“Tahun ini, setelah melihat kembali lima festival sebelumnya, kami memutuskan untuk membahas suatu hal yang sangat dekat dengan keseharian orang Indonesia,” jelas Mahardika Yudha, Direktur Festival MUSLIHAT OK. Video – The 6th Jakarta International Video Festival, pada acara konferensi pers yang diadakan di Ruang Seminar Galeri Nasional, Jalan Medan Merdeka Timur, No. 14, Jakarta, Sabtu sore, 3 September 2013. “Itu tentang praktek bagaimana konsumen menyikapi kehadiran teknologi dalam kehidupan sehari-hari.”
Sore itu aku menyempatkan diri hadir untuk menyaksikan konferensi pers tersebut, hitung-hitung untuk mencari makanan gratis sembari mengetahui latar belakang ide tema Festival OK. Video tahun ini, yang akan dibuka pada tanggal 4 September 2013, pukul 19:00 WIB, di Galeri Nasional Indonesia.
OK. Video – Jakarta International Video Festival merupakan sebuah acara festival dua tahunan yang digagas oleh ruangrupa, sebuah organisasi seni rupa kontemporer, atau biasa disebut artists’ initiative, yang didirikan pada 2000 oleh sekelompok seniman di Jakarta yang bergiat mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian, serta penerbitan buku, majalah, dan jurnal (lihat http://ruangrupa.org/). Pada website resminya, http://okvideofestival.org/, disebutkan bahwa festival ini sudah diinisiasi sejak tahun 2003 dan secara berurutan telah menghadirkan beragam tema kontekstual, yakni SUB/VERSION di tahun 2005, MILITIA di tahun 2007, COMEDY di tahun 2009, FLESH di tahun 2011, dan untuk tahun 2013 ini mengusung tema MUSLIHAT. Festival ini merupakan salah satu acara besar di ranah seni yang tak lelah menghadirkan wacana dalam melihat, mencatat dan membaca sejauh mana teknologi media (video) hadir dan digunakan dalam ruang lingkup praktek-prektek sosial dan kultural, terutama dalam konteks perkembangan masyarakat global dan tekonologi informasi dan komunikasi dewasa ini.
Pada tema MUSLIHAT ini, OK. Video menaruh perhatian yang besar pada hasrat masyarakat dalam menanggapi teknologi yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari kita. Tanpa disadari, banyak aksi mengakali teknologi yang dilakukan oleh orang-orang, sesungguhnya, merupakan sebuah wacana yang layak diperdebatkan, mengingat situasi dan kondisi dunia sekarang ini, mulai dari krisis di negara-negara zona euro, gejolak Timur Tengah, ketegangan di Semenanjung Korea, kebangkitan Negara Jalur Sutra, hingga fenomena kebertahanan negara-negara berkembang, dan khususnya pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Ternyata, akal-akalan warga biasa terhadap teknologi-teknologi produksi negara-negara maju yang selama ini kita lihat, bukanlah sekedar kecerdasan musiman atau kebetulan, tetapi bisa kita baca lebih jauh relevansinya terkait polemik sosial-ekonomi-politik-budaya global.
Penekanannya ialah tentang bagaimana konsumen “Tidak hanya berhenti sebagai seorang konsumen, tapi juga dia sebagai produsen,” kata Diki, panggilan akrab sang Direktur Festival. “Dalam lima tahun terakhir ini, kita melihat bagaimana fenomena digital dan perkembangan media cukup pesat. Di satu sisi, si konsumen punya posisi sebagai pengkonsumsi itu sendiri, di sisi lain dia juga memproduksi konten yang bisa didistribusikan (salah satunya.red) secara online. Ada hal menarik soal bagaimana konsumen melihat tekonologi itu sebagai alat produksi, pake tanda kutip, “produksi”.”
Diki kemudian menjelaskan salah satu contohnya, yakni akal-akalan warga yang menjadikan tutup panci sebagai antenna TV. Akal-akalan yang serupa dengan hal itu, khususnya di Indonesia, telah bertumbuhkembang secara organik, dan secara tidak langsung telah menegaskan pondasi wacana mengenai strategi konsumen yang menggunakan cara-caranya yang mandiri untuk mengembangkan atau memenuhi hasratnya demi mengakases teknologi itu sendiri. Diki menyatakan bahwa fenomena ini dapat diperbincangkan dan dipahami sebagai pertumbuhan kultural yang penting, dan juga relevansinya dengan masalah sosial dan politik, salah satunya terkait dengan kehadiran Negara China sebagai salah satu negara produsen teknologi terbesar di dunia.
