok yang lebih kecil, yang berada di sekitar barisan massa, ikut bergabung, termasuk sekelompok orang yang membawa jeruji, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang seruan mereka tak kalah semangat dengan para buruh yang lain. Tuntutan mereka sama, menolak penindasan terhadap buruh, dan bagaimana pun, dalam beberapa hal, jurnalis terkadang dianggap sebagai buruh. Dan barisan pun semakin besar. Gerombolan depan berbaju merah, sementara yang di belakang bercampur antara putih, kuning, hijau, ungu, biru, dan hitam. Semuanya memiliki tujuan yang sama, melakukan unjuk rasa di depan Istana Negara.
Saya berada di sana bukan sebagai buruh, bukan pula sebagai mahasiswa yang ikut melakukan aksi demonstrasi. Akan tetapi saya hadir di antara massa, yang saat itu memiliki gejolak kemarahan dan protes akan kesejahteraan hidup, sebagai warga masyarakat Jakarta yang ingin menyaksikan bagaimana para buruh Indonesia merayakan hari besar mereka.
Aku mencari kedua temanku, Mira dan Ageung yang sedari tadi belum tampak.
Dekat Bogor,
Ageung
Ketika aku menaiki angkutan umum menuju Bogor, jalanan sangatlah padat sehingga membuat perjalanan sedikit terhambat karena macet. Di daerah antara Lido dan Cigombong, ada demo di depan sebuah pabrik garmen yang membuat jalanan macet. Aku ingin melihat demo itu, namun aku teringat janjiku pada kedua teman yang sudah menunggu di istana. Angkutan umum yang aku naiki, akhirnya memutuskan untuk mengambil jalur alternatif. Cukup panjang perjalanan di jalur alternatif itu, sampailah aku di Terminal Baranangsiang. Melihat para demonstran buruh pabrik yang menyebabkan kemacetan tadi, aku teringat percakapanku dengan teman-teman SMP-ku kemarin, saat pulang ke kampungku di Parungkuda. Mereka rata-rata bekerja sebagai buruh pabrik karena ada banyak pabrik di daerah kami. Ari, mulai bekerja sebagai buruh pabrik dari bulan Desember 2009. Ari menjabat sebagai mekanik pabrik yang pekerjaannya membetulkan mesin jahit rusak. Ari memang lulusan SMK Teknika, namun selama prakteknya di sekolah dulu, dia belum pernah menangani mesin jahit. Menurutnya, dia bekerja di pabrik sambil belajar untuk menangani mesin jahit. Gaji pertama yang dia terima sekitar Rp. 500.000 dan setelah dia bekerja selama 1,5 tahun, gajinya menjadi Rp. 1.150.000.
Santi, mulai bekerja di pabrik dari tahun 2010. Lulus SMP dia langsung bekerja di pabrik. Bekerja di pabrik menjadi pilihan akhir bagi Santi karena tidak bisa melanjutkan sekolah. Di pabrik dia bekerja sebagai helper yang membantu penjahit. Menurutnya, pekerjaan sebagai helper sangatlah tidak menyenangkan karena harus lembur terus mengikuti para penjahit. Gaji pertama yang dia terima sekitar Rp. 300.000. Sudah setengah tahun dia bekerja, gajinya menjadi Rp. 700.000.
Ine, pacar Ari, mereka bekerja di pabrik yang sama, namun Ine lebih dulu bekerja di pabrik itu. Awal masuknya ke pabrik, dia bekerja sebagai penjahit. Namun setelah dua tahun bekerja, kini dia naik jabatan sebagai assisten sewing (assisten penjahit). Dan kini gajinya bisa sampai Rp. 1.500.000. Menurutnya, untuk naik jabatan, tergantung lamanya kita bekerja. Seperti Ine, yang sudah dua tahun bekerja, baru dia bisa naik jabatan.
