Minggu ini Saya bersama dengan teman saya bergerak menuju lapangan bola kaki yang terletak di daerah Gantiang Gunuang Padangpanjang. Lapangan ini berhadapan langsung dengan RSU (Rumah Sakit Umum) Padangpanjang. Biasanya setiap sore lapangan ini digunakan untuk latihan bola kaki. Akan tetapi pada Hari Minggu ini lapangan digunakan untuk pertandingan layang-layang. Pertandingan ini dimulai dari jam 10.00 pagi sampai dengan sore hari.
Jarak lapangan bola kaki ini dari lokasi rumah Komunitas Sarueh berkisar kira-kira satu atau dua kilometer. Butuh satu jam perjalanan kalau seandainya kita berjalan kaki ke sana. Tetapi kami berangkat dengan mengendarai vespa milik si Capaik, baru diambil nih vespanya kira-kira 3 bulan yang lalu. Bukan vespa baru sih, tapi tenaganya jangan di tanya.
Balalang (bermain layang-layang) merupakan permainan anak nagari (anak daerah) yang dahulunya permainan layang-layang ini tidak hanya sebatas main dan menerbangkan layang-layang saja, tetapi ada ketentuan-ketentuan adat yang harus di patuhi dan telah disepakati secara bersama-sama seperti musyawarah menentukan siapa yang pantas ditunjuk menjadi juri dalam pertandingan layang-layang ini. Dulu, sebelum pertandingan biasanya diadakan pasambahan (persembahan). Tetapi sekarang kebiasaan tersebut sudah jarang sekali dipakai.
Pertandingan balalang ini merupakan tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai nagari (daerah). Mereka datang dengan membawa layang-layang yang telah dipersiapkan untuk mengikuti pertandingan tersebut. Setiap nagari memiliki nama layang-layangnya masing-masing, seperti Murai, Salempang, Salendang, Sarasah, Bondo. Ekor layang-lyang pun memiliki namanya sendiri, seperti Bagerai, Salinteh, Babek, Tana, Cancang Rapek, dan banyak lagi sesuai kebutuhan dan perubahan zaman.
Satu layang-layang di mainkan oleh palapeh lalang (orang yang mengendalikan layang-layang) tugas palapeh lalang ini menarik dan mengulur layang-layang, dan pastinya mengontrol layang-layang supaya bisa menang dalam pertandingan. Tapi dibalik itu semua tidak lepas pula peranan seorang cimbacang (orang yang membantu palapeh lalang). Tugas Cimbacang ini sebagai pemegang puntaran (tempat menggulung benang), Satu layang-layang tidak hanya memiliki satu cimbacang saja, tapi bisa beberapa orang.
Di sekitar lapangan didirikan tenda-tenda tempat minum kopi dan makanan ringan, yang disebut alun-alun. Di alun-alun ini kita bisa mendapatkan ketupat dengan gulai paku, goreng-gorengan dan segelas teh atau pun secangkir kopi. Alun-alun beratapkan terpal. Saya sempat ngobrol dengan salah seorang penjaga kedai yang sifat nya sementara ini.
“Biasonyo kalau ndak manggaleh iko manga buk karajonyo?” (biasanya kalau tidak berdagang ini kerjaannya ngapain bu?), tanya saya. “Ya biasa kasawah,” (bertani) sahut ibu penjaga warung tersebut. “Biasanya pertandingan layang-layang ini di adakan kapan aja bu?” tanya saya lagi. “Biasa nyo tiok hari minggu ko yang rami” (biasanya yang rame setiap hari minggu), jawab ibu tersebut, “Biasanya kalau orang lagi ramai saya di bantu oleh suami dan juga anak-anak saya buat menghidangkan minuman atau makanan yang di pesan oleh orang-orang pacandu lalang.”
Pertandingan layang-layang ini berhadiahkan kambing, bintang emas, dan uang. Peserta membayar iset yang beragam tergantung dengan hadiah apa yang akan di perebutkan. Satu kali pertandingan biasanya 40 sampai 60 buah layang-layang yang di pertandingkan. Yang menentukan juara satu, dua dan tiga adalah pada juri, Sistim penilaian dilihat dari seberapa jauh, tinggi dan rapi susunan layang-layang tersebut.
Banyak cerita yang menarik di sekitar kita. Ini yang sering kita lupa. Permainan-permainan masa kecil khas “anak kampung” saat ini telah bergeser ke mainan “orang kota”. Saya sangat berharap kawan-kawan dari komunitas akumassa dapat merekam memori masa kecil ini, karena kalau tidak kita dokumentasikan…suatu saat akan punah. Di daerah Sumatera banyak sekali permainan yang menarik. Saya pernah tepingkal-pingkal membaca komik Lat (kartunis Malaysia) berjudul “Kampun Boy” yang mengingatkan saya dengan permainan masa kecil. Dan permainan itu saya percaya masih “ada” tersisa di daerah-daerah tertentu. Atau minimal, dia ada dalam “memori” orang-orang yang mengalaminya. Layang-layang adalah salah satunya. Salam untuk kawan-kawan Sarueh Padang Panjang. Salam Hafiz
salam sejahtera padangpanjang!
banyak sekali permainan tradisional yang menyenangkan dan seharusnya dikenal oleh “generasi digital” yang akrab dengan playstation, game di ponsel, maen game di warnet yang menjadikan mereka jauh bahkan hampir tidak mengenal teman “fisik” nya, mereka lebih kenal partner “maya” daripada tetangga sebelah!
simak saja permainan dampu, takadal, petak umpet, gambaran, gobaksodor (yang konon berasal dari bhs Inggris “go back to door”)dsb yang mengandalkan keakraban sosial (kita dengan teman2 sebaya)sudah hampir tak pernah kita lihat di sekolah2 dasar, pemukiman warga kelas menengah, bahkan perkampungan di kota!! mungkin ini adalah awal dari kematian apa yang biasa kita sebut dengan “silaturahmi”
silaturahmi is dead!!
Permainan tradisional seperti layang – layang tersebut pernah ada di masa saya dulu yang saat itu terkadang saya sulit untuk memainkannya. Ada banyak kesulitan seperti halnya saya pasti dimarahi oleh orang tua saya ketika akan bermain layang – layang. Bagi alm. papa saya, lebih baik saya bermain nintendo di rumah daripada bermain layang – layang. Kini saya sedikit pahami apa yang dilarang oleh beliau. Bukan permainannyalah yg ia larang, tapi karena di daerah kami dulu (PERUMNAS biasanya kami sebut)sudah hampir tak ada ruang bermain yg cukup. Sedangkan, saat bermain layangan terasa tak lengkap bila tak ada aktifitas mengejar dan berebut layangan yg putus. Sehingga, mengharuskan kami (yg bermain ataupun yg mengejar) untuk berlarian di jalan yg cukup ramai aktifitas lalu lintasnya sambil menatap arah kemana layangan yg putus tersebut. Bila saya lihat dari keadaan ruang bermain kami seperti yg disebutkan tadi, terasa jelas kekhawatiran orang tua saya. Bagi kami sudah tak ada lagi ruang bermain yg nyaman di luar rumah, namun silaturahmi tetap ada. Tapi saya tetap merasa kehilangan masa anak-anak. Salam untuk semua.