Nama Gue Dani

Nama gue Dani, kelahiran 1989.  Hidup dan sekolah gue di Jakarta berantakan.

Kenapa gue ada di Padangpanjang?

Saat masih tinggal di Jakarta, gue bekerja di markas bilyar bernama Pool n Café, demi mencapai cita-cita menyekolahkan adik-adik. Tapi mereka yang tinggal bersama bokap dan mak tiri gue di kampung. Mereka gak mau gue ajak ke Jakarta. Tiba-tiba ada kabar adik gue yang tertua kabur dari rumah, karena sering digebukin bokap dan takut. Sampai-sampai dia berniat melaporkan bokap ke polisi. Langsunglah gue cabut ke sana. Gue hanya berbekal uang seratus ribu hasil tiga hari mengamen plus orasi di bis Kopaja P-16 jurusan Tanah Abang-Ciledug. Gue meminta uang pada bou (bibi-Tapanuli Selatan) gue, setelah menceritakan niat pulang kampung. Memang dia orangnya agak ngepel (pelit). Dia tidak memberikan uang melainkan tiket bis ALS tujuan Medan seharga empat ratus ribu dan sedikit uang saku sebesar lima puluh ribu. Agar sesampai di kampung kantong tidak kosong, yang bisa membuat malu, gue menahan lapar dalam perjalanan. Kalau dihitung-hitung, selama empat hari perjalanan menuju kampung, gue hanya makan sebanyak 6 kali.

Gue turun di Purba Baru, sebuah tempat di perbatasan Sumbar dan Sumut. Dari situ gue cukup berjalan kaki menuju rumah bokap karena jaraknya dekat. Sesampainya  di rumah bokap, gue langsung memeluk adik bungsu gue yang berusia sekitar 5 atau 6 tahun. Gue nangis karena adik gue tidak mengenali. Waktu rambutnya diusap, gue liat ada luka di kepalanya seperti bekas dipukul. Gue tanya, namun dia tidak mau menjawab. Lalu gue tanya ke adik gue yang lebih besar, “Kenapa kepala si Rahmat?”, Dia menjawab bahwa dipukul sama mak tiri karena mecahin ember. Adik gue dipukul pakai gayung dan dimasukkan ke dalam ember. Lalu dibawa ke kali dan diancam akan dhanyutkan di kali untuk menakutinya. Gue langsung marah besar. Gue tanya mak tiri,”Kenapa kepala si Rahmat?”. Dia menjawab itu hanya gatal-gatal.

Untuk meredakan emosi, gue hanya tersenyum. Lalu gue ngomong sama bokap. Kenapa sampai si Mala (adik tertua) bisa kabur dari rumah? Bokap hanya menjawab karena dia susah diatur. Padahal menurut Mala, dia sering dipukulin juga. Lalu uwa’ gue yang ada di kampung datang untuk menyelesaikan masalah adik-adik. Di situlah gue lampiaskan amarah. Gue tanya lagi pada bokap, “apa masih kurang puas ngegebukin Dani waktu kecil? Sampai sekarang masih ingat gimana ayah ngegebukin Dani. Juga saat ayah mengikat kaki dan tangan kaki Dani. Lalu Ayah bawa Dani ke dalam kamar mandi yang udah ga kepake sampai digigit tikus. Teriakan keras, tetep aja ayah ga ngebukain iketan. Lalu ayah juga membawa ke atas genteng sampai orang-orang bilang ayah Si Dani gila!”

Sampai di situ bokap diam. Gue katakan, “kalau adik-adik digebukin, sampai mati pun dia ga bakalan ngelawan. CobaaAyah gebukin Dani lagi, sekarang pasti akan ngebales kalau memang ga salah. ”Di situlah bokap menangis dan minta maaf sama gue dan adik-adik. Mak tiri gue pun minta maaf juga karena telah berbuat kasar sama adik-adik. Sebenarnya gue nggak bisa maafin dia. Tapi karena dia lagi hamil, terpaksalah gue maafin.

