Padangpanjang, Sumatera Barat

Nagari Ambo

Pada sebuah pagi di Padang Panjang, kota yang terkenal dengan sebutan Kota Serambi Mekah, udara dingin masih memaksa tubuh untuk bersantai-santai sambil meneguk kopi dan ngobrol dengan teman-teman di markas Komunitas Sarueh. Namun, mengingat hari ini adalah tanggung jawab kami untuk mengambil stok gambar tambahan untuk keperluan produksi video dokumenter,  maka kami menguatkan niat untuk melangkahkan kaki ke luar dari ‘sarang’.

Bukit Tui dilihat dari Pacuan Kuda Bancah Laweh

Bukit Tui dilihat dari Pacuan Kuda Bancah Laweh

Kami pergi naik motor untuk menuju beberapa tempat pengambilan gambar. Sebelum pergi ke tujuan kami mampir ke rumah salah satu teman, bernama Anggi, untuk meminjam handycam sebagai alat alternatif untuk mengambil gambar saat berdialog dengan narasumber. Siapa tahu dengan kamera handycam yang berukuran mini, si narasumber bisa lebih santai ngobrol dengan kami, dibandingkan jika menggunakan kamera besar yang kami bawa. Sesampainya  di rumah Anggi, Fadly mengetuk pintu, yang kemudian dibukakan oleh ibunda Anggi sambil memberi tahu bahwa anaknya sedang  tidur di dalam kamar. Orang tua Anggi menyuruh langsung ke kamar untuk membangunkan Anggi dan meminjam handycam tersebut kepadanya. Setelah membangunkkan Anggi dan memohon ijin untuk meminjam handycam, Anggi pun menjawab dari dalam selimut.

“Ambil saja di atas kursi yang di dekat lemari,“ katanya.

Fadly pun langsung mengambilnya sambil berkata, “Anggi tau siapa yang pinjam? Fadly nih yang pinjam ya…”

Setelah handycam ada di tangan, kami pun pamit kepada ibunda Anggi. Pamit kami justru dijawab dengan sebuah pertanyaan.

“Sudah bilang ke Anggi kalau mau pinjam kameranya, Nak?”

“Sudah, Bu.”

“ Anggi-nya mana?”Si ibu bertanya kembali.

“Masih tidur, Bu.”

Si ibu yang tak percaya bahwa kami sudah meminta ijin dan takut kalau kami membawa kabur handycam anaknya, kemudian pergi ke kamar anaknya untuk bertanya. Suaranya terdengar hingga ke telinga kami yang berada di luar rumah. Sedih rasanya hati ini karena dicurigai.

Anggi pun menghampiri kami dengan tak sadar bahwa sudah meminjamkan handycam-nya kepada kami. Akhirnya setelah menjelaskan kejadian dengan urut, Anggi pun meminta maaf karena ia belum sepenuhnya bangun dari tidur, ketika Fadly meminjam handycam-nya.

Perjalanan hari itu pun kami lanjutkan dengan sedikit menggerutu. Tujuan selanjutnya adalah mengambil gambar bangunan kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Padang Panjang. Gerutu kami bertambah lagi ketika harus berurusan dengan birokrasi di kantor ini. Namun, semua bisa terlewati.

Matahari pun mulai meninggi dan rasa lapar mulai hadir di perut kami. Selama perjalanan kami berdiskusi untuk menentukan tempat makan siang yang cocok unutk hari ini. Pilihannya banyak sekali, mulai dari Rumah Makan Gumarang, Sate Mak Syukur, Bakso Amin, dan Rumah Makan Serambi. Akhirnya kami sepakat untuk menjatuhkan pilihan kepada Rumah Makan Serambi.

Setelah menyambangi lokasi pengambilan gambar berikutnya, yaitu Taman Makam Pahlawan Kebun Sikolos, maka kami menuju Rumah Makan Serambi yang terletak di Pasar Padang Panjang.

Suasana Pasar Padang Panjang

Suasana Pasar Padang Panjang

Selama perjalanan, kami berdiskusi kembali. Kali ini menentukan lokasi makan. Hari sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB dan kami masih harus mengambil gambar di Gelanggang Pacuan Kuda Bancah Laweh. Akhirnya, untuk mengefektifkan waktu, kami pun berniat makan nasi bungkus di Bancah Laweh, setelah syuting selesai.