Bundaran HI
Mira
Aku tiba di lokasi pukul 10.30 WIB. Sebelumnya, aku memantau berita dari situs online tentang demonstrasi itu. Aku sempat tak yakin bahwa aksi demo akan dilaksanakan, mengingat Hari Buruh tahun ini jatuh pada hari Minggu. Akhirnya, dengan menggunakan Bus Transjakarta dari halte Lebak Bulus, aku menuju Harmoni. Perjalanan lancar, namun bus yang biasanya nyaman itu sesak oleh penumpang. Sesampainya di halte Harmoni, aku merasa seperti sedang ber-tawaf di Mekah, karena halte busway penuh dengan calon penumpang yang menunggu datangnya armada Transjakarta. Tanpa sempat berpikir, aku sudah terseret arus manusia ke pintu busway menuju Blok M. Namun, akhirnya aku menuju pintu keluar karena frustasi berdesak-desakan di dalam halte.
Setelah naik ojek dari Harmoni dengan rute yang cukup jauh menuju Bundaran HI, karena sebagian jalan ditutup, akhirnya aku sampai di lokasi demonstrasi. Sepuluh menit pertama berdiri memantau demo, kesimpulanku adalah: Orator sibuk mengatur barisan massa, tanpa melakukan orasi apapun.
Kubalas SMS Ageung, temanku yang dalam perjalanan menuju ke sini. Ia menanyakan perihal angkutan umum menuju halte busway Ragunan: ‘Naik apa ya..? 63 kayaknya. Kopaja arah Blok M. Tapi dia keluar tol di ragunan. Setau gw sih..’
11:21 WIB sms dari Mira kepada Zikri: ‘Ageung udah nyampe Ragunan’
Zikri
Sistem kontrak kerja outsourcing menjadi sebuah masalah karena prakteknya yang dapat dipahami sebagai bentuk aksi para korporat untuk menghapus hak-hak para buruh. Setidaknya, begitulah pengertian singkat yang saya baca di berbagai selebaran yang diberikan para buruh. Lebih lanjut lagi, sistem outsourcing dianggap sebagai sistem yang menjadikan buruh hanya sebagai alat pemuas sifat rakus para pengusaha dan para pelaku kejahatan korporasi lainnya. Keuntungan besar yang didapatkan oleh pengusaha atau pihak perusahaan sebenarnya dapat berjalan karena adanya buruh, tetapi di sisi lain buruh diperlakukan seperti robot tanpa mempertimbangkan jam kerja serta tunjangan yang seharusnya mereka dapatkan.
Mira
Para demonstran meneriakkan yel-yel sambil membawa panji-panji tuntutan. Suara air mancur di Bundaran HI pun tak terdengar lagi. “Hari Buruh Dunia! Rakyat berontak hancurkan Neolib!”
“Buruh bersatu, pasti menang!”
“Kontrak, outsourcing, hapuskan sekarang juga!”
Teriakan-teriakan penuh semangat itu menuntut jaminan sosial yang lebih layak, jaminan pensiun dan kesehatan, dihapuskannya sistem kontrak, outsourcing, dan meminta kenaikan upah.
Di sela-sela aksi demo berlangsung, beberapa orang membagikan flyer. Flyer tersebut berisi tuntutan mereka dan ketidakpuasan mereka terhdap pemerintahan SBY. Aku pun menanyakan pertanyaan yang sejak tadi berputar di kepalaku kepada seorang lelaki berseragam KONFEDERASI KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia) yang sedang membagikan flyer.
“Dari KASBI mana, Pak?”
“Bekasi.”
“Ini mau jalan terus menuju Istana, ya?”
“Iya dong.”
“Presidennya, kan, ke Bogor, Pak, lagi kunjungan ke pabrik di sana. Percuma dong?!”
“Emang iya, ya? Ya udah biarin aja, yang penting kita merayakan Hari Buruh 2011.”
“Kenapa tiap tahun dirayakan pakai demo, Pak?”
“Ya, kan, selain merayakan, hari ini juga tepat buat menuntut hak kita sebagai buruh, Mbak,” aku pun terdiam mendengarnya. Kemudian kembali mengikuti iring-iringan para demonstran menuju Istana Merdeka. Cuaca terik membuat sebagian demonstran ke luar dari barisan dan memilih berteduh di trotoar jalan sambil menikmati rujak, otak-otak, es teh, ataupun siomay. Memang, para pedagang pun menjadi pengikut setia kemana arah demonstran melangkah. Karena, saat demonstrasi merupakan kesempatan besar bagi mereka untuk menambah penghasilan. Aku juga tergiur untuk membeli otak-otak yang aromanya tercium ke mana-mana. Sambil makan, aku iseng bertanya pada si penjual. Ia pun mengaku dagangannya sudah hampir habis. “Laris manis kalau lagi demo, Neng!” Ujarnya.