Selama di kampung, gue cuma makan dan tidur. Memang tidak bisa ngapa-ngapain. Disuruh ngegarap sawah pun gue gak bisa. Lalu gue telepon sepupu gue, Angga yang bersekolah di STSI Padangpanjang. Gue tanya dia apakah ada pekerjaan untuk gue di sana. “Gue bete nih dan malu sama bokap. Gue ke sini bukannya bantu, malah nyusahin”. Lalu Angga bilang, “elu ke sini aja. Masalah pekerjaan gampang tuh”. Gue pikir boleh juga, daripada malu sama bokap.

Pergilah gue ke Padangpanjang dan minta uang sama uwa’ di kampung. Uwa’ pertama memberi sepuluh ribu, uwa’ yang kedua memberi sepuluh ribu juga. Bokap mencari pinjaman dari kenalan-kenalannya yang terkumpul seratus ribu. Akhirnya terhitung sebagai hutang yang harus dilunasi kepada bokap.

Ongkos bis menuju Padangpanjang lima puluh ribu. Sampai di Padangpanjang gue naik ojek seharga tujuh ribu sampai rumah makan Pak Datuk di Silaiang. Belakangan baru tahu, kalau ongkos dari terminal ke rumah makan itu hanya tiga ribu. Dari sana menuju rumah uwa’ gue. Angga yang berasal dari Bogor juga tinggal di situ.

Angga memperkenalkan gue dengan Ari. Lalu dia yang mengajak nongkrong di kampus STSI. Di sanalah gue berkenalan dengan teman-teman dari Sarueh. Gue banyak ngobrol dengan mereka. Mereka semua tau permasalahan yang gue hadapi. Gue diajari sama kawan-kawan di Sarueh tentang fotografi. David mengajarkan cara memegang kamera foto digital. Sambil belajar, gue tanya-tanya pada mereka soal pekerjaan, ”Kalau ada kerjaan, ajak-ajak gue ya.”

David mengajak gue kerja. Biar cuma bantu-bantu doang, gue bisa belajar. Dia mengajak motret orang wisuda. Padahal gue ga ngerti, tapi yang penting gue coba aja dulu. David nyuruh gue motretin suasana yang menurut gue paling penting dalam momen wisuda. Gue motretin orang-orang waktu pembukaan, trus mindahin tali toga, waktu lagi senang-senang di wisuda, main dorong-dorongan sama teman-temannya yang juga lulus, foto bareng keluarganya, dan foto waktu mereka sedang rame-rame ngelempar toga ke udara. Alhamdulillah bisa dan gue dikasih duit sebesar tiga puluh ribu. Seneng banget.

Gue juga diajak buka bazaar sama kawan-kawan Sarueh di acara dies natalis kampus. Sambil ngebagi pengalaman, gue tanya-tanya sama kawan-kawan yang lain tentang pekerjaan. Kebetulan waktu itu ada seorang seniornya kawan-kawan yang kerja di Café Caristo, hendak keluar dari pekerjaannya dan menawarkan lowongan itu pada gue. Dengan dukungan kawan-kawan, gue bisa mendapatkan pekerjaan itu. Ari membantu gue membuat surat lamaran kerja, dan dia memberi uang sekitar dua puluh ribuan untuk memfoto kopi ijazah/KTP serta cuci foto. Ari memotret di Sarueh untuk dijadikan pas foto, lalu latar belakangnya (background) dibikin jadi warna merah di komputer.

Pekerjaan sebagai waiter di kafe itu mengharuskan gue memotong rambut. Itu berat. Gue sedang memanjangkan rambut dan bercita-cita membikin rambut gimbal. Dengan alasan akan sakit kalau harus potong rambut, akhirnya gue mendapatkan pekerjaan di bagian belakang kafe sebagai pencuci piring. Kawan-kawan di Sarueh sempet sebel karena kerjaan mencuci piring itu. Gue nggak mau bikin kawan-kawan sebel. Gue bilang senang di sana, karena di dapur bisa mencuri kepandaian memasak dari koki di sana.

Belum sebulan kerja di Café Caristo, gue berniat; setelah menerima gaji pertama, gue akan memasakkan kawan-kawan di Sarueh. Dan kepada kak Otty dari Forum Lenteng, gue berjanji akan memamerkan hasil curian ilmu memasak yang didapat dari mengamati koki di kafe. Walau belum pernah mempraktekkannya. Gue akan memasak nasi goreng ala Café Caristo, yang dibungkus dengan telur dadar.