Di tengah-tengah keramaian para wartawan yang sibuk mencatat setiap penjelasan sang Direktur Festival, aku mulai merasakan pegal di tangan akibat menggenggam kamera video yang merekam konferensi pers tersebut. Perutku juga semakin lapar, tetapi aku mencoba untuk mencerna setiap pemaparan yang diberikan oleh Diki dan para pembicara yang hadir saat itu.
Dalam kurun waktu satu setengah tahun belakangan, aku mendapatkan kesan bahwa di lingkungan kelompok intelektual yang sering aku datangi, baik di kampus maupun di komunitas atau organisasi non-pemerintah, terdapat semacam keyakinan (atau kecenderungan untuk meyakini) bahwa masalah krisis dunia yang sekarang sedang terjadi memiliki jawabannya di negara-negara berkembang. Ketidakteraturan yang ada di wilayah “tidak/belum maju” ini tak lagi dilihat sebagai sengkarut dan kalibut. Akan tetapi, ide-ide mustahil yang mencoba “melanggar” tata aturan (seperti tata aturan cara pemakaian alat/teknologi yang benar) justru diamini sebagai gejala positif yang memantapkan fleksibilitas hidup masyarakat yang tak mau terkungkung dalam kekakuan sebuah keteraturan.
Setelah banyak berdiskusi dengan beberapa orang mengenai fenomena ini, aku tersadar bahwa ada “energi swadaya” yang unik yang menjadi ciri khas negara-negara Asia atau negara-negara “non-produsen”. Sebagaimana gagasan yang sempat kubaca pada salah satu artikel yang dinaikkan KOMPAS pada sekitaran Bulan Maret 2012, terkait isu krisis Eropa, kekhasan negara-negara Asia adalah memiliki mazhab komunal. Krisis bisa diatasi dengan akal-akalan warga yang melandaskan pengabdian hidupnya melalui prinsip gotong royong: warga secara bersama-sama memiliki inisiatif dan kreativitas untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka, yang tidak melulu merujuk pada persoalan finansial, tetapi lebih kepada kesadaran dan upaya bersama. Aku bahkan sempat takjub ketika menyadari bahwa salah satu yang membantu pertumbuhan ekonomi bangsa kita pasca krisis ekonomi 1997 adalah hadirnya warung-warung kelontong atau warung-warung tenda yang dengan demikian tetap menjaga sirkulasi ekonomi yang sedang gonjang-ganjing pada masa itu. Hal ini berbeda dengan negara-negara maju di Eropa, terutama yang orientasi sistem kapitalisme dan liberal-nya kuat, yang tidak mengenal mazhab komunal. Atau dengan kata lain, sistem yang telah maju itu pun bisa dibilang tak mengenal “inisiatif warga” sebagaimana cara kita mengenalnya. Aturan baku sistem tak sepenuhnya harus terus dipatuhi, ada kalanya kita harus “melanggar” untuk tetap bisa berjalan.
Lalu, bagaimana melihat fenomena ini dalam konteks aksi mengakali tekonologi yang diwacanakan oleh OK. Video? Jika kita mencermati isu yang diwacanakan KOMPAS adalah mengenai akal-akalan terhadap sistem ekonomi, sebenarnya hal itu tak jauh dengan ide MUSLIHAT dalam festival ini. Aturan-aturan baku dari cara pakai dan kegunaan tekonologi harus “dilanggar” (atau istilah ramahnya: dikembangkan dengan dasar perspektif warga itu).
Tentu saja, aku tidak sedang menyetujui tingkah laku negatif beberapa orang. Beberapa contohnya seperti pengguna jalan yang menjadikan trotoar sebagai jalur perlintasan sepeda motor, akal-akalan pedagang yang mendirikan lapak dadakan sehingga memunculkan kemacetan jalan, atau aksi curi listrik oleh oknum yang memanipulasi saluran PLN. Aksi “melanggar” aturan yang kumaksud adalah aksi-aksi warga yang berdampak positif. Contohnya, aksi para pedagang kopi sepeda atau odong-odong di alun-alun kota, yang menemukan strategi untuk tetap dapat melanjutkan usaha tanpa harus memakan ruang, dan bahkan menawarkan cara baru untuk memberi kemudahan dalam melestarikan interaksi sosial yang terbangun di ruang publik: warung kopi versi mobile. Contoh lainnya, teknologi pembangkit listrik tenaga onthel (PLTO) yang ditemukan oleh seorang pemuda, bernama Median Wahyu Utomo, di Kendal, Jawa Tengah (lihat di http://dreamindonesia.wordpress.com/2011/05/31/kreatif-warga-desa-ciptakan-plto-pembangkit-listrik-tenaga-onthel/). Atau aksi seperti yang disebutkan oleh Diki itu, tutup panci jadi antenna TV. Aksi-aksi seperti itu jelas “melanggar” aturan yang lazim, tetapi memunculkan fungsi atau peran yang baru dari teknologi itu sendiri. Dan pada OK. Video, fokus MUSLIHAT kemudian dicoba untuk diperbincangkan sesuai konteksnya dengan kehadiran tekonologi media (video).