Bancah Laweh berarti rawa yang sangat luas. Tempat ini sangat indah di sore hari. Gelanggang yang dulu aktif digunakan sebagai arena pacuan kuda, kini lebih sering digunakan masyarakat untuk berlatih sepak bola, lempar lembing, sprint, dan olahraga lainnya.

Di sore hari, padang rumput di Bancah Laweh dimanfaatkan sebagai arena olahrga. Salah satunya sepak bola.

Di sore hari, padang rumput di Bancah Laweh dimanfaatkan sebagai arena olahrga

Di padang rumput nan luas, kuda-kuda bergerombol memamah rumput sebelum akhirnya digiring pulang ke kandang oleh para pemilik atau penjaganya. Selain itu, anjing-anjing pemburu yang berjalan di samping tuannya tampak saling berusaha mengejar anjing lain di depannya sambil menggonggong bersahutan. Keindahan Bancah Laweh ditambah pula dengan pemandangan  Bukit Tui yang memanjang di sisi gelanggang.

Kuda di Bancah Laweh

Kuda di Bancah Laweh

Melihat lokasi Bukit Tui yang cukup tinggi, kami pun berencana mengambil gambar kota Padang Panjang dari atas bukit. Maka, bergegaslah kami ke sana, sebelum Maghrib datang.

Dari Bukit Tui, seluruh penjuru Kota Padang Panjang terlihat dengan jelas. Kami pun merasa tak menyesal harus sedikit bersusah payah naik ke atas bukit. Sekitar pukul 17.00 WIB, pengambilan gambar pun selesai. Sementara itu, plastik hitam berisi nasi bungkus masih belum dibuka. Akhirnya kami memutuskan untuk memakan bekal kami di atas bukit saja. Lagi pula di bawah bukit kami melihat masih ramai warga sekitar yang sedang menghabiskan hari dengan ngobrol diselingi tawa.

Pemandangan kota Padang Panjang dari Bukit Tui

Pemandangan kota Padang Panjang dari Bukit Tui

Namun, lama kelamaan pandangan kami dengan kerumunan warga itu saling bertemu dari kejauhan. Ternyata mereka memperhatikan kami pula dari bawah sana. Tanpa rasa curiga apapun, kami pun duduk berhadapan membuka nasi bungkus.

Baru saja akan melepas karet pembungkus, tiba-tiba sebuah teriakkan mengagetkan kami.

Oi, Dik… Turun!”, teriak salah satu bapak yang berasal dari kerumunan warga tersebut.

Teriakkan itu kemudian bertambah kencang dan tegas. Rasanya seperti dimarahi pak guru karena tak membuat pekerjaan rumah.

Mulanya kami tak sadar bahwa mereka berteriak kepada kami, karena jarak cukup jauh. Akhirnya kami pun sadar dan tahu maksud teriakan mereka. Pastilah kami disangka sepasang sejoli yang akan ‘bermesraan’ di bukit yang sepi.

Nasi bungkus kami masukkan kembali ke kantong plastik. Sambil turun dari bukit, kami mengatur rencana.

Fadly sedang mengambil gambar dari BUkit Tui

Fadly sedang mengambil gambar dari Bukit Tui

Fadly: “Kita pasti dikira mau mesum, nanti lo bilang aja kita udah ijin ya!”

Mira: “Oke. Tapi ijin sama siapa?”

Fadly: “Sama walikota!”

Mira: “Hah?! Mendingan kita jelasin aja kalau kita lagi ambil gambar untuk produksi dokumenter.”

Fadly: “Iya.”

Itulah kira-kira percakapan singkat kami sambil turun dari sisi bukit yang sebenarnya tak seberapa tinggi dan terjal. Buktinya kami masih bisa menempuhnya dengan motor.

Sesampainya di kerumunan warga tersebut, kami langsung disambut dengan muka penuh amarah dari para bapak. Sementara itu para ibu justru senyum-senyum melihat wajah kami yang takut tapi sok berani.

“Ada apa Pak? Kok Bapak berteriak kencang kepada kami?” Tanya Fadly.

“Apakah kalian sudah lapor tadi untuk naik ke atas sana?” Tanya seorang bapak dengan nada meninggi.