Zikri
Saya sendiri pernah melihat sebuah akun di situs jejaring sosial facebook, 1.000.000 Facebooker Menolak Sistem Outsourcing di Indonesia. Akun tersebut memberikan suatu definisi tentang sistem kontrak kerja outsourcing, yang menurutnya berbeda dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam UU No. 13 Tahun 2003. Berdasarkan deskripsi dalam akun itu, outsourcing yang dianggap menindas buruh ini merupakan suatu lembaga atau yayasan yang melakukan kerjasama atau kontrak kerja dengan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Ketika perusahaan menginginkan tenaga kerja, lembaga atau yayasan ini akan menyediakan sejumlah tenaga kerja, tetapi pada prakteknya terdapat suatu kesepakatan bahwa tenaga kerja yang bekerja di perusahaan tersebut tidak memiliki ikatan kontrak dengan perusahaan yang mempekerjakannya, ia hanya memiliki kontrak dengan yayasan (badan outsourcing). Hal ini menyebabkan kerugian bagi buruh pekerja, karena perusahaan yang mempekerjakan mereka dapat menekan biaya (gaji) pegawai dan tidak berkewajiban untuk memenuhi hak-hak pekerja (seperti tunjangan dan jaminan keselamatan), karena tidak ada ikatan kontrak. Sementara itu, gaji yang seharusnya mereka terima harus disalurkan melalui lembaga atau yayasan yang menampung mereka, dan biasanya selalu ada pemotongan oleh lembaga atau yayasan tersebut sehingga gaji yang mereka terima tidak penuh. Dengan begini, pihak lembaga atau yayasan mendapatkan keuntungan dari pemotongan gaji para buruh.
Apakah kata ‘kasihan’ harus kita hantarkan kepada para buruh? Sepertinya tidak, karena buruh-buruh begitu semangat di hari Minggu yang begitu panas. Mereka tetap teguh berjuang menyuarakan hak-hak mereka. Kata yang pantas adalah “Mereka hebat dan kuat!”
Mira
Ada yang menarik ketika para demonstran berjalan melewati Monas. Banyak dari mereka yang berucap pada anaknya, “Tuh, liat Monas, tuh!” Seketika aksi demonstrasi yang sedang berlangsung seakan berubah menjadi kegiatan piknik bagiku. Ditambah lagi salah satu orator berteriak lewat toa-nya, “Hai, teman-teman revolusi, lihat itu di sebelah kanan kita, Monas!” Ribuan kepala pun menengok. Sebagian dari mereka ada pula yang menyempatkan diri ke Monas sekaligus menyambangi toilet umum di sana.
Banyak sekali anak kecil yang aku temui berada dalam barisan demo. Salah satunya Tesa. Anak dari Susi, seorang buruh dari PT Samudera Biru-Bogor. Menurut Susi, ia mengajak anaknya karena memang Tesa tak mau ditinggal, lagipula ia ingin anaknya ikut jalan-jalan melihat Monas dan Istana Merdeka. Susi dan 300 orang temannya dari PT Samudera Biru, berangkat menggunakan bus sewaan. Walaupun ia tak tahu siapa yang telah membayar sewa bus itu.
Zikri
Saya yang saat itu menjadi ‘aku’ berbaur di dalam ‘massa’ buruh, menyadari bahwa massa yang sedang melakukan aksi itu begitu besar. Saya ingin sekali melihat seberapa besar barisan massa ini, dan ingin sekali merekamnya dengan kamera yang saya bawa. Sekelebat saya melihat sekitar jalan, saya tersadar ada jembatan penyeberangan di ujung sana sebelum Istana. Tanpa pikir panjang, saya meninggalkan teman saya, Mira, untuk berlari mendahului massa buruh yang bergerak perlahan itu menuju jembatan penyeberangan, naik ke atasnya, dan mengarahkan lensa kamera video saya ke barisan massa di bawah sana.
