Jurnal Kecamatan: Gunung Anyar Kota: Surabaya Provinsi: Jawa Timur

Mokel

Avatar
Written by Pijar Crissandi
Tanggal 1 September 2010 adalah hari pertama aku memasuki tahun ajaran dan semester baru di kampusku yang terletak di ujung Surabaya selatan. Cuaca hari itu sangat tidak berkompromi, selain itu kampusku memang dekat dengan peternakan ikan atau tambak dan berada dekat lepas pantai, sehingga udara pesisirnya sangat kuat dan menyengat. Ini merupakan ujian yang sangat berat untukku di bulan ramadhan seperti saat ini.

Beberapa orang sedang mokel (membatalkan puasa) di Warung Mbak Nar

Beberapa orang sedang mokel (membatalkan puasa) di Warung Mbak Nar

Saat bertemu dengan teman-teman yang terjadi adalah canda dan senda gurau di tempat tongkrongan kami. Namun, karena dalam keadaan berpuasa maka aktivitas kami pun tak sebanyak biasanya.

Banyak dari kami dan para mahasiswa baru yang saat itu harusnya memanfaatkan hari pertama mereka untuk masuk kuliah, justru memilih untuk tidur. Ada pula beberapa temanku yang saat itu tidak berpuasa atau lebih tepatnya membatalkan puasa. Karena ini sudah memasuki minggu terakhir di bulan puasa, jadi banyak temanku yang sudah tidak malu-malu lagi untuk  makan dan minum secara terang-terangan.

Membatalkan puasa tanpa makan besar ibarat melakukan puasa tanpa sholat. Maka, tradisi buka di siang bolong untuk makan harus dilakukan, kebetulan saat itu aku dan temanku mengajak mokel (sebutan warga Surabaya untuk membatalkan puasa).

“Boy, ayo kita  ke Mbak Nar!” ujar salah satu temanku dengan semangat.

Mbak Nar merupakan nama pemilik warung makan langganan kami. Tiap tahun kami memilih untuk melakukan dosa membatalkan puasa di sana.

Warung Mbak Nar cukup jauh dari kampusku, jadi kami harus naik motor di siang yang panas untuk sampai ke sana. Sesampainya di sana seperti warung makan lain yang buka di siang hari saat bulan puasa, Mbak Nar pun memberi penutup dari spanduk panjang agar orang yang makan di warung mereka tidak terlihat.

Warung Mbak Nar sangat sejuk, karena letaknya di pinggir lapangan yang ditumbuhi alang-alang dan di kelilingi pepohonan, sehingga terbayar sudah jerih payah kami menghadapi panas untuk menuju ke sana.

Setelah aku masuk, membuka penutup berwarna putih itu ternyata tak banyak orang yang sedang makan siang atau membatalkan puasa. Aku justru menemui wajah-wajah batal puasa yang sama setiap tahun.

Warung Mbak Nar ditutup spanduk putih

Warung Mbak Nar ditutup spanduk putih.

Ada sekitar 5 orang yang saat itu baru selesai makan dan yang lain hanya merokok dan minum. Aku dan temanku pun langsung memesan makanan kepada Mbak Nar yang memang sudah cukup akrab dan hafal rutinitas kami tiap tahun, termasuk di bulan puasa. Ia pun melayani kami dengan cekatan.

Selain tempatnya yang nyaman dan sejuk, untuk makan di warung Mbak Nar tidak perlu mengeluarkan uang banyak. Cukup dengan enam ribu rupiah, kita bisa makan dengan lauk ayam kremes, menu andalan warung tersebut, dan tambahan sayur yang bisa dipilih sesuka hati. Sebenarnya pilihan untuk minuman yang ditawarkan pun cukup beragam, tapi pilihan kami tertuju pada segelas teh manis dingin sebagai pelengkap mokel kami siang itu.

Namun, di warung Mbak Nar ada hal yang cukup mengganggu. Di sini terdapat banyak sekali kucing kampung. Mereka bergerombol dan dengan setia menunggu di bawah kaki kami saat sedang makan untuk menunggu sisa makanan dengan suaranya yang mengganggu. Kadang kucing-kucing itu naik ke atas meja merebut makanan, tapi untung saja saat itu tidak terjadi padaku. Mbak Nar sendiri tak tahu mereka berasal dari mana.

Kucing kampunng yang menunggu jatah sisa makanan

Kucing kampunng yang menunggu jatah sisa makanan

Tak lama setelah kami makan, banyak orang yang datang untuk makan. Banyak sekali pelanggan di warung Mbak Nar, mereka tak hanya dari kampusku saja namun juga dari kampus dan warga sekitar. Itu pula yang membuat warung Mbak Nar hampir tidak ada bedanya antara bulan puasa atau tidak, karena selalu ramai.

Mereka yang baru saja datang adalah dua orang wanita dan dua pria. Ada pula segerombolan mahasiswa dari fakultas sebelah kampusku yang datang dengan  mobil. Mereka gaduh sekali, salah satu dari mereka adalah teman satu jurusan denganku. Kami hanya saling pandang sambil tertawa saat tahu kami sama-sama tidak berpuasa.

Tak lama setelah selesai makan, sebatang rokok menjadi penutup untuk mokel kami yang kesekian kali di bulan puasa dengan cuaca yang panas.

About the author

Avatar

Pijar Crissandi

Dilahirkan di Surabaya pada tanggal 9 Mei 1988. Sekarang sedang menyelesaikan studinya di Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jawa Timur. Kemudian ia juga sedang bekerja membuat ilustrasi dan Asisstent Boardcasters di Hard Rock Radio, Surabaya.

3 Comments

  • Arti Pijar tulisanny berasa banget dgn kelakuan saya beberapa hari yang lalu dengan fadly capaik, harryaldi kurniawan, ibrahim kaldafy di kota hujan Padang Panjang. tapi sayank di tempat mokel di tempat kami kurang cekatan, karena pas giliran kami berbuka lebih cepat sekitar jam 3 pergi ke sana.. nasi-nya belum masak, dan kami harus menunggu satu setengah jam lebih, dan alhasil kami tak jadi berbuka lebih cepat, hahaha…..

  • Ahahah.. hidup “masiwa”… ckck
    Semoga nggak kebablasan aja sampe tua.. heheh
    Pernah punya pengalaman mokel, tapi pas SMP..
    dan langsung menyesal pas berbuka…
    Alhamdulillah, sampai sekarang tidak ada mokel-mokelan lagi, hehe
    Semoga ini menjadi pelajaran bagi kita semua… Amin

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.