Penjelasan singkat yang aku paparkan di atas menjadi argumentasi pribadiku untuk mengatakan bahwa MUSLIHAT OK. Video penting. Sebagaimana yang dipresentasikan pada konferesi pers waktu itu, ada enam motif yang digunakan OK. Video sebagai pendekatan untuk membaca gagasan MUSLIHAT, yakni substitusi atau untuk mencari pengganti, menambah atau mengubah fungsi atau nilai guna benda, menambah usia penggunaan, main-main, estetika, ataupun untuk sengaja menentang, menantang, dan meretas sistem. Melalui festival ini, kita akan mendapat pengetahuan atau wawasan dalam memahami bagaimana individu atau komunitas dalam masyarakat mengakali keterbatasan teknologi untuk berbagai tujuan, mulai dari yang pribadi hingga berkembang menjadi tujuan-tujuan kolektif yang sifatnya lebih mapan.
Faktor lain yang menjadikan festival ini penting adalah metode penyelenggaraannya, di mana pihak festival menantang tiga kurator muda untuk membaca fenomena tersebut di masyarakat kita. Tantangannya, bagaimana menerjemahkan fenomena MUSLIHAT (yang dalam pengertian lain berhubungan dengan makna mistis, yakni membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin) ke dalam sajian presentasi karya seni video (dan seni media lainnya) dalam pameran OK. Video 2013 yang akan dilangsungkan dari tanggal 5 hingga 15 September nanti. Tiga kurator tersebut adalah Irma Chantily, Julia Sarisetiati, dan Rizki Lazuardi. Mereka mengkurasi karya-karya seniman dari berbagai dunia yang dianggap sedang membicarakan (atau berhubungan erat dengan) konteks MUSLIHAT tersebut. Dan dalam acara konferensi pers itu, dua kurator Irma Chantily dan Rizki Lazuardi turut hadir untuk menjelaskan kepada wartawan mengenai proses kurasi yang dilakukan OK. Video tahun ini.
“Yang paling utama kita lihat adalah penggunaan teknologi audio-visual, karena video sendiri adalah bagian dari teknologi tersebut,” Rizki Lazuardi menjelaskan tentang kuratorial MUSLIHAT. “Kita memperhatikan pola-pola apa saja yang ada di masyarakat, dan akhirnya pola itu berkembang. Cara masyarakat, terutama di negara non-produsen, dalam mengakali teknologi itu bersinggungan dengan banyak hal, dengan konvensi-konvensi ekonomi, hukum, dan juga nilai-nilai yang sudah jauh mengakar di masyarakat, seperti agama.”
Dalam penjelasan Rizki Lazuardi itu, dia mengutarakan bahwa terdapat perbedaan antara negara maju dan negara-negara non-produsen. Negara-negara maju lebih cenderung menciptakan karya yang memang tidak dimaksudkan untuk bentuk MUSLIHAT karena sistem yang mereka miliki telah mapan dan pola konsumsi yang jelas. Kondisi sosial-kultural ini menjadikannya berbeda dengan karya-karya dari negara-negara non-produsen. Yang menarik, Rizki mengutarakan bahwa pada proses kurasi yang ia lakukan bersama dua kurator lainnya dalam membaca fenomena MUSLIHAT, mereka menemukan bahwa ternyata aksi “mematahkan” konvensi yang dilakukan oleh warga itu ternyata tidak dibarengi dengan kesadaran yang penuh mengapa mereka melakukan hal itu. Temuan ini akhirnya menjadi fokus OK. Video untuk mengkaji dan menafsir fenomena mengapa masyarakat kita melakukan tindakan seperti itu.
Hasil kurasi yang mereka bertiga lakukan akhirnya membuahkan kategori-kategori besar. “Bagi kami itu penting untuk melihat apa-apa saja yang bisa jadi payung-payung pembacaan kami,” papar Irma Chantily, melanjutkan penjelasan Rizki Lazuardi.
Pertama, karya-karya yang memang sengaja dibuat untuk ide MUSLIHAT itu sendiri. Irma menjelaskan bahwa karya-karya ini biasanya bermain-main dengan medium teknologi yang digunakan sebagai karyanya sendiri. Yang kedua, karya-karya yang hadir sebagai pertanyaan tentang realitas. Kategori ini menjadi perhatian karena sebagaimana pernyataan Irma, “Ketika aktivitas pengolahan media dan pengalaman membuat representasi telah dialami oleh berbagai lapisan masyarakat, maka akan tercipta pula kesadaran mengenai subjektivitas di balik karya itu.”