“Buruh tani mahasiswa rakyat miskin kota, bersatu padu rebut demokrasi. Gegap gempita dalam satu suara, Demi tugas suci yang mulia!” Lagu yang akrab di telinga saya itu terdengar sayup-sayup dari bawah jembatan, dan ketika barisan massa bergerak semakin mendekat ke jembatan, suara gemuruh massa semakin besar. Jalanan dipenuhi warna merah karena umbul-umbul dan spanduk yang dibawa oleh massa, di belakangnya, barisan yang sedikit lebih renggang, bercampur warna-warna lainnya.
Ageung
Sesampainya di Stasiun Bogor, aku segera menuju loket dan membeli karcis kereta yang paling pertama berangkat, yaitu kereta Ekonomi AC. Tak lama menunggu, kereta berangkat. Lalu aku turun di Stasiun Lenteng Agung dan langsung menaiki angkot 02 untuk menuju Ragunan. Dari awal aku berniat menaiki bus Transjakarta dari Ragunan untuk menuju istana. Namun sesampainya aku di Ragunan, ternyata jalur busway untuk menuju Harmoni telah ditutup karena demo.
12:37 WIB
sms dari Mira kepada Ageung: ‘Gue sama zikri lagi jalan bareng kerumunan ke istana. Busway arah harmoni udah ngebludak, Geung.. Gue khawatir lo gak bisa ke sini.’
Oke, aku langsung balik arah menuju Stasiun Lenteng Agung kembali dan langsung meluncur ke Jakarta Kota dengan kereta Ekonomi AC.
Kemarin, pada teman-teman SMP-ku itu juga aku sempat menyinggung soal ‘Hari Buruh’ yang akan diperingati besoknya, yaitu 1 Mei 2011. Hari Buruh juga dikenal dengan istilah ‘May Day’. Biasanya Hari Buruh di Indonesia selalu diperingati dengan berdemo. Padahal, awalnya hari buruh merupakan perayaan keberhasilan para buruh.
Menurut Ari, di Sukabumi dia belum pernah melihat ada demo untuk Hari Buruh. Namun dia dan teman-temannya sempat berdemo di dalam pabrik untuk meminta kenaikan gaji yang tak kunjung naik. Setelah berlama-lama berdiri dan berteriak barulah akhirnya ‘Bos’ menyetujui permintaan mereka dengan menaikkan gaji sebesar Rp. 50.000. Aku sedikit tertawa mendengar bahwa gaji yang dinaikkan hanya sebesar Rp. 50.000. Tapi kalau dipikir-pikir, Rp. 50.000 dikali beratus-ratus orang, tentu jadinya akan menjadi jumlah yang sangat tinggi. Ari pun tidak kecewa, meskipun gajinya hanya dinaikkan Rp.50.000.
Mira
Sesampainya di Istana Merdeka, kawat berduri dan barisan Polisi menyambut para demonstran. Istana Negara itu terlihat anggun dan tenang, kontras sekali dengan keadaan di luarnya yang dipenuhi oleh lautan manusia. Tak ada aksi brutal yang dilakukan oleh para demonstran. Mereka sempat membakar ban dan kertas-kertas panji, namun dihentikan oleh orator dengan teriakan yang membuatku tertawa.
“Hei, jangan bakar-bakaran!”
“Bakar ban lagi! Mahal itu, yang dibakar barusan aja udah 300 ribu!”
“Udah udah, jangan bakar lagi!
Zikri
Ketika barisan massa buruh itu tiba di depan Istana, para orator bergantian menyampaikan orasinya, mengajak massa untuk meneriakkan tuntutan-tuntutan, mengajak melakukan aksi yang damai dan bekerjasama dengan para Polisi. Mereka tidak mencari rusuh, mereka tidak melakukan tindakan merusak, mereka hanya ingin kebutuhan, kesejahteraan, serta hak-hak mereka sebagai buruh dipenuhi. Dan satu-satunya harapan hanyalah Presiden dan anggota DPR, yang berprofesi sebagai ‘pelayan’ masyarakat, mengeluarkan suatu kebijakan yang sesuai dengan keinginan para buruh di Indonesia. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, adalah suatu hal yang wajar jika buruh dan masyarakat miskin yang tertindas lainnya meneriakkan, “Presiden turun saja!”
Lewat pukul satu siang, matahari semakin terik. Saya duduk di trotoar di depan Istana, di antara gerak-gerak massa yang berunjuk rasa. Baterai kamera saya habis, dan saya pun sudah lelah, dan akhirnya hanya sanggup melihat para buruh yang tidak kenal lelah berteriak, “Hari Buruh Dunia, rakyat berontak, hancurkan neolib!” Sementara itu, teman saya Mira yang tadi sudah sempat saya temui, sekarang entah hilang ke mana, mungkin dia ikut serta merayakan hari jaya para buruh itu.
Mira
Salah satu orasi yang menyita perhatianku adalah dari Pak Muchtar Pakpahan. Ia merupakan mantan wakil presiden serikat buruh internasional. Pak Muchtar menjelaskan tentang sejarah awal adanya Hari Buruh, dan alasan kenapa para buruh harus tetap menuntut keadilan. Menurutnya, demonstrasi yang dilakukan hari ini semata-mata untuk memperbaiki nasib anak cucu mereka di kemudian hari.
Pukul 14.30 WIB massa yang tergabung dalam PPMI beriringan menjauhi Istana Merdeka. Aku pikir aksi demonstrasi akan selesai. Namun, tak lama kemudian, massa dan mobil yang mengangkut sound system serta para orator kembali mendekati Istana. Mereka pun bolak-balik sambil meneriakkan tuntutannya.
13:02 WIB (sms berbalasan Ageung dan Mira):
Mira : ‘Hati-hati ya. Kabarin lagi aja. Atau lo naik kereta ke Kota’
Ageung : ‘Dari Kota terus kemana?’
Mira : ‘Ke istana dah pokoknya. Nanti tanya aja dari Kota..’
Stasiun Kota
Ageung
Tidak ada kendala sama sekali, sampailah aku di Jakarta Kota. Aku sempat bertanya-tanya ke petugas yang ada di stasiun, bagaimana caranya untuk menuju Istana.
“Naik kereta Pakuan saja, turun di Gambir. Kan depan Monas tuh!” Kata Si Bapak.
“Lah emang dekat Monas, Pak?”
“Ih, Si Eneng gimana, sih? Ya kan Istana di situ!”
Sms terakhir dari Mira kepada Ageung: ‘udah pada bubar, Geung.. lo dimana?’
Aku baru tersadar ternyata Istana memang dekat Monas. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menaiki kereta menuju Stasiun Gondangdia. Dari Gondangdia, aku menaiki jasa ojek untuk menuju ke Monas. Dan bertemulah aku dengan Mira dan Zikri di depan Istana Merdeka. Ternyata demo telah usai. Kami bertiga beristirahat sejenak di rerumputan di seberang Istana Merdeka. Aku sedikit kecewa karena tidak bisa menyaksikan demo.
Dirangkum oleh: Otty Widasari
Foto oleh: Mira Febri Mellya
Akhirnya kita jadi nulis bertiga juga… meskipun pada Oon.. hahahaha..
hidup ageunggg . . . 😀
ageung, pada hari muinggu kuturut kata mere ke kota…haha
jadi sebenernya yang oon itu siapa ya?
Asyeeeeek,,, seru nih tulisan kali ini hahahah! mantap! kapan-kapan nulis bertiga lagi nyok! hehehe
gue ngakak baca nih tulisan,,, si ageung sibuk gara-gara nyasar mau ke istana, si merre malah asik ngliatin para buruh takjub ama monas… bwahahaha,, mantap!
Lah lu? asyik tidur… hahahhaa
kyak nonton filem bacanya, jadi pengen bikin kyak gini juga di sarueh, hehe
seru seru
selamat untuk ageung yang sudah mengikuti kata merre.. sebenarnya itu tak lepas dari komando zikri yang bilang ke gue, “mer.. si ageung suruh aja naik kereta aja ke Kota!”
sekian dan terimakasih.
yuk bikin lagi..