“Ambo lah dulu lapor ka walikota, Pak!” (saya sudah lapor langsung ke walikota, Pak!) jawab Fadly.

“Walikota tu punyo nagarinya sendiri. Kini Adik ado di siko. Iko nagari ambo! Ndak ado hubungannyo jo walikota!”
(Walikota itu punya wilayahnya sendiri, dan Adik sekarang berada di  sini. Ini adalah kampung saya, tidak ada hubungannya dengan walikota!” Jawab Si bapak.

Tentulah para bapak itu tak percaya bahwa kami telah meminta ijin terlebih dahulu kepada walikota. Melihat penampilan kami yang acak-acakan, rasanya memang tak mungkin kami telah meminta ijin pada walikota. Akhirnya, kami menjelaskan maksud dan tujuan kami ke atas bukit tidak lain adalah untuk keperluan suting video dokumenter.

Setelah mendengar penjelasan dan permohonan maaf kami yang tidak minta ijin ke warga setempat, amarah dan rasa curiga mereka pun hilang.Mereka juga sempat menawarkan kami untuk kembali ke bukit dan melanjutkan pengambilan gambar. Namun, kami sudah tak berminat dan memutuskan untuk pulang kembali ke basecamp Komunitas Sarueh. Sejenak kami terdiam di perjalanan pulang. Nasi bungkus masih di tangan, dan bayangan untuk merasakan makan di atas bukit seperti sedang piknik tak sempat jadi kenyataan.

Sebenarnya kecurigaan masyarakat sekitar itu wajar saja. Karena di bukit ini pernah terjadi peristiwa Galodo (tanah longsor besar) pada tahun 1987. Banyak mitos masyarakat yang berkembang atas peristiwa yang banyak ‘menelan’ korban jiwa ini. Ada yang menyebutkan Galodo terjadi karena masyarakat sekitar Bukit Tui bermain judi saat bulan Ramadhan. Ada pula yang beranggapan bahwa Galodo Bukit Tui terjadi karena bukit ini banyak dipakai untuk mesum. Mungkin, karena itulah para warga sekitar merasa kami wajib melaporkan diri kepada mereka, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di wilayah mereka. Perkataan “nagari ambo” seolah menjadi pernyataan batas kekuasaan wilayah mereka, mungkin sebenarnya untuk menjaga lingkungan.

Bukit Tui

Bukit Tui

Akhirnya, kami membuka nasi bungkus itu di markas Sarueh sambil menceritakan pengalaman kami di nagari (desa) orang. Teman-teman pun tak bisa berhenti tertawa mengingat perkataan si bapak yang mengeluarkan kata “nagari ambo”. Seolah-olah desa itu adalah miliknya seorang. Seorang teman pun iseng nyeletuk, “Harusnya lo berdua jawab ke bapak itu, ‘Pak, kalau iko nagari bapak, tu dima nagari ambo?'” (Pak, kalau ini negeri milik Bapak, terus di mana negeri saya?)

Walau bagaimanapun kami mendapat sebuah pelajaran berharga. Kemana pun kita pergi, kita harus memegang pepatah dari para orang tua dulu, “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”

Begitulah, kisah kami hari itu. Pada hari-hari berikutnya “nagari ambo” tetap jadi ledekan yang populer di antara teman-teman Komunitas Sarueh.

About the author

Avatar

Fadly Nasrul

Dilahirkan pada tanggal 16 Maret. Ia tinggal di Padangpanjang dan kuliah di ISI Padangpanjang jurusan Televisi dan Filem. Ia juga aktif di komunitas Sarueh.

8 Comments

  • Mere top deeh!lumayan bs meng-ingatkan kenangan lampau di kota padang panjang yang memang kota serambi mekah!!! Dulu jg pernah d tegor bapak paro baya d daerah wisata minang filips kata bapak itu ” tolonglah tenggang raso jo pareso” artinya tolonglah jaga etikanya,. Padahal kami cm jalan-jalan, sesekali duduk2 berduaan sambil menikmati suasana perbukitan yang eksotis, mgkn d daerah itu sepasang muda-mudi dilarang datang berdua2an.

  • si bapak bilang dari bawah “hoiii manga baduo -duo tu turun lah lai hari lah mugarik tasapo beko” (ngapain tu berdua turun lagi sudah mau magrib bisa-bisa nanti kesurupan)

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.