Kategori selanjutnya adalah karya dan aktivitas utak-atik teknologi (media dan video), di mana kategori ini melihat bagaimana fungsi-fungsi teknologi yang kemudian dimodifikasi atau diubah sedemikian rupa sehingga mempunyai nilai dan fungsi baru dalam pengoperasiannya. Selanjutnya, kategori mengenai karya-karya yang hadir sebagai tanggapan atau komentar terhadap konvensi seni rupa. “Rupanya, banyak yang menggunakan karya-karya yang menyertai teknologi ini untuk mengkritik dirinya sendiri, otokritik terhadap konvensi seni rupa. Apa itu seni, siapa yang berhak mengatakan ini karya seni atau bukan, semacam itu,” kata Irma.
Dan untuk kategori yang terakhir, adalah kategori yang berbicara mengenai karya sebagai refleksi MUSLIHAT konsumen. “Kategori ini ingin melihat bagaimana media partisipatif telah berkontribusi dalam memberi ruang bagi keinginan dasar manusia untuk bersuara dan didengar, bahwa semuanya sekarang bisa menjadi produsen,” jelas Irma. “Dan ini sedikit berkaitan dengan kategori-kategori yang lain.”
Namun begitu, Irma mengatakan bahwa dalam presentasi karya pada pameran nanti, para kurator memang tidak men-display karya sesuai kategori-kategori tersebut. “Kami ingin pengunjung dengan bebas melihat dan memaknai sendiri, bisa saja mengikuti kategori-kategori yang sudah kami buat, tapi tentu pengunjung diharapkan bisa menikmatinya sendiri dan berinteraksi dengan karya itu sendiri dan memaknai apa itu MUSLIHAT,” jelasnya.
Dalam penyelenggarannya, MUSLIHAT OK. Video – The 6th Jakarta International Video Festival juga menginisiasi beberapa program, hasil kerja sama dengan beberapa lembaga festival luar negeri. Di antaranya adalah Media/Art Kitchen (edisi Jakarta), bekerja sama dengan Japan Foundation, yang menghadirkan 23 karya seni media dari Jepang dan Asia Tenggara, dengan kurator Ade Darmawan (Direktur ruangrupa) dan Sigit Budi Santoso. Program ini dilaksanakan tanggal 5 September 2013, di Galeri Nasional Indonesia.
Selanjutnya, ada program Video Out, bekerjasa sama dengan IMPAKT Festival (Belanda) dan Videobrasil (Brazil), serta Media/Art Kitchen, berupa pemutaran karya-karya dari tanggal 7 hingga 15 September 2013 di Kineforum. Selain itu, festival ini juga memiliki program publik berupa rangkaian diskusi, bincang seniman, festival tur, presentasi kurator dan workshop. Keterangan lebih lanjut mengenai jadwal festival bisa dilihat di website resmi OK. Video MUSLIHAT ini, http://okvideofestival.org/2013/.
Di penghujung acara konferensi pers tersebut, diputar sebuah karya video seniman Yogyakarta, Arya Sukapura Putra, berjudul E-Ruqyah (02’08” | 2013). Sebuah karya yang menampilkan seseorang bertelanjang dada sedang menempelkan ponsel ke kepala, dada, dan tangan, seolah-olah ponsel itu adalah batu ajaib yang dapat mengusir penyakit atau energi negatif dalam tubuh. Performens yang dilakukan orang tersebut diiringi dengan suara latar berupa bacaan ayat Al-qur’an. Karya ini, sederhananya, membicarakan fenomena ruqyah yang diyakini sebagai salah satu metode atau terapi untuk mengusir energi negatif dalam tubuh manusia melalui pembacaan ayat-ayat kitab suci. Si seniman merespon fenomena itu dengan menarik konteksnya terhadap perkembangan teknologi, di mana ponsel jaman sekarang memiliki perangkat yang dapat memutar audio, atau perangkat aplikasi yang secara khusus memuat audio-audio bacaan ayat suci Al-qur’an.
Video tersebut dipilih sebagai preview kepada pers karena dianggap oleh para kurator sebagai salah satu karya yang mewakili ide MUSLIHAT, tentang bagaimana teknologi media dapat berubah nilai dan fungsinya sesuai perkembangan nilai-nilai sosial dan kultural yang ada di lingkungan masyarakat tertentu.
Sekitar pukul lima sore, acara konferensi pers pun berakhir, dan satu per satu wartawan mulai meninggalkan Ruang Seminar Galeri Nasional (ada juga yang menghampiri para panitia atau Direktur Festival untuk melakukan wawancara lebih mendalam). Sembari memutar otak untuk ide tulisan akumassa dan mengutak-atik MUSLIHAT di dalam kepala, aku mengincar nasi uduk yang disediakan oleh para panitia, dan segera pulang setelah perut kenyang.