Perayaan Kemerdekaan yang telah mencapai tahun ke-64 ini sepertinya tampak serupa dengan tahun-tahun sebelumnya; menghias gapura dengan dominan warna merah dan putih. Pada tahun ini aku melihat di salah satu belahan gapura bertuliskan angka dan belahan gapura lainnya ditulisi dengan angka. Tampak berkibar bendera Negara di tiang-tiang atau tonggak-tonggak yang mendadak dibuat di setiap bagian depan rumah.
Biasanya bendera Negara tersebut dinaikkan sebelum tanggal 17 Agustus dan diturunkan setelah tanggal tersebut. Setelahnya, bendera-bendera tersebut dinaikan oleh segelintir institusi pada saat upacara saja. Sedangkan rumah-rumah yang pada Agustus mengibarkan bendera Merah Putih, tidak lagi mengibarkan bendera tersebut sampai pada Agustus tahun selanjutnya. Bulan Agustus sepertinya merupakan bulan dimana rasa ‘nasionalisme’ rakyat Indonesia bergelora dibandingkan bulan-bulan lainnya di kalender masehi ini.
Aku tidak pernah lupa bagaimana rasanya makan kerupuk pada saat perayaan Agustusan atau perayaan tujuh belasan (sebutan untuk perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia), meskipun aku lupa kapan kali terakhir mengikuti perlombaan makan kerupuk tersebut. Perayaan ini kemudian menjadi bentuk ketradisian bangsa kita yang setiap tahun oleh kebanyakan daerah implementasinya serupa dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun tidak menutup kemungkinan-kemungkinan adanya perbedaan kreatif dan inovatif yang dilakukan oleh daerah-daerah perayaan Agustusan tersebut.
Ada yang berbeda pada perayaan tahun ini. Aku rasa karena faktor seperti akan dilaksanakannya ibadah puasa sehingga malam puncak perayaan 17-an yang biasanya dilaksanakan pada malam Minggu setelah 17 Agustus kini justru dilaksanakan bukan pada malam akhir pekan.
Salah satu yang terunik dari semua pengalaman-pengalaman dalam perayaan Agustusan ini adalah ketika Nico Permadi menunjukan foto ketika monyet-monyet Kalijaga melakukan perlombaan ‘panjat pinang’. Sehingga, terasa gelora keceriaan yang tidak hanya dirasakan manusia saja bahkan monyet pun mendapat ‘keceriaannya’ tersendiri.
___
Teks: Bayu Alfian
Foto: Iskandar Abeng & Nico